Jumat, 24 Juli 2009

MATAHARI BEACH RESORT & SPA Di Desa Pemuteran-Buleleng, Bali. Arsitek & Supervisi: I Nyoman Gde Suardana























































Matahari Beach Resort & Spa di Pemuteran, Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng ini, dibangun pada 1993 dan selesai atau mulai beroperasi pada 31 Agustus 1995.

Memiliki luas lahan sekitar 11 Ha. Pada site (tapak) nya ada Bangunan Utama-Main Building-yang di dalamnya terdapat Lobby, Drug Store, Reception Office, Purcashing Office, Restaurant & Kitchen. Kemudian beberapa Bungalow (16 unit=32 kamar), Swimming Pool, Children Pool, Tennis Court, Mini Golf, Spa, GYM, Library, Tee Pavillion, Beauty Salon, Honeymoon Room, dll. Selain itu juga ada tempat hunian berupa GM (General Manager) House, Staff House, Owner House, dll.

Di tahun 2008 lalu Matahari Beach Resort & Spa di Pemuteran ini memperoleh penghargaan sebagai penerima "Emerald"-THK Tourism Award-yang kedua kalinya.

Minggu, 12 Juli 2009

Pameran Arsitektur dalam PKB XXXI, Tampilkan Karya Kreatif Para Arsitek Muda

Pameran Arsitektur kembali menyemaraki ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) XXXI. Pameran ini adalah kesertaan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Bali yang ke-6, sejak lima tahun lalu. Sebelumnya pada 1970 hingga 1980-an, IAI Daerah Bali cukup aktif menyelenggarakan Pameran Arsitektur bersama beberapa Perguruan Tinggi di Bali, di setiap ajang PKB Bali.

Pameran arsitektur kali ini menyajikan hasil karya arsitektur yang disajikan para arsitek muda di Bali, juga kajian arsitektur dan informasi yang berhubungan dengan proses pendidikan arsitektur dari beberapa perguruan tinggi di Bali seperti Universitas Udayana, Universitas Warmadewa dan Universitas Dwijendra Denpasar. Tak ketinggalan dari instansi pemerintah ikut ambil bagian dalam pameran semisal Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional-Dinas PU.

Dengan tema “Mulat Sarira” sebagai tema sentral PKB XXXI dan ‘Jati Diri Arsitektur di Bali’-sebagai tema pameran arsitekturnya, memberikan inspirasi bagi IAI Daerah Bali dalam merekam eksistensi pernak-pernik arsitektur yang mewarnai wajah Bali sebagai wahana introspeksi diri atas identitas Bali dan arsitekturnya.

Menurut Ketua IAI Daerah Bali, Ketut Rana Wiarcha, ST, IAI, maksud diselenggarakan pameran arsitektur pada kesempatan PKB saat ini adalah: (1) merekam dan mewartakan keberadaan arsitektur di Bali saat ini, sebagai wahana instrospeksi bagi semua insan yang terlibat di dalam kehadiran arsitektur berkonteks perkembangan dan makna arsitektur Bali serta arahnya menuju kehadiran arsitektur yang laras harmoni.
Lalu, (2) Memberikan media kepada arsitek muda anggota IAI Daerah Bali di dalam menampilkan karyanya, serta ajang pengembangan wawasan dan pengalaman serta empati terhadap arsitektur Bali dengan berbagai problematikanya, selain melaksanakan profesi yang sejalan dengan kaidah tatalaku profesi yang telah digariskan dalam kode etik berprofesi arsitek. Satu lagi, (3) Sebagai media informasi kepada masyarakat luas terhadap proses pendidikan arsitektur, serta keterkaitan lintas institurional dalam melangkah membentuk dan mewujudkan arsitek dan arsitektur di Bali.

Dr. Ir. I Wayan Runa, MT, selaku Ketua Panitia Pameran Arsitektur PKB XXXI, mengemukakan, pameran arsitektur tahun ini agak beda dari tahun-tahun sebelumnya. Pertama, dari segi tempat penyelenggaraan, sekarang memakai tempat pameran di Koridor Gedung Museum Art Center (sebelah utara sungai, posisi di antara dua jembatan). Kedua, Sistem penyelenggaraan event organizer. Ketiga, Peserta pameran menampilkan para arsitek muda, yang pada umumnya memiliki kreativitas lebih tinggi serta lebih memaknai introspeksi dan lebih berkomitmen jati diri, lebih kreatif dalam mentransfer proses perkembangan arsitektur. Keempat, pada pameran tahun-tahun sebelumnya tidak pernah diadakan presentasi oleh para peserta pameran sebagaimana yang akan dilakukan pada pameran sekarang ini. Dengan adanya peresentasi dan sekaligus diskusi tersebut, kita belajar bersama, yang dihadiri baik dari kalangan akademisi, dunia usaha, mahasiswa, atau pun dari masyarakat umum.


Materi Pameran
Substansi, peserta, materi dan media presentasi dalam pameran arsitektur kali ini antara lain berupa rekaman visual kondisi faktual arsitektur di Bali, yang dipresentasikan dalam media fotografi, sketsa atau media lainnya sebagai “introspeksi” terhadap wajah arsitektur Bali.
Selain itu juga ditampilkan rancangan arsitektur kini dalam beragam fungsi, karya arsitek muda (di bawah usia 40 tahun) anggota IAI Bali, yang mewarnai perkembangan dan gerakan perubahan arsitektur di Bali, dipresentasikan dalam media 3D Visualisai, fotografi dan gambar-gambar.

Dari kalangan Perguruan Tinggi di Bali Arsitektur Udayana menampilkan karya tugas mahasiswa dalam Menggambar Arsitektur 2 dengan teknik titik dan garis, Studio Perancangan Arsitektur 2 (Merancang Perumahan), Pemodelan 3 D Arsitektur dengan judul tugas ‘Interior Sport Arena’, Studio Perancangan Arsitektur 3 (‘Rental Office’) dan Studio Perancangan Arsitektur 4 (‘Sport Arena”).
Arsitektur Warmadewa menampilkan tugas mahasiswa, Studio Perancangan Arsitektur 4 (Habitat of Warmadewa) dalam konsep Green Architecture yang mengambil lokasi di jln. Cok Agung Tresna. Baik Udayana maupun Warmadewa menampilkan pula tugas mahasiswa dalam bentuk maket.

Pada panil yang lain, dipamerkan hasil studi awal Morfologi arsitektur Candi Bentar di Pura Agung Gunung Raung, Desa Taro Tegallalang-Ubud Gianyar, kajian arsitektur yang ditampilkan oleh Program Studi Arsitektur Universitas Dwijendra, Denpasar.
Dalam pameran arsitektur kali ini, salah satu instansi pemerintah diwakili oleh Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional (BPTPT)-Dinas PU, menyajikan Bambu Laminasi pada Bangunan/ Rumah Tradisional, baik mengenai bahan bangunan, komponen bangunan, tampilan bangunan rumah tradisional serta sifat mekanis bambu.

Arsitek Muda
Lantas, karya apa saja yang ditampilkan oleh kalangan arsitek muda? I Gusti Lanang Wiantara menyajikan konservasi Puri Agung Blahbatuh. Anneke Prasyanti Picaulima, menyajikan karya arsitekturnya, seperti Villas Hotel, Residential, Health Facilities, Office, dll. Pada panil berikutnya, Nova Ktristina menampilkan karyanya berupa Kreasi Rumah Indonesia. Lantas Kadek Pranajaya dengan karya The Seiryu Villa-Seminyak.

Salah satu arsitek muda yang juga dosen arsitektur Universitas Udayana, I Wayan Wiryawan, tampil sedikit beda dengan menyajikan secara visual kajian akademis tentang Proses Belajar Mahasiswa Studio Arsitektur. Sedangkan Gede Arista Gunawan, menyajikan karyanya ‘Private Villa’ di Kedungu-Tabanan.

Karya-karya berupa Villa, Private House, juga ditampilkan oleh arsitek muda dari ‘Crea Bali’, I Gusti A. B. Arimbawa & A.A. Gde Raka HS. Karyanya Hard Rock Radio, Central Parking-Kuta, Cascade Villa di jln. Saraswati Kuta dan Private House di jln. Dewi Madri-Renon, Mr. Ron’s Private House di jln. Bidadari-Kuta.

Dari Akasa Bali Architect, karya-karya arsitekturnya adalah berupa Desain Perencanaan: Penataan Pura Pusering Tasik, Desa Bangbang-Tembuku-Bangli, Kolam Renang di Singaraja, Monumen Perang Jagaraga di Desa Jagaraga-Buleleng, Monumen Panji Landung di Buleleng, dan Pura Desa Lan Puseh Desa Yeh Embang Kauh-Jembrana. Dari Jeghier Architect Indonesia, bukan hanya villa saja yang digelar dalam pameran kali ini, seperti villa Surgawi Cemagi-Bali dan villa Frana, Sanur Bali, namun juga restoran, seperti Verandah Restaurant di Kualalumpur-Malaysia.
Dari arsitek muda lainnya, Komang Sulastini menampilkan karyanya, Hans Witt Private Villa. Sementara Wara Urwasi bersama Wibawa Patra, menyuguhkan karyanya 4 D Movie Theatre, Akana Bar & Meeting Room serta Make Over Photo Studio-Sunset Road, Kuta. Ada karya yang bertajuk Arsitektur dalam Bingkai Proses. Kemudian karya-karya lainnya seperti: Coconut Grove Estate-Sanur, Sakura House-Umalas, Maira Bali-Padang Bai, Batavia Villa-Seminyak, Villa M Krobokan dan Sentosa Type Breeze Block.

Film dan Diskusi
Berdasarkan Agenda Pameran yang diterbitkan oleh Panitia, selain acara pameran juga digelar serangkaian pemutaran film arsitektur dan diskusi dari para peserta pameran, tiap Jumat yang dimulai sejak 19 Juni 2009. Di hari pertama ini, diskusi dan presentasi karya peserta pameran diisi oleh arsitek muda Komang Suardika (Jeghier Architect), Anneke Prasyanti Picaulima (Bal Hospitality & Design), Nova Kristina (Kreasi Rumah Indonesia) dan dari Universitas Udayana.

Di minggu ke-2, Jumat (26/6) berlangsung pemutaran film, dilanjutkan diskusi dan presentasi karya oleh Kadek Pranajaya (Kadek Prana Architect), Komang Sulastini (Imak’s Studio), I Wayan Wiryawan (Wiryawan Studio Arsitek) dan Universitas Warmadewa.

Menyusul pada Jumat (3/7), selain pemutaran film arsitektur juga diisi diskusi dan presentasi karya oleh Gede Arista Gunawan (Bale Design), Putu Edy Semara (Esa International), Enggie Rucitra Mulyana (Gie Architect), I Gusti A.B. Arimbawa (Crea Bali Utama) dan dari Universitas Dwijendra-Denpasar.

Di minggu ke-4 pada Jumat (10/7), setelah pemutaran film, akan dilanjutkan dengan diskusi dan presentasi karya I Gusti Lanang Wiantara (Lanantara Architect), Wayan Sutarman (Wayan Sutarman Architect), Wara Urwasi (Gitakaran Architecture Studio), Dewa Surya Winata (Akasa Bali Architect), Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional-Dinas PU dan diakhiri dengan acara Penutupan Pameran Arsitektur XXXI.

• I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 28 Juni 2009

Sabtu, 11 Juli 2009

Pura Kelasa dan Taman Narmada di Lombok Barat, Tempat Rekreasi yang Bervibrasi Spiritual

Memasuki wilayah Lombok Barat khususnya, ada kemiripan suasana dengan Bali. Objek-objek wisata dalam bentuk taman atau peninggalan bekas puri zaman dulu dapat ditemukan di situ. Salah satu objek wisata yang sekaligus memiliki tempat peribadatan (pura) Hindu di dalamnya adalah Taman Narmada. Penyimpan Kisah bersejarah, juga sebagai tempat rekreasi yang memiliki vibrasi spiritual. Pura itu dinamakan Pura Kelasa. Di sekitarnya ada pertamanan, mata air dan telaga ageng.
Nah, apa yang bisa disimak dari Pura Kelasa dan Taman Narmada yang juga berada dalam satu area dengan bekas puri peristirahatan raja Mataram ini?

NAMA Pura Kelasa konon berasal dari nama sebuah gunung di India, Gunung Kelasa. Sementara nama Taman Narmada diambil dari sebuah nama sungai suci yang juga terdapat di India. Menurut catatan sejarah, pura, taman dan puri itu dibangun pada akhir Abad ke-18 M oleh Raja Mataram yang berkedudukan di Cakranegara, Lombok Barat. Pura Kelasa didirikan di sekitar mata air, berkiblat ke arah puncak Gunung Rinjani dengan danau Segara Anakan-nya.

Lantas, apa maksud raja mendirikan semua itu? Konon lantaran usia raja sudah uzur, tak kuasa mengikuti upacara pakelem dan pujawali di danau Segara Anakan. Untuk itu, Raja Mataram menganggap cukup bila dilakukan dengan menghadiri atau mengikuti upacara pujawali di Pura Kelasa. Sementara upacara pakelem yang diselenggarakan di Segara Anakan, secara simbolis dilakukan di mata air Taman Narmada.

Beberapa Palinggih

Pura Kelasa yang pujawali-nya jatuh pada Purnama Sasih Kalima ini memiliki tiga mandala, tapi terdiri dari lima transis, yakni utama mandala (transis teratas), merupakan jeroan pura; madya mandala (transis kedua) sebagai jaba tengahnya dan kanista mandala (transis ketiga, keempat dan kelima) sebagai jaba sisi-nya. Konon dulu-sebelum pura, taman dan puri dibangun-di kawasan ini banyak ular berbisanya. Maka hutan lebat yang ada pun dibabat, burung merak didatangkan dari Sumatra untuk memangsa ular-ular itu. Usai diadakan upacara ritual, ular-ular berbisa itu konon seketika lenyap.

Apa saja yang ada di jeroan pura? Beberapa palinggih yang terdapat di area utama mandala-nya antara lain palinggih Gunung Agung (bangunan meru tumpang satu), palinggih Gunung Semeru (meru tumpang tiga), palinggih Gunung Rinjani dan Ngerurah. Jeroan dari pura ini dikelilingi tembok panyengker, berbahan bata merah dan penempatan beberapa roster “China” di beberapa sisi, dilengkapi dua buah kori agung. Satu terletak di sebelah barat dan sebuah lagi di selatan. Kedua kori ini ber-undag-undag, di sisi kiri kanannya diapit patung naga. Sementara di setiap sudut telajakan-nya terdapat masing-masing sebuah patung. Di jaba tengah berdiri bale kembar (bale gong bertiang enam).

Menurut Jero Gde Pasek Subratha, pemangku Pura Kelasa Narmada, kondisi Pura Kelasa pada tahun 1954 masih utuh seperti aslinya. Namun, antara tahun 1955-1956 mulai dilakukan rehabilitasi hingga terwujud sebagai Pura Kelasa seperti saat ini. Dikatakannya pula bahwa adanya perubahan waktu pujawali-dari purnama kapitu menjadi purnama kalima-dilakukan sekitar tahun 1958, yang ditetapkan berdasarkan hasil paruman (pertemuan) para pandita Hindu di Lombok ketika itu. Secara umum prinsip ritualnya, ngaturang pakelem di Gunung Rinjani, ngayat dari Pura Kelasa.

Pemandian Selir Raja

Beragam jenis tanaman tumbuh menghiasi sekitar pura seperti pohon cempaka, sawo tunjung, hingga beringin. Di belakang pura ada sebuah bangunan Kemalik yang konon merupakan tempat mohon doa restu dan sujud bakti bagi beberapa kalangan dari suku Sasak yang punya ikatan tradisi pada leluhurnya. Tradisi ini boleh jadi lantaran adanya afiliasi cultural (pertalian budaya) keyakinan kepercayaan etnis Sasak di zaman itu, wujud cerminan kerukunan antar suku maupun umat beragama.

Pura Kelasa Taman Narmada di-empon oleh tiga banjar yakni Br. Gondawari, Br. Gandari (keduanya di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada) dan Br. Peresak, Desa Peresak. Jauh di sebelah barat daya (di bagian bawah) pura ada kolam yang dulunya merupakan tempat pemandian para selir Raja. Sang Raja akan duduk menyaksikan mereka dari atas balkon bale terang (sebuah bangunan berlantai dua, bagian dari kompleks puri peristirahatan raja di zaman dulu) yang terletak di tanah ketinggian bagian baratnya.

Di sebelah selatan pemandian terdapat kolam renang, terdiri dari kolam renang dewasa dan anak-anak. Di sebelah kolam renang ini ada kolam yang amat luas, disebut telaga ageng. Semua bentuk kolam dan pertamanan itu bisa disaksikan dan dinikmati keindahannya dari bale terang yang bangunan di lantai atasnya terbuat dari kayu, baik dinding, lantai, railing tangga dan rangka atapnya.

Dari area bale terang yang di zaman dulu berada di zona pesarean ini banyak dijumpai jalan setapak dan puluhan anak tangga (undag) menurun menuju tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng. Rerimbunan pepohonan yang ada di kawasan Taman Narmada ini sangat mendukung pelestarian alamnya. Tepat di sebelah barat bale terang ada bale pertemuan dengan 8 tiang besar, 15 tiang kecil. Kini, bangunan ini ditambah emper di sayap utara dan selatannya dengan masing-masing empat tiang pipa besi.

Jika digambarkan secara menyeluruh rancangan tapak kawasan Taman Narmada, Pura Kelasa berada di sudut timur laut. Sebelah barat pura-di area jaba sisi, di utara kolam pemandian-ada bangunan bale petirtan (bale beji) dan bale sakepat. Di dalam bangunan ini ada mata air (kelebutan) dan pancuran kecil, yang pintunya dibuka untuk publik pada saat ada upacara pujawali atau pada saat ada umat Hindu tangkil sembahyang ke Pura Kelasa. Mata air yang bersumber di tempat inilah oleh masyarakat dikatakan sebagai “air awet muda.

Orientasi Sakral

Jika para pemedek hendak tangkil bersembahyang ke Pura Kelasa, dari halaman bale Petirtan, mereka mesti melalui banyak anak tangga (undag) di masing-masing terasering mandala pura. Memasuki jeroan pura, para pamedek mesti melalui kori agung yang ada dengan sejumlah anak tangga. Di sini ada dua kori agung-di bagian depan (sebelah barat) dan di selatannya.

Paling barat (di seberang tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng) merupakan kompleks peninggalan puri (peristirahatan dan persemayaman) keluarga Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok dulu, Raja Mataram, Cakranegara. Bekas Puri itu, tapak atau site-nya memanang dari arah utara-selatan. Pintu gerbang utamanya (dalam bentuk candi bentar) menghadap ke utara, terletak di sisi jalan raya Narmada, Cakranegara.

Sepertinya bentuk dan pemakaian bahan candi bentar (yang ber-relief) ini sudah mengalami modifikasi dari aslinya. Namun masih banyak bangunan lain di kompleks bekas puri ini masih asli dan lestari, seperti adanya dua buah kolam yang saling bersebelahan (telaga kembar), kori agung (penghubung area depan dengan tengahnya), bangunan loji (dulu merupakan tempat menginap raja dan istrinya), serta bale terang yang lantai atasnya memiliki tiga bilik, bagian tengahnya terbuka, dihubungkan oleh masing-masing sebuah pintu masuk ke bilik kiri dan kanannya.

Miniatur

Keberadaan Pura Kelasa agaknya berangkat dari konsep kosmologi kehinduan, tatanan yang mengekspresikan pemahaman makna spiritual yang direpresentasikan melalui orientasi (kosmis) pada sesuatu yang sacral, seperti gunung dan danau. Kiblatnya sebagai sumbu imajineradalah kea rah posisi Gunung Rinjani, gunung ketiga tertinggi di Indonesia-3.726 meter di atas permukaan laut.

Pada rancangan tapak Taman Narmada yang memiliki luasan sekitar 6,2 hektar ini secara keseluruhan mengadopsi pola konstruksi lansekap Gunung Rinjani dan Danau Segara Anakan. Hal ini dapat ditunjukkan pada letak Pura Kelasa yang dibangun di area transis paling tinggi, sebagai “miniatur” Gunung Rinjani, tempat berstana para Dewata. Sementara yang mencerminkan sebagai Danau Segara Anakan-nya adalah mata air, tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng-nya, terletak jauh di bawah, ibarat lembah, yang ada danaunya. Pengolahan tapak secara keseluruhan : lahan untuk taman dan kolam di bagian tengah jauh lebih rendah. Untuk mencapainya mesti melewati atau menuruni puluhan anak tangga, dengan pengolahan bentuk undag-undag yang sebagian besar linier.

Pura Kelasa dengan Taman Narmada-nya bermakna kontekstualitas waktu, dalam artian tetap eksis sebagai lembaran referensi nilai kesejarahan dan religi. Sebuah karya arsitektur yang bermakna cultural nan kental, juga mampu membangkitkan kenangan masyarakat tentang kisah masa lalu. Selain memiliki kontekstualitas ruang yang adaptatif ekologis, keberadaan pura, tempat pemandian, telaga ageng dan bekas puri di areal Taman Narmada ini merupakan salah satu ikon arsitektur Nusantara yang tetap lestari menyiratkan makna spiritual, rekreatif dan historisnya.


I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 12 Februari 2006)

Menimang Kontribusi Arsitektur Bali Sikapi Globalisasi

Wujud ruang arsitektural pada dasarnya punya keterkaitan erat terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan di zamannya. Kini, kemajuan sains dan teknologi telah merasuki sendi-sendi di berbagai lini tatanan pergaulan manusia. Menyangkut gaya hidup, pola pikir, gerak dan perilaku. Secara global manusia kini tengah berada dalam era informasi digital dan virtual. Keadaan ini memiliki konsekuensi logis terhadap bentukan ruang yang divisualisasikan oleh arsitektur. Sejauh mana kontribusi arsitektur Bali ke depan menyikapi dan mewadahi perkembangan ini?

PENEMUAN dan perkembangan teknologi mutakhir kini, terutama teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi memberi isyarat akan kemungkinan terwujudnya jarak ruang semakin kecil. Lantas, ada kecenderungan kian sedikitnya waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya. Percakapan bisa dilakukan dalam ruang berbeda, namun pada waktu yang sama. Peranti elektronik baru deras bermunculan. Semakin mini tapi dengan kapasitas kian besar.

Contoh lain, remote control, telah mengurangi mobilisasi gerak fisik manusia, demi efisiensi waktu dan tenaga. Ukuran atau dimensi barang elektronik dan computer cenderung mengecil dan tipis, tapi punya potensi produksi tinggi. Sistem pemantauan jarak jauh melalui kamera mini dan layar monitor pun akan mempengaruhi berkurangnya pergerakan manusia di antara ruang-ruang. Semua ini merupakan dampak perkembangan tersebut, sebagai sebuah proses dan kondisi yang demikian kompleks, bersifat multibentuk dan multidimensi.

Peringkasan jarak ruang telah mengubah persepsi dan pandangan manusia terhadap ruang dan waktu itu sendiri. Persepsi tentang jauh dekat, luar-dalam, cepat-lambat sekarang telah mengalami perubahan. Orang-orang bepergian telah menggunakan alat-alat transportasi yang canggih sesuai pilihannya. Berkomunikasi jarak jauh atau antar ruang bisa lewat handphone, CCTV, computer genggam, dll., sebagai wujud komunikasi dalam ruang virtual (ruang maya).

Kini sifat dan kondisi tubuh manusia, cara mobilitas, berkomunikasi, dan alur yang dilaluinya di dalam siklus kegiatan, umumnya juga mempengaruhi pola kehidupan social dimasyarakat. Tentu pada akhirnya terkait dengan bentukan ruang-ruang privat maupun ruang-ruang publiknya. Keadaan tersebut berhubungan dengan dengan tindakan, relasi, struktur dan system social yang berlangsung di dalam ruang-waktu. Perihal inilah yang sudah mulai merambah pelosok negeri, termasuk Bali, terutama di kawasan perkotaan.

*****
BEBERAPA waktu lalu sempat merebak wacana tentang usulan rencana apa yang ideal dibangun dan dilaksanakan serta dilakukan dalam pembangunan daerah Bali. Hingga sempat muncul ketika itu statemen mengenai arsitektur gedung, yakni tentang perlunya zone gedung tinggi. Ketika itu terkuak usul atau keinginan untuk memperbolehkan membangun gedung tinggi di atas 15 meter.

Berbicara tentang bangunan gedung tentu tak dapat dipisahkan dengan ruang arsitektural, termasuk wujud atau wajah asitekturnya. Utamanya kota-kota besar di Indonesia. Makna ruang rupanya mengalami pergeseran persepsi, sejalan dengan pemampatan, peringkasan ruang waktu dan pemadatan tindakan setiap kegiatan yang dijalani banyak orang. Nyaris semua aktivitas dijejali oleh tuntutan kecepatan waktu, efisiensi, dan ketergesaan. Kecenderungannya, di zaman informasi dan virtual kini ada upaya manusia untuk memiminimalisasi dimensi fasilitas dan ukuran ruang-ruang geraknya.

Perubahan pola hidup dengan sendirinya turut mempengaruhi pola ruang, waktu, fasilitas dan lingkungannya. Kenyataan kini, terutama di kota-kota besar, banyak kegiatan social tidak memerlukan lagi perpindahan fisik seseorang. Seperti belanja (teleshoping), rapat (teleconference), menonton (telecinema), belajar (telelearning), dan sebagainya. Lantas, orang-orang pun kini sudah bisa mengakses bahan-bahan kepustakaan melalui internet, membuka situs-situs pilihannya. Pun penyimpanan arsip mendatang sepertinya, bukan lagi mengarah pada penumpukan berkas di rak-rak almari. Tapi sudah menuju pada compact flash sampai secure digital yang mampu menyimpan amat banyak data, baik berupa naskah, foto, musik, atau video player lainnya.

Melihat keadaan seperti ini, perlukah di masa datang disediakan atau ditambah lagi ruang-ruang public (gedung) yang besar berlantai banyak? Guna memperoleh solusi, semua itu tentu perlu dianalisis secara komprehensif atau menyeluruh, untuk kesinambungan konsep yang bisa diterima oleh masyarakat secara berkelanjutan.

Pembentukan ruang sangat bergantung pada berbagai kondisi tempat yang membentuknya: alat untuk mobilitas, media untuk komunikasi, fisik/badan, sifat-sifat fisik lingkungan atau atmosfir di sekitar, bahkan (sangat penting) kultur lokal setempat. Ruang tersebut dapat saja berupa sebuah ruang perkantoran, pabrik, kamar di dalam suatu rumah, sampai pada wilayah yang dibatasi secara territorial oleh batas-batas desa atau kota. Semua itu senantiasa meruang dan bersifat fisik. Dalam ruang-ruang inilah berbagai rutinitas aktivitas berlangsung.

Dalam konteks pembutuhan ruang di era informasi kini, sudah relevankah di Bali dibangun gedung-gedung berketinggian lebih dari pohon kelapa? Sementara di sisi lain, dunia kini tampak mulai mengalihkan perhatiannya pada upaya untuk meminimalisasi besaran gedung-gedung publiknya. Adakah itu akibat pemampatan ruang waktu dan tindakan setiap aktivitas di era informasi digital dan virtual kini?

*****
SEKARANG, sudah mulai ada berbagai model aktivitas social, yang di dalamnya tidak diperlukan lagi perpindahan fisik, namun bisa dilakukan model perpindahan virtual, yakni perpindahan informasi. Melalui internet, handphone, teleconference, berlangsung suatu pergerakan yang sebenarnya berdiam diri di tempat. Fenomena ini semakin memberi kecenderungan, di dalam melakukan berbagai kegiatan, pola kehidupan sosial si pelaku aktivitas.hanya berdiam diri di tempat, lantaran di sisi lain informasiakan bergerak mendatanginya.

Boleh jadi, keberadaan dunia virtual, selain merupakan perpanjangan hampir setiap aspek kehidupan manusia-tindakan, aksi, reaksi, komunikasi, juga dimaknai sebagai “penyambung lidah” dalam sistem komunikasi antarmanusia. Nah, di era informasi digital sekarang ini--terutama di kota-kota besar—orang telah mulai dapat melakukan aktivitas social, politik, ekonomi, dan lain-lain dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang waktu.

Apa yang tersirat dan tersurat tersebut pada dasarnya menyangkut perubahan yang bersinergi ke dalam proses kedinamisan ruang, menyebabkan suatu bentukan arsitektur mengalami transformasi. Dengan kata lain, orang tidak akan melihat suatu bentukan arsitektur itu sebagai suatu yang “berdiri sendiri”. Namun sebagai suatu tampilan yang “mampu berkolaborasi” dengan lingkungan sekitarnya.

Betapa pun luas jangkauan perkembangan itu, tentu harus dikorelasi lagi dengan konsepsi filosofis Tri Hita Karana, Rwa Bhineda, hulu-teben, nilai-nilai dan pemaknaan arsitektural, yang selama ini diejawantahkan di tengah komunitas arsitektur Bali tradisional, yang kini kian didekati sergapan arus globalisasi. Ihwal tersebut tentu perlu disikapi secara arif dalam bentuk penataan tata ruang arsitektural, wajah arsitektur kota dan bentukan arsitektur lainnya, dari makro, meso, hingga mikro.

Maka dalam hal ini, yang perlu dipegang sejatinya adalah mempertahankan identitas. Menyimpan “ruh” jati diri ke-Bali-annya, sehingga esensi bentukan arsitektur Bali Tradisional itu merasuki gubahan arsitekturnya. Kendati di satu sisi konsepsi maupun visualisasi bentuknya senantiasa leluasa “menyesuaikan diri” dengan perkembangan zaman, di era informasi digital dan virtual saat ini.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 12 Juni 2005

Pura Beji Sangsit, Unik dengan Ragam Hias khas Buleleng

Pura Beji Sangsit,
Unik dengan Ragam Hias khas Buleleng

Membangun kearifan local di suatu daerah tentunya mesti berakar dari potensi alam dan budayanya. Semisal upaya pelestarian pengembangan geliat khas ragam hia, nilai-nilai histories, estetis religius pada banyak arsitektur pura di Buleleng. Salah satu pura yang mewakili kekhasan tersebut adalah Pura Beji, Sangsit, Buleleng. Apa saja yang bisa ditelusuri dari keberadaan pura ini?

Pura Beji yang terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng dan berada di sekitar 8 km di sebelah timur kota Singaraja ini punya keunikan tersendiri. Pura ini memiliki gugus-gugus massa bangunan suci sangat massif dan sarat dengan ukiran khas gaya Buleleng.

Konon dulu , sebelum era kedatangan Dang Hyang Nirartha, kawasan Bali utara atau kabupaten Buleleng dikenal sebagai wilayah Den Bukit. Pada awalnya kehidupan manusia di Bali, keberadaan mereka bermula hidup di wilayah Buleleng timur. Pada saat itulah diperkirakan awal kemunculan konsep “Padma Bhuwana” dalam penataan pura-pura di Bali. Khususnya di daerah Buleleng timur. Salah satu pura yang termasuk di dalamnya adalah Pura Beji Sangsit.

Sebagaimana pernah diungkap oleh Ida Pandita Nabe Sri Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, pura-pura yang disebutkan masuk dalam konsep penataan itu, yakni Pura Panegil Dharma, pura-pura yang ada di Desa Bulian, Pura Meduwe Karang, Pura Dalem Puri, Pura Gunung Sekar (Guruyang/Guru Hyang), Pura Beji, Pura Pasupati, Pura Air Sanya (Air Sanih) dan Pura Bukit Sinunggal.

Disebutkan pula, pada zaman Kesari Warmadewa, Pura Besakih belum ada. Dalam perkembangannya setelah kedatangan Mpu Kuturan, disusul kemudian dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di era Dalem Waturenggong, keberadaan pura-pura berkonsep “Padma Bhuwana” ditata kembali lebih dalam lingkup wilayah seluruh Bali. Seperti berkembangnya Pura Besakih dan berdirinya pura-pura Kahyangan Jagat lain yang ada sampai saat ini. Di antaranya yang termasuk pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Batukaru, Tanah Lot, Uluwatu, sampai Goa Lawah.

Dikisahkan pada zaman Waturenggong, wilayah Buleleng timur dianggap daerah yang tidak patut dihuni. Bahkan ketika itu menjadi tempat pembuangan, termasuk tempat pengasingan Ki Anglurah Panji Sakti. Namun belum ada data pasti, kapan tepatnya peristiwa itu terjadi. Terlepas dari itu lingkungan Pura Beji yang dikenal sebagai pura subak untuk desa pakraman Sangsit ini dikatakan sebagai lingkungan pura untuk memuja Dewi Sri – dewi yang diyakini berhubungan dengan bidang pertanian, menciptakan padi sebagai bahan makanan pokok, dan pemberi kemakmuran.

Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing.

Ajaran Filsafat
Tumbuh-tumbuhan atau bunga yang digunakan sebagai motif ukiran di Pura Beji sesungguhnya merupakan sebagai salah satu manifestasi ajaran filsafat (tatwa) agama Hindu, ditampilkan melalui simbol-simbol relief yang sacral. Motif bunga berdigestilir sulur-suluran tetumbuhan secara filosofis melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

Tatanan Pura Beji itu sendiri terdiri dari tiga area (mandala) yakni jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan. Pada jaba sisi terdapat bale kukul yang sudah mengalami modifikasi style ragam hiasnya. Antara jaba sisi dengan jaba tengah dihubungkan oleh candi bentar yang masih tetap menunjukkan kekhasan ragam hias Buleleng. Di halaman jaba tengah, di sisi utaranya ada bale paebatan dan bale saka roras. Sementara di sisi selatannya berdiri bale sakapat dan sakaulu. Semua bangunan itu bertiang kayu, beratap seng.

Memasuki halaman jeroan, ada candi kurung (kori agung) dengan bebetelan di kiri kanannya. Motif bunga pada ukirannya juga sangat mendominasi seperti yang terdapat pada candi bentar. Di bagian belakang kori agung ada aling-aling yang pada bagian atasnya berbentuk lengkung. Di halaman jeroan itu juga ada bale gong (saka kutus beratap seng), gedong simpen (beratap seng), bale pesamuan atau disebut jajar samah (saka roras beratap ijuk), dua bale piasan (saka nem, di kiri-kanan, beratap sirap), gedong agung (beratap ijuk, pada keempat bubungannya terdapat relief naga) yang pada puncak atapnya berdiri patung (ukuran kecil) bidadari bersayap.

Di sisi kiri dari gedong agung terdapat palinggih gedong Ida Batara Dewa Ayu Kesaren berdampingan dengan palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Pengastulan. Paling pojok timur laut ada palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Beraban (di dalamnya terdapat jajaran/pasimpangan). Menurut salah satu pemangku setempat, bahan yang digunakan untuk bangunan suci itu – termasuk candi bentar, kori agung dan tembok panyengker puranya-adalah paras asli (“paras Sangsit”) dari Banjar Abasan.

Kegiatan Spiritual
Melalui keberadaan arsitektur Pura Beji yang “spesifik”, boleh dikata itu merupakan media komunikasi bagi masyarakat. Lewat makna yang tersirat melalui tampilan bentuk dan ukirannya, arsitektur Pura Beji merupakan wadah kegiatan spiritual, sebagai produk dari kebudayaan, pemberi kejelasan jati diri atau identitas.

Pura Beji boleh jadi dibangun melalui proses kesepakatan masyarakat Bali ketika itu dengan ar rancangan yang holistic dari para undagi di zaman dulu. Mereka telah melihat kebutuhan dasar spiritual komunitas masyarakat setempat, perasaan teritorial, perasaan memiliki dan penghormatan tulus pada semesta ciptaan Yang Esa. Perwujudannya mewakili norma-norma dan ekspresi estetik kecintaan manusianya pada isi alam semesta, pelengkap dan pemberi kehidupan.

Melihat manusia ke dalam dimensi perilaku religiusnya, merupakan sebagai salah satu elemen program rancangan para undagi tempo dulu. Selain pandangan tentang hidup, hubungan manusia dengan alam, pengalaman misteri, yang semua itu sebagai bagian dari dasar-dasar sikap manusia dalam melakukan aktivitasnya. Adanya sawah, hunian dan lain-lain, di satu sisi merupakan bagian dari elemen fisik lingkungan yang mempengaruhi terwujudnya arsitektur pura pada tempat tersebut.

Maka sesungguhnya jati diri yang dimiliki Pura Beji ini membawa misi bagi pelestarian warisan budaya Bali. Yang harus dipelihara dengan senantiasa menerapkan konsep kesatuan social yang mendukung upaya kemajuan peradaban Bali. Pada akhirnya tentu mesti bermuara pada upaya konservasi terhadap keberadaan Pura Beji, baik dilihat dalam lingkup konservasi satuan fisik (kesatuankelompok bangunan dengan identitas fisik) yang mampu “menjelaskan” secara rinci mengenai latar belakang fisik bangunan Pura Beji maupun wilayahnya. Atau pun termasuk dalam satuan pandangan visualnya, suatu identitas visual dalam satu wilayah , yang menjadi citra dari wilayah itu.

Lingkungan Pura Beji sebagai salah satu karya arsitektur bersejarah yang religius mesti tetap berada pada lokasi historisnya, serta menjaga latar visual semula yang sudah selaras, seperti pola, bentuk, skala, warna, tekstur, bahan dan ragam hias bangunan suci atau bangunan pelengkapnya. Ragam hias Pura Beji Sangsit memang punya ciri khas, pemberi jati diri arsitektur puranya.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 13 Mei, 2007

Tembok ''Panyengker'' Tak hanya Pembatas Lahiriah, juga Spiritual

Tembok panyengker, agaknya, memiliki makna lebih, ketimbang sekadar pagar pembatas. Lantaran panyengker mengandung pengertian "mengurung" (kurung = sengker), melindungi atau menjaga isi yang ada di dalam, memberikan kesentosaan, ketentraman, dan kedamaian. Pelapisan makna apa yang bisa disimak dari tembok panyengker?
-------

TEMBOK panyengker merupakan bagian dari elemen arsitektur. Keberadaannya sangat perlu, selain sebagai batas lahiriah, juga batas aktivitas spiritual "isi" pekarangan, mengitari pekarangan paumahan, zona parhyangan atau bangunan-bangunan publik lainnya. Melindungi ragawi maupun batin, memenuhi syarat kekokohan dan keamanan. Penghuni di pekarangan dalam tembok panyengker diupayakan terlindung dari gangguan binatang, cuaca, dan pun terhadap gangguan lainnya.

Mewujudkan panyengker adalah dengan melakukan pengukuran sebelumnya. Ukuran atau sikut memiliki pengertian volume, bobot dan nilai dari satuan panjang, lebar, tebal, tinggi, atau garis-garis ukur lainnya. Satuan ukuran dalam pengukuran arsitektur Bali-tradisional diperoleh dari bagian-bagian tubuh manusia selaku pemilik. Pada bangunan Bali tradisional, mengukur panjang atau lebar pekarangan dengan ukuran depa agung, depa madya dan depa alit.

Sudut-sudut pertemuan antara tembok panyengker disebut padu raksa. Secara filosofis-etis, padu raksa tersebut memiliki nama masing-masing berdasarkan titik sudut peletakannya, seperti sari raksa (terletak di sudut timur laut), aji raksa (di tenggara), rudra raksa (sudut barat daya) dan kala raksa berkedudukan di barat laut. Padu raksa memiliki bagian-bagian yang diidentikkan sebagai kepala, badan dan kaki, lengkap dengan hiasan atau pepalihan-nya.

Pengertian dan Karakter
Menurut Ir. I Wayan Gomudha, M.T., panyengker berasal dari kata sengker yang artinya "kurung". Kurung itu sendiri memiliki pengertian (1) sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok yang membentuk satu unit hunian; (2) mengkonotasikan suatu keberadaan di dalam rumah, kamar/bilik/sangkar; dan (3) melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada dalam kurungan. ("Pernik Manik Spasial Hunian Arsitektur Tradisional Bali, 1999). Sementara dalam "Kamus Bali Indonesia" (Ida Bagus Nyoman Jiwa, 1992), panyengker disebut sebagai batas pekarangan pada keempat sisi, bisa dengan pagar hidup atau tembok pasangan.

Dari sebidang tanah yang paling kecil sekalipun, panyengker berperan sebagai batas wilayah, bukan sekadar pagar biasa, namun sebagai tempat terakumulasinya unsur-unsur fisik pembentuk hunian beserta aura psikologis-religiusitas penghuninya. Terlebih bila panyengker tersebut dilengkapi padu raksa dan pintu gerbang masuk (angkul-angkul, kori agung, candi bentar, dll). Hal itu menunjukkan adanya suatu kesatuan unit arsitektural (umah, puri, pura). Kadang dari bentuk, ragam hias atau tampilannya dapat menunjukkan status penghuninya.

Selain berfungsi sebagai pelindung dari pandangan (penglihatan) atau privasi, panyengker punya karakter melindungi dan mewadahi, dalam artian sebagai pelindung untuk segenap isi dari kemungkinan yang membahayakan, baik secara sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).

Keadaan ini menunjuk pada suatu upaya untuk memberi batas secara visual (fisik) maupun imajiner (nonfisik) atas perbedaan makna aktivitas, antara yang berada di dalam pekarangan (milik penghuni) dengan kegiatan publik (di jalan) di luar pekarangan (milik masyarakat keseluruhan). Demikian pula sebagai segmen perlindungan diri dari privasi penghuni terhadap "dunia luar".

Perlindungan dalam pengertian terhindar dari sesuatu yang bersifat fisik -- karena berbatasan dengan jalan publik, setelah telajakan -- dan privasi dalam pengertian agar kegiatan-kegiatan yang bersifat intern (profan maupun sakral) tidak terlalu vulgar nampak dari luar, mengingat pada norma-norma dan tata krama yang berlaku di tempat atau lingkungan tersebut. Hal ini dimaksud guna lebih bisa mewujudkan konsentrasi di dalam melakukan kegiatan yang bersifat privat, sehingga tidak terganggu pandangan publik dari luar (jalan). Naluri manusia pada dasarnya menghendaki suatu tempat yang nyaman, nikmat dan terlindung bagi dirinya serta lingkungan terdekatnya terlebih dahulu, menuju terciptanya harmoni kehidupan yang damai dan sejahtera.

Di Ruang Publik
Seperti yang disebutkan sebelumnya, panyengker juga terdapat pada ruang publik seperti taman rekreasi, kebun binatang, tempat peribadatan, pasar, taman budaya. Berbagai style atau gaya dimiliki oleh masing-masing kabupaten di Bali. Ada gaya Bebadungan, gaya Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan sebagainya. Bentuk maupun jenis material yang digunakan mesti disesuaikan dengan karakter dari fungsi yang diwadahinya.

Dalam suatu tapak (site), kadang ada suatu ruang yang sama (semisal halaman pasar), digunakan untuk kegiatan yang berbeda pada waktu yang berbeda. Contohnya, pagi hari digunakan untuk tempat berjualan atau parkir, namun pada malam harinya digunakan oleh pedagang kaki lima sebagai "pasar senggol". Sementara desain panyengker dibuat tinggi, kurang komunikatif, malahan memberi kesan terkungkung dan terkurung, sehingga para pedagang yang ada di dalam tembok panyengker tidak terlihat sepenuhnya dari luar. Nah, sudah sesuaikah itu dengan fungsinya dan bagaimana kesan psikologis ruang yang diinginkan?

Oleh karena itu, panyengker bukan sakadar pagar pembatas hanya untuk perlindungan dalam arti fisik semata, namun lebih dari itu bisa memberikan nilai-nilai komunikatif, "ramah" lingkungan -- sepadan fungsi ruang publik tersebut. Untuk itu, keberadaan tembok panyengker bisa didesain dengan mempertimbangkan faktor ketinggian, aspek transparansi (perlubangan), etika, estetika.

Mengenai ketinggian tentu dengan memperhatikan unsur-unsur kegiatan yang diwadahi, suasana yang diinginkan, pertimbangan pengalaman psikologis pengguna ruang. Dalam merancang tapak sebenarnya ada formulasi tertentu menempatkan dan mengatur ketinggian panyengker, terutama bila dibangun pada ruang-ruang yang bersifat publik. Ada yang berketinggian sebatas lutut, berfungsi pula sebagai pola pengarah, pembatas yang menunjukkan aktivitas di dalam yang berbeda dengan aktivitas yang terdapat di luar, namun masih ada view (pandangan) ke arah ruang sebelahnya, tidak ada privasi yang disembunyikan serta memiliki nilai komunikatif. Kemudian, ada pula setinggi di bawah pinggang manusia, di sini sebagian aktivitas di dalamnya masih terlihat dari luar.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 24 Juli 2005.

Pura Dalem Jagaraga - Buleleng, ''Saksi'' Perang, Prosesi Religius dan Keunikan Arsitekturnya

Belum ditemukan data pasti, entah tahun berapa didirikan Pura Dalem Jagaraga. Pura Dalem -- yang dulu disebut Pura Segara Madu -- ini, terletak di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Berjarak sekitar 11 km dari kota Singaraja. Pura ini merupakan Markas Komando laskar Bali dalam Perang Jagaraga, silam.

DI Pura Dalem inilah Jero Jempiring -- istri patih I Gusti Ketut Jelantik -- bertahan sebagai sentra perlawanan, menghadang serangan musuh, tatkala benteng Jagaraga yang berjarak sekitar 200 meter dari pura ini diduduki Belanda. Jero Jempiring dikenal luas lantaran berhasil mengatur jalannya pertempuran di sekitar Pura Dalem Jagaraga pada 1848, selaku komando dan penyala semangat laskar Bali saat menghadapi Belanda.

Konon wilayah Buleleng atau Bali utara kerap dikatakan sebagai wilayah yang senantiasa bergolak sejak abad ke-17 hingga ke-20. Kehidupan masyarakatnya yang dinamis menyentuh pergaulan multikultur. Saat itu kerajaan Buleleng memiliki rakyat yang dalam komunitas kehidupannya sangat heterogen dibanding wilayah-wilayah di kabupaten lain, misalnya bisa disebutkan adanya etnis-etnis Bugis, Cina, Arab, Jawa, Madura, dan Makassar di kawasan ini.

Akan halnya desa Jagaraga, dulu sempat kesohor sebagai ajang proses pembinaan dan penciptaan kreasi tari dan tabuh, di antaranya seperti terciptanya tarian "Teruna Jaya" dan tabuh "Palawakya" oleh Gde Manik bersama Pan Wandres. Jauh sebelumnya lagi merupakan sebagai tempat berdirinya benteng Jagaraga yang dibangun oleh pahlawan Nasional, Patih I Gusti Ketut Jelantik menjelang perang Jagaraga yang kedua. Mungkin lantaran kondisi geografis yang strategis, Desa Jagaraga telah berfungsi sebagai titik persinggahan pada akhir abad ke-18 bagi laskar-laskar kerabat kerajaan dari Kabupaten lain yang bergerak dari ibukota mereka ke Buleleng.

Desa yang diapit sungai (tukad) Gelung Sangsit di sebelah barat dan Tukad Daya di sebelah timurnya ini, berada pada ketinggian sekitar 100 meter dari permukaan laut dan berjarak hampir 5 km dari pantai pesisir laut utara. Di sebelah selatan desa ini -- yang kedudukan tanahnya kian meninggi -- terletak Desa Sawan, Menyali, Bebetin, Sekumpul dan Lemukih. Selain adanya benteng pertahanan yang dibuat ketika itu, sejatinya Desa Jagaraga sudah merupakan benteng alami, dikitari banyak pebukitan kecil dan sungai.

Di zaman silam, untuk mencapai Jagaraga dari Singaraja mesti melintasi empat sungai yang relatif besar dan curam. Strategisnya desa ini juga lantaran gampangnya lintasan ke daerah Batur ketika itu, baik melalui Desa Galungan dan Lemukih maupun lewat jalan Pakisan. Desa ini pun merupakan simpul pertemuan antara desa Bungkulan dan Menyali. Kini, dengan adanya perkembangan prasarana dan sarana transportasi, Jagaraga dapat dicapai dengan mudah dari segala arah.

Religius-Spiritual
Tak kurang sejak 40 tahun sebelumnya, hingga pecah Perang Buleleng 1846, proses penyatuan komunitas Jagaraga berjalan damai dan lestari. Bisa jadi mayoritas tetua moyang kalangan Bangsawan yang punya peran penting dalam Perang Jagaraga telah berdomisili di desa ini sejak kekuasaan wangsa Karangasem berjaya di Singaraja, di awal abad ke-19, yang kemudian bersama-sama rakyat desa setempat berjuang menentang penjajah.

Alkisah, di saat Singaraja jatuh pada pertengahan tahun 1846, tersebutlah patih I Gusti Ketut Jelantik memindahkan markas perlawanannya ke Desa Jagaraga. Idenya muncul untuk membangun benteng ala Barat nan canggih sebagai markas pertahanannya. Benteng ini terletak hanya sekitar 200 meter dari Pura Dalem Jagaraga. Kedekatannya dengan lokasi Pura Dalem ini dapat disebut sebagai perwujudan sistem pertahanan "duniawi-rohani" religius-spiritual. Dan, posisi benteng Jagaraga dianggap sebagai lini terdepan dalam kawasan kekuasaan sakti Dewa Siwa -- sebagai manifestasi Tuhan -- yang melambangkan kehancuran dan pralina bagi musuh atau Belanda yang berani menyerbu desa ini. Sementara istana berada di pusat desa, di muka Pura Desa.

Persiapan perang yang dilakukan laskar Bali di bawah pimpinan Patih Jelantik kala itu dapat dikatakan sebagai upaya membangun kekuatan melalui ranah religius spiritual berlandaskan ajaran agama Hindu yang diyakininya. Dalam kondisi genting seperti itu, keberadaan Pura Dalem memiliki keterkaitan sangat erat dengan Pura Desa dan Merajan Agung milik kalangan brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bilangan belakang Pura Desa Jagaraga.

Prosesi itu bertujuan membangkitkan spirit perjuangan dalam rangkaian upacara masupati (memberi kekuatan gaib dan kesucian) yang dilakukan oleh Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, senjata-senjata itu konon secara magis "dihidupkan" kembali, serta siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu - dari tempat penyimpanannya, diarak menyeberang jalan di muka Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di wilayah belakang perbentengan (dekat Pura Dalem Jagaraga), seterusnya menempati posisi masing-masing memperkuat benteng Jagaraga.

Pasukan bersenjata yang sudah di-pasupati itu pun bergerak melingkar ke arah kanan (searah putaran jarum jam). Dalam mitologi Hindu kerap dinamakan gerakan pradaksina. Arah gerakan ini bermakna membawa keberuntungan serta diyakini memiliki kekuatan-kekuatan magis-spiritual, menambah energi dan daya keampuhan bagi senjata tersebut. Pola serangan melingkar itulah diterapkan di medan pertahanan Jagaraga.
Singkat cerita, Perang Jagaraga berakhir menjelang senja pada 16 April 1849, dengan menelan banyak korban di kedua belah pihak. Menurut perkiraan, sekitar 2.700 orang laskar Bali gugur dalam perang itu. Sementara korban di pihak Belanda lebih dari 400 orang, termasuk beberapa perwira menengahnya.

Keunikan Pura.
Konon Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem beserta para pengikutnya juga bermarkas di Pura Dalem ini selama terjadinya pertempuran. Solidnya pertahanan ketika itu juga diperkuat oleh pasukan pecalang yang dikoordinir Jero Jempiring. Seorang perempuan, istri patih yang patriotik, pejuang andal nan gagah berani. Peran dan kontribusinya dalam kemenangan pihak Bali pada Perang Jagaraga I sangat besar, menyebabkan strategi perbentengan Patih Jelantik hidup dan berfungsi dengan baik ketika itu.
Pura Dalem Jagaraga yang piodalan-nya jatuh setiap Umanis Kuningan, wuku Langkir ini merupakan bagian dari Pura Kahyangan Tiga yang ada di Desa Jagaraga. Tempatnya berseberangan jalan dengan kuburan (setra). Pura ini menghadap ke Barat. Tapak atau site-nya memanjang dari barat ke timur. Pekarangan pura dibatasai tembok panyengker sekelilingnya. Pada jaba sisi - sebelum memasuki jaba tengah - terdapat candi kurung atau gelung kori yang khas bentuk maupun ragam hiasnya. Relief atau pepatraan-nya sangat otentik dan memiliki ciri tersendiri. Liang takikan ukiran tidak dalam, tapi melebar dan cenderung meruncing.

Di kiri kanan dari gelung kori atau candi kurung ini terdapat betelan (pintu samping kecil) yang bagian dalam atasnya melengkung. Jarak antara gelung kori maupun betelan terhadap tepi jalan amat dekat - kurang dari dua meter. Memasuki jaba sisi, di dalam halamannya terdapat bangunan bale gong yang berdenah segi empat panjang dan beratap seng, serta bale pawaregan yang juga beratap seng. Uniknya, sebelum memasuki halaman jeroan inilah baru bisa ditemui candi bentar. Di kiri kanannya juga terdapat pintu betelan, bentuknya nyaris serupa dengan betelan di luar yang membatasi jaba sisi dengan jaba tengah. Lubang pintu bagian atas berbentuk lengkung. Pada halaman jeroan inilah berdiri antara lain palinggih Sapta Petala di area kelod kangin, gedong Prajapathi, padmasana dan gedong Ida Betara Dalem yang semuanya berjajar di timur. Di sebelah baratnya masing-masing terdapat taksu, bale pengaruman dan bale piasan.

Keunikan yang dimiliki oleh arsitektur Pura Dalem Jagaraga ini merupakan salah satu aset arsitektur yang ornamentik atau dengan ragam hias yang unik dan otentik. Begitu pula kehidupan sosio-religius masyarakatnya. Semua itu sepatutnya senantiasa dinaungi oleh denyut-denyut pelestarian tradisi yang dijiwai nilai-nilai patriotisme, kebersamaan dan persatuan dalam berkehidupan atau bermasyarakat. Terlebih keberadaan pura ini juga menyimpan nilai-nilai historis perjuangan rakyat Buleleng melawan penjajah (Belanda) tempo dulu. Pelestarian nilai-nilai dan tampilan wujud arsitekturnya turut berperan di dalam menanamkan nilai-nilai moral yang arif secara berkelanjutan.

Di Mana Benteng?
Sekarang, orang-orang yang berniat mengenang kisah perjuangan rakyat Buleleng tersebut tidak bisa lagi menyaksikan sisa-sisa peninggalan benteng Jagaraga yang sebelumnya digunakan sebagai benteng pertahanan rakyat saat Perang Jagaraga. Khususnya bagi orang-orang yang ingin menyaksikan secara langsung tempat, site, atau tapak berdirinya benteng tersebut. Titik lokasi benteng kini tak berbekas lagi, rata tanah, ditumbuhi rumput, semak-semak dan pepohonan.

Guna lebih mengenang peristiwa bersejarah, sudahkah ada upaya dari pemerintah daerah setempat maupun dari masyarakat Buleleng untuk membangun sebuah "tanda" atau monumen - kendati tak monumental - di area bekas benteng Jagaraga ini? Sebuah tanda bermakna, tidakkah perlu diwariskan pada generasi penerusnya?

Dari sisi yang lain, pelestarian arsitektur Buleleng pada khususnya, selain tetap menyesuaikan dengan perkembangan zaman di era informasi digital dan virtual dewasa ini, maka ada baiknya untuk senantiasa menggali atau mengeksplorasi pola, tatanan ruang-ruang arsitektural dan ornamen atau ragam hias yang khas dimiliki.
Adanya pemukiman tradisional Desa Julah, Sembiran, Sidatapa, Tigawasa dan lain-lain adalah beberapa di antara yang memiliki kekhasan tersebut, bisa dipakai sebagai referensi kajian.

Begitu pula banyak pura yang dulu dibangun memiliki karakter khas dalam tampilan bentuk maupun ornamen serta ragam hiasnya. Bukankah ini suatu aset yang bisa dikaji kembali, atau dikembangkan, tanpa menyisihkan "roh" yang terkandung di dalamnya? Mungkinkah ciri-ciri spesifik itu bisa diadopsi ke dalam beberapa rancangan arsitektur di kota Singaraja khususnya atau Buleleng umumnya, yang bisa memberi nuansa atau citra lokal? Dapatkah Buleleng (atau Singaraja) dikatakan sebagai salah satu kota di Nusantara yang banyak menyimpan bangunan peninggalan bersejarah, atau yang beralkulturasi dengan budaya berbagai etnis - Belanda, Cina, Arab, hingga Bugis?

Zaman terus bergulir, tapi kadang melalui kenangan pula keberadaan wujud visual arsitektural turut memberi nilai-nilai pencerahan moral manusia, menuju peradaban yang lebih bijak dan mulia. Tempat di mana bercermin dan merefleksi diri, merenung sesaat atau berkontemplasi. Salah satunya, memberi makna akan keberadaan peninggalan-peninggalan arsitektur yang bernilai historis-religius. Penghargaan terhadap pelapisan makna yang tersingkap dan kandungan nilai-nilainya, adalah pula suatu upaya melanggengkan spirit patriotisme, kejujuran, kearifan pikir dan tindakan, serta meluhurkan budi pekerti, menuju pada kualitas moral manusia yang lebih baik.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 17 April 2005.

Alun-alun yang Memberi "Kesejukan" pada Publik

Alun-alun boleh jadi merupakan sebuah "teks" yang maknanya bisa berlapis, tergantung dari kemungkinan pertautannya dengan entitas (wujud) bentuk, spasial, fasade dan kandungan peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di dalamnya.
-----------------

BERDASARKAN catatan historisnya, terkait dengan ruang arsitektural (tempat-tempat yang berhubungan dengan peristiwa "puputan"), seperti bekas Puri Denpasar (kini gedung Jaya Sabha) yang terletak di utara Lapangan Puputan Badung, Jero Taensiat, Puri Pamecutan, Puri Suci (bekas Terminal Suci), Jero Belaluan, dan bekas tempat wantilan (di pojok Barat laut perempatan Catur Muka).

Dalam konteks kekinian, banyak aktivitas publik berlangsung di lapangan ini. Namun bagaimana dengan fasade (wajah) arsitektural yang berada di lingkungan alun-alun Puputan Badung saat ini? Sudahkah mencerminkan tampak visual yang mampu menyimak kenangan (alussory) bagi publik sebagai pengguna alun-alun Puputan? Sudahkah secara keseluruhan bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya bernuansa arsitektur Bali? Bagaimana eksistensinya sebagai salah satu objek city tour?

Dalam konteks membangun citra, pandangan mata publik yang berada di dalam lapangan tentunya turut merajut image tentang apa dan bagaimana sesuatu yang ada di sekitarnya. Realitas di atas dapat pula dipandang sebagai suatu interpretasi di dalam memaknai ruang di lapangan Puputan. Bagi publik yang menggunakan lapangan ini sebagai tempat rekreasi, alun-alun ini memiliki makna rekreatif dan mampu pula memberi makna historis dengan adanya elemen patung heroik semangat "puputan" di sisi utara lapangan itu sendiri. Bahkan mampu pula membangun makna religius dan edukatif dengan adanya pura Jagatnatha dan Museum Bali di sisi timur alun-alun Puputan.

Tempo doeloe, alun-alun yang merupakan pelengkap fasilitas Puri Denpasar itu berperan amat penting, selain sebagai tempat untuk memberikan pengarahan dari Raja kepada rakyatnya, pun sebagai tempat hiburan. Puri, dulu digunakan sebagai pusat pemerintahan selain sebagai tempat tinggal Raja beserta keluarganya. Sementara pasar yang berposisi di sebelah barat alun-alun ketika itu, merupakan fasilitas sosial ekonomi. Sedangkan di sebelah timur dan selatannya, dulu merupakan sebagai tempat permukiman penduduk.

Sejatinya, kedudukan ruang terbuka atau alun-alun memiliki posisi strategis dalam penataan suatu kota. Itu lantaran penggunaannya lebih banyak dipakai untuk kepentingan publik. Salah satu bagian yang terkait pula dengan keberadaan lapangan Puputan ini adalah adanya konsepsi pempatan agung, sebagai titik orientasi di tengah kota.

Alun-alun Puputan Badung yang memiliki luasan sekitar 3 (tiga) hektar ini, secara konsepsional punya pemaknaan yang dikondisikan oleh keberadaan wujud arsitektural di sekitarnya.

Di sebelah utaranya ada rumah Jabatan Gubernur Bali (Gedung Jaya Sabha), bermakna "mengayomi" bersama kantor Walikota yang ada di sebelah barat laut alun-alun. Di sebelah timur ada Pura Agung Jagatnatha dan Museum Bali, memberi makna spiritual dan edukatif. Di sebelah barat ada Gedung Kodam IX Udayana, bermakna "mengamankan". Sementara di sebelah selatannya terdapat Gedung Garuda (bersosok modern), kantor Pertamina dan Garnizun, bermakna "menyatukan masyarakat dalam mencapai tujuan hidupnya".

Rancangan Tapak
Sebagai ruang terbuka (public space), lapangan atau alun-alun Puputan Badung merupakan suatu sarana yang memberi "kesejukan" psikologis bagi publik. Lapangan ini memiliki makna yang terbentuk pula oleh kegairahan masyarakat untuk berkumpul, berkomunikasi, ber-rekreasi di tengah kepenatan kehidupan kota. Makna alun-alun ini juga bisa terbentuk oleh situasi lingkungan dan aktivitas keseharian masyarakat sekitarnya.

Beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan untuk penataan ruang alun-alun ke depan, antara lain sbb.;
1. Perlu dibuat kantong-kantong parkir di sisi barat, timur dan selatan lapangan, masing-masing sekitar 4-5 meter dari tepi jalan, guna memberikan rasa aman dan kenyaman pada para pengunjung yang datang ke alun-alun.
2. Kegiatan yang bersifat ritual-spiritual harus senantiasa berjalan seperti yang telah berlangsung sejak dahulu, misalnya sebagai tempat persembahyangan massal bagi berbagai umat, seperti hari Saraswati, Purnama, Tilem, upacara Ngerupuk (menjelang Nyepi), Idul Adha, dll.
3. Bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya (sebut: Puputan square) hendaknya diupayakan beradaptasi dengan konsep, makna dan karakter arsitektur yang ada sebelumnya. Dengan kata lain, mencerminkan tatanan ruang, pemaknaan dan nilai-nilai arsitektur Bali.
4. Ke depan, hendaknya jangan sama sekali memagari alun-alun ini, apa pun bentuk dan bahannya, terkecuali tanaman rendah dan pohon-pohon peneduh di beberapa sisi.

Kiranya, keberadaan alun-alun Puputan Badung sangat relevan untuk dilestarikan oleh masyarakat Bali, serta tetap ditunjang oleh nuansa dan citra arsitektur Bali di sekelilingnya. Ia bukan semata ruang kosong tanpa makna, tapi mengandung pelapisan makna sejarah pembentuk ruang kota maupun historikal "puputan", bermakna religius, edukatif, komunikatif dan rekreatif. Selain itu, penggunaan ruang terbuka yang berhubungan dengan kegiatan ritual, yang kerap berlangsung di alun-alun Puputan, hendaknya senantiasa berkesinambungan.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 18 September 2005

Melacak ''Hong Sui'' dalam Arsitektur Bali

Dalam minggu-minggu ini, umat Hindu kembali memasuki hari-hari suci, seperti Galungan dan Kuningan. Hari Raya ''kemenangan'' dharma melawan adharma, sekaligus hari ''perenungan'', kontemplasi atau refleksi diri. Dalam konteks arsitektur, mungkin ada baiknya melakukan ''instrospeksi'' ke dalam. Menyingkap ''tirai'' esensi dan substansi kearifan lokal arsitektur Bali. Di antaranya, bagaimana mengangkat nilai-nilai dan makna tatanan arsitektur Bali yang salah satunya ada memiliki kemiripan dengan hong sui. Semisal yang berhubungan dengan tata letak tanah dan bangunan serta pengaruhnya terhadap penghuninya.
-----------------

SELINTAS, jika merunut perjalanan popularitas hong sui, mungkin dapat disimak dari fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan serta orang-orang yang mempublikasikan tentang keunikan yang ada di dalamnya. Sehingga, hong sui memasyarakat hingga ke negeri Eropa selain ke negara-negara Asia.

Hong sui berasal dari kata hong yang berarti "angin" dan sui berarti "air". Makna lain hong sui itu lebih menekankan pada tata letak bangunan yang memiliki potensi chi (hawa) sejati. Punya kemiripan dengan ketentuan yang dituangkan dalam aturan tata letak tanah dan bangunan dalam arsitektur Bali. Seperti disebutkan dalam sastra Hindu, bangunan yang didirikan akan memacarkan vibrasi (getaran). Vibrasi itu dapat bersifat baik (positif) atau tidak baik (negatif), tergantung benar-salahnya seseorang meletakkan suatu bangunan.

Asal hong sui dari Tiongkok, lantas berkembang ke Jepang, diakui dan dipergunakan sebagai pedoman untuk pembangunan istana-istana raja. Dalam tradisi Tiongkok, pemahaman tata letak dari gedung dan tempat bermukim punya arti yang sangat penting. Mesti ada penentuan letak gedung, luas dan pedoman kota maupun tempat hunian itu sendiri secara komprehensif (utuh dan menyeluruh). Hong sui dibagi dalam yang che (rumah yang) sebagai bangunan yang dihuni oleh manusia, dan yin she (rumah yin) atau tempat pemakaman.

Sementara dalam asitektur Bali, bentuk dan tata letak tanah atau pekarangan (beberapa ketentuan tentang baik buruknya) untuk tempat tinggal atau perumahan, diupayakan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam lontar "Tutur Bhagawan Wiswakarma", "Bhamakretih", "Japakala" dan "Asta Bhumi" sebagai acuannya. Misalnya, kalau tanah pekarangan pada sisi baratnya agak tinggi (menggik kauh), baik untuk tempat tinggal, yang menempatinya menemukan kebahagiaan.

Contoh lain, pekarangan yang pintu masuknya tepat berhadapan dengan pintu masuk pekarangan orang lain yang berada di depannya, disebut karang nyeleking, pengaruhnya tidak baik. Suatu pekarangan yang berpintu masuk lebih dari satu, disebut karang boros, pun tidak baik. Atau jika tanah/ pekarangan itu merupakan karang bekas pura, paibon, merajan, orang mati gantung diri, peyadnyan sulinggih atau pandita, tak boleh dipakai sebagai tempat tinggal atau perumahan.

Namun, mengapa ketentuan-ketentuan yang ada dalam lontar-lontar sejak dulu itu tak sepopuler hong sui? Apa lantaran ihwal tersebut kurang diaktualisasikan dengan perkembangan zamannya? Atau karena tidak/belum punya "istilah" khusus untuk menamai ketentuan (seperti hong sui) yang tersebut dalam lontar-lontar itu?

Sekala-Niskala
Bila dikaji lebih jauh, pengaruh baik-baiknya maupun upaya yang dilakukan untuk menghindari atau menetralisir pengaruh tersebut, senantiasa mempertautkannya dengan hal-hal yang bersifat fisik, tangible, nyata (sekala) maupun prihal yang intangible, tak kasat mata (niskala). Dengan kata lain ''berkorelasi'' horizontal maupun transendental (vertikal). Ada religiosistas dan proses ritual di dalamnya. Suatu totalitais kearifan dan harmonisasi kehidupan.

Penelusuran dan eksplorasi nilai dan makna yang terkandung dalam ketentuan tata letak tanah dan bangunan bercitra kearifan lokal Bali, kiranya lebih memberi peluang, untuk lebih membuka pemahaman atau penafsiran yang benar tentang tata cara membangun paumahan menurut tafsir (smerti) agama Hindu. Seperti yang ada tertuang dalam lontar-lontar, membuat secara rinci mengenai cara memilih tanah, jenis tanah, tata ruang (spasial) halaman, prosedur membangun hingga upacara yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas bangunan.

Juga ada petunjuk atau ketentuan tentang bagaimana memiliki letak tanah, merujuk pada letak yang baik atau sebaliknya. Semisal, ada tanah yang disebut dewa ngukuhi, tanah atau pekarangan yang dapat memberi rasa damai dan tentram. Jika di sekeliling tak ada tanah yang lebih tinggi sebagai penyandingnya, tanah itu dinamakan asah madya. Hal lain, ada letak tanah yang dianggap tak baik, seperti disebut dengan sandang lawe atau karang negen, yakni tanah yang letaknya tepat berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan atau gang, dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa (garis keturunan ayah/laki-laki).

Pun ada yang disebut karang suduk angga, tanah atau pekarangan yang letak atau posisinya tertusuk (katumbak) jalan, gang, sungai, got dan tembok panyengker tanah orang lain. Tanah ini tidak baik untuk tempat tinggal, disebut karang panes atau nyakitin. Konon orang yang menempati atau menghuninya akan kerap kena bencana, acap bertengkar lantaran hal-hal sepele, sering kecurian, kena fitnah, diganggu mahluk halus.

Sementara tanah yang berada pada sudut pertigaan jalan/gang, atau setengah dari sisi tanah pekarangannya dilingkari oleh jalan, gang, got atau sungai, disebut karang sulanupi. Jika tanah itu diapit atau dikelilingi jalan raya, gang atau got dinamakan karang kuta kubhanda. Ada pula karang teledu nginyah, bila rumah dikitari oleh jalan melingkar di sekelilingnya. Karang grah, andai pekarangan itu bersebelahan dengan Pura Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Lainnya, karang tan maren mahyus grah, menunjuk pada tanah yang serasa panas atau pengap lantaran tak ada udara segar.

Ada lagi yang disebut manyeleking, apabila dalam satu halaman ada beberapa rumah KK (kepala keluarga) yang kawitan-nya berbeda. Jika tanah tempat dibangun rumah itu berseberangan jalan dengan rumah saudara kandung, termasuk tanah yang tak baik pula, disebut amada-mada Bhatara. Begitulah apa yang tersirat dan tersurat, sebagai bagian dari tata cara menata letak tanah dan bangunan.

Begitu pula aturan menempatkan pintu masuk dan memiliki perhitungan tersendiri. Menempatkan pintu masuk ke pekarangan tak boleh asal-asalan, lantaran pintu masuk pun punya pengaruh pada kehidupan saban hari bagi penghuninya. Pintu masuk diyakini sebagai stana Sang Hyang Dorakala. Dora artinya lawang (pintu), kala berarti waktu atau hari. Membuat pintu masuk berdasarkan pada petunjuk lontar "Asta Bhumi", yakni luas pekarangan dibagi sembilan, sesuai arah pintu yang akan dibangun.

Misalnya, andai arah pintu masuk menghadap ke selatan, cara menghitungnya adalah: luas pekarangan atau tembok di sebelah selatan dibagi sembilan. Menghitungnya mulai dari timur ke barat. Pada perhitungan 1, disebut bhaya agung (berbahaya), tidak baik. Hitungan ke-2 berakibat tak bisa punya anak. Hitungan ke-3 dinamakan sukha mageng (besar kebahagiaannya). Titik ke-4, brahma sthana (pengaruhnya baik). Di hitungan ke-5 disebut dewi wredhi (baik), ke-6 sugih rendah (baik), ke-7 teka wredhi yang juga baik, ke-8 kepaten (kematian), dan jika berada pada titik hitungan ke-9 berakibat kageringan (sakit-sakitan).
Begitu pula dibagi 9 untuk tanah yang menghadap ke barat, timur dan utara. Namun masing-masing titik pembagian itu punya perbedaan arti atau makna, tergantung dari posisi menghadapnya tanah atau pekarangan itu terhadap jalan utamanya.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 9 Oktober 2005

Kuta Square dalam Bingkai Arsitektur

Kuta Square, salah satu lokasi yang dikoyak bom pada 1 Okober 2005, selain Menega Cafe dan Nyoman Cafe di pantai Jimbaran, dikatakan sebagai tragedi bom Bali kedua. Tragedi itu menyisakan duka yang dalam. Korban berjatuhan, selain akibat hantaman bom, juga lantaran tertimpa reruntuhan dan serpihan bangunan yang mengalami kerusakan. Lantas, bila diteropong dari sisi bangunannya, apa dan bagaimana ungkapan wujud arsitektur Kuta Square? Elemen apakah yang mesti ditambahkan pada bangunan publiknya untuk bisa mendeteksi adanya bom?
-------------

KUTA, Bali, merupakan satu ikon pariwisata yang amat dikenal di dunia. Orang yang berwisata ke Kuta pasti akan mengenal kawasan Kuta Square yang letaknya sekitar 10 km dari kota Denpasar, atau 3 km dari Bandara Ngurah Rai, Tuban, itu. Tempat itu merupakan kawasan pertokoan atau pusat perbelanjaan, tumbuh di kawasan pemukiman Desa Adat Kuta. Jalan di depan pertokoan merupakan jalur dua arah. Arsitektur pertokoannya sebagai gabungan dari beberapa buah bangunan di sisi kiri-kanannya, terbagi dalam beberapa ruang (di lantai atas) pada masing-masing toko.

Perkembangan pariwisata memberi tempat pada perubahan pola hidup masyarakat. Perubahan itu secara langsung berkorelasi dengan perkembangan bentuk dan fasad (wajah) arsitekturnya. Sebagai zona perbelanjaan masa kini, pola aktivitas, kebutuhan, fasilitas yang ada di Kuta Square tidak banyak berkaitan dengan fungsi adat istiadat atau pakraman di Bali. Mungkin karena itu pula, wajah arsitekturnya banyak dikemas dengan polesan desain non-Bali.

Tidak Sepenuhnya
Besarnya kekuatan modernisasi terlihat merambah kawasan ini, khususnya yang berhubungan dengan pewajahan arsitektur di Kuta Square. Hal ini menjadikan kawasan ini cenderung "berwajah asing" di tempatnya sendiri. Bentuk dan ornamen non-Bali merasuki. Kuta sebagai sebuah daerah tujuan wisata menerima pengaruh yang cukup kuat dari perkembangan arsitektur modern.

Dalam kenyataan, arsitektur Kuta Square sebenarnya telah berupaya menampilkan wajah lokal dalam usaha menunjukkan ke-Bali-an dengan berbagai cara melalui ragam hias, bentuk, penampilan warna dan bahan serta langgam. Namun, dalam tampilan masing-masing tidaklah sepenuhnya memberi nuansa arsitektur lokal Bali.

Arsitektur Kuta Square sepertinya menyimpan power yang menurut fungsinya digeluti geliat pergerakan ekonomi. Sendi-sendi ekonomi era global yang terbangun itu turut memberi wajah "internasional" pada gubahan arsitekturnya. Untuk itu, guna lebih menyadarkan pengunjung di mana dia berada, pertokoan Kuta Square mungkin bisa lebih di-Bali-kan desainnya, agar tidak memiliki kesamaan "rupa" dan suasana dengan pusat-pusat perbelanjaan di negara lain atau kota-kota besar di luar Bali.

Tata ruang bangunan Kuta Square merupakan satu kesatuan memanjang. Sirkulasi vertikal terletak di dalam bangunan, sementara sirkulasi horizontal, bagian luar berupa selasar, bagian dalamnya disesuaikan dengan penataan barang-barangnya. Bentuk massa bangunan sebagian besar memanjang (linier). Khusus gedung Matahari mendekati bentuk kubus. Komposisi bukaan, semua unit pertokoan menghadap jalan dan menempatkan bagian depan sebagai bukaan terluas. Berbeda bagi Matahari, arah hadap utamanya berorientasi ke tempat parkir, bukan ke jalan. Pintu-pintu utama/depan bagian dalam bangunan pertokoan punya standarisasi bukaan pintu kaca dan di depan. Sementara bagian terluar umumnya memakai pintu falding door atau rolling door.

Hiasan dan Bahan
Pada ragam hias (ornamen dan dekorasi), Kuta Square memiliki beberapa kelompok berornamen Bali (Bali kini) maupun non-Bali. Kandungan ornamen Bali dapat ditemui pada konsol-konsol yang mentransformasikan bentuk sunduk pada toko Animale berbahan beton diprofil.

Sementara ornamen non-Bali terlihat pada entrance hall Matahari Shopping Centre, Atelier Versage, Tourist Information H.I.S., toko Sol, Emporio Armani Jean, Roxy, Noa-noa, dan Sonia.
Beberapa kelompok bangunan menggunakan dekorasi Bali (bentuk lelengisan). Contohnya, toko Mayang Bali dan Polo yang menerapkan dekorasi ukiran Bali, dibuat sangat detail dengan bahan paras Silakarang. Tampilannya sebagai salah satu dari beberapa unit pertokoan Kuta Square yang mencoba mem-Bali-kan sebuah tampilan arsitektur modern. Bangunan yang berdekorasi non-Bali dapat ditemui pada toko Volkom, KFC Restaurant, dan Central Station.

Bagaimana mengenai bahan? Finishing dinding yang menggunakan bahan lokal bata gosok (pripihan), yakni toko Polo. Toko Rascels menggunakan paras Krobokan dan paras Taro, serta toko Animale mengkombinasikan paras Krobokan dan Silakarang. Toko Lotte menggunakan paras cetak batik dikombinasi bata pripihan.

Bahan finishing dinding non-lokal seperti batu palimanan terdapat pada toko Sonia, bahan glass block di toko Noa-noa. Namun, seluruh struktur bangunan menggunakan bahan beton bertulang, termasuk bangunan Raja's Bar & Restaurant, yang terletak di timur jalan, tempat terjadinya ledakan bom. Banyak bangunan berkaca pada bidang-bidang yang memerlukan pencahayaan alami dan tembus pandang dari luar.

Lantas, dengan warna? Secara keseluruhan, banyak warna yang ditampilkan secara mencolok, misalnya toko Central Station, seluruh dindingnya dicat merah oranye. Toko Price Shop, seluruh dindingnya ditutup billboard merah darah. Toko Volkom, seluruh dindingnya dicat hitam, dan toko Roxy berwarna hijau. Ada pula dindingnya dicat ungu muda seperti toko Everbest. Namun, beberapa kelompok bangunan lainnya menggunakan warna-warni Bali -- natural, warna merah bata dan warna abu-abu paras.

Elemen Pendeteksi
Selain arsitekturnya yang -- sepatutnya -- dibuat bercitra Bali, toko-toko yang ada di situ agar tak berkesan asing di negeri sendiri, juga perlu dipasang elemen pendeteksi. Ini untuk memantau setiap gerak-gerik pengunjung maupun barang-barang yang dibawanya. Misalnya dengan menempatkan kamera pemantau CCTV (Close Circuit Television) pada gedung-gedung publik di kawasan ini maupun untuk kawasan lainnya.

Seorang pengamat teknologi informasi, Roy Suryo mengatakan, ruang umum publik seperti mal, restoran, rumah sakit, stasiun, dan bandara wajib dipasangi kamera pengintai. Rekaman gambarnya tak hanya menjadi bukti tindak kriminal, juga bisa mencegah kejahatan. Dengan adanya CCTV, tingkah laku orang yang mencurigakan bisa dideteksi lebih dini.

Selain CCTV, konon ada pula alat pengintai dan pemantau lain. Salah satunya, "detektor radar". Konon Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah mengembangkan alat itu.
Pada dasarnya, setiap objek atau benda memiliki frekwensi khas. Maka, bom pun sudah pasti dapat diidentifikasi, kendati ada di balik kerangka mobil atau disimpan dalam ransel. Negara Belanda ditengarai sudah mengembangkan sistem radar untuk mendeteksi ranjau. Sistem pendeteksi juga bisa dipasang pada robot. Alat bersinyal dan berpemancar sinyal ini juga bisa digerakkan (dengan remote control) untuk menyisir kawasan yang dicurigai.

Alat-alat pendeteksi itu pun sepatutnya diletakkan pada sudut-sudut atau bagian tersembunyi, namun punya radius jangkauan luas untuk memantau wilayah yang harus diamankan, Misalnya ditempatkan pada bagian ornamen strukural arsitekturnya, atau pada sudut-sudut elemen arsitektur lainnya. Tentu, selain alat-alat yang perlu disediakan itu, hendaknya tak lupa pula menempatkan alat-alat pemadam kebakaran di ruangan masing-masing.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 16 Oktober 2005.

Jejak Historis Pancuran Jagaraga, Ruang yang Mampu ”Diraba” Jiwa Raga

Jejak Historis Pancuran Jagaraga,
Ruang yang Mampu ”Diraba” Jiwa Raga

ARSITEKTUR pancuran sejatinya telah ada sejak awal peradaban manusia, tatkala manusia mulai mengenal teknologi yang paling sederhana. Terbawa oleh naluri kehidupan berkomunitas dan atas kebutuhan bersama untuk mandi serta keperluan lainnya, ruang pancuran bukan sekadar bentuk visual semata, namun adalah juga tempat terjadinya interaksi sosial. Mengapa demikian? Apa dan bagaimana arsitektur pancuran di desa Jagaraga yang terletak sekitar 11 km dari kota Singaraja ini?

Adalah sebuah arsitektur pancuran bernilai historis yang terletak di Desa Jagaraga. Desa yang di sebelah selatannya terletak desa Menyali, Sawan, Bebetin dan Sekumpul ini merupakan pula simpul pertemuan antara desa Menyali dan Bungkulan.
Sebuah pancuran bukan sekadar pancuran untuk mandi atau untuk membersihkan badan, tapi juga tempat untuk bercengkerama, bersendagurau. Di tempat ini pula perbincangan dan nilai-nilai keakraban terjalin. Dalam sebuah pancuran air mengalir terus menerus. Setiap orang yang mandi di dalamnya bisa sepuasnya mandi membersihkan diri. Maka dengan demikian kelangsungan suatu tatanan sosial pergaulan yang baik dapat terjadi.

Perang Jagaraga
Belum diketahui pasti sejak kapan dibangun pancuran Jagaraga ini. Ada yang mengatakan pancuran ini sudah ada ketika terjadi perang Jagaraga tempo dulu. Pancuran yang berada dipojok depan jaba sisi / teben Pura Desa Jagaraga ini boleh dikata sebagai salah satu saksi bisu menjelang terjadinya puncak perang Jagaraga pada 16 April 1849.
Konon laskar perang di bawah pimpinan Patih Jelantik dan Jero Jempiring melakukan pensucian dan pemberian kekuatan gaib (pasupati) terhadap peralatan perang, perkakas atau senjata sebelum berperang melawan musuh (Belanda) ketika itu, serta melakukan arak-arakan keliling (pradaksina) mengitari Pura Desa.
Pola berkeliling sebayak tiga kali ini bermakna membawa keberuntungan serta diyakini memiliki kekuatan-kekuatan magis-spiritual, sebelum menuju ke medan laga.
Sementara markas perangnya berpusat di Pura Dalem Jagaraga, yang saat itu disebut pula dengan nama Pura Segara Madu. Keberadaan Pura Desa juga memiliki keterkaitan erat dengan Pura Dalem dan Merajan Agung milik kalangan Brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bagian belakang Pura Desa Jagaraga.
Prosesi pradaksina itu dimaksud untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Buleleng. Rangkaian upacara masupati dilakukan Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, peralatan perang itu secara magis "dihidupkan" kembali, serta siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu - dari tempat penyimpanannya - diarak melewati depan pancuran Jagaraga, kemudian menyeberang jalan di depan Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di bagian belakang benteng Jagaraga.
Ruang Pancuran adalah ruang arsitektural sebagai ’arsitektur yang humanis’. Didalamnya berkembang suatu vocabulary ruang, di mana terjadi pembentukan ruang, peng-gatra-an ruang, intuisi spasial, efek spasial, dan desain ruang. Air pancuran yang mengucur dari mulut pancuran menciptakan efek kontinyuitas yang mengalir.
Ruang mandi berupa pancuran boleh dikata sebagai ide spiritual yang menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi berinteraksi antar orang-orang yang ada di dalamnya. Bisa pula disebut sebagai ruang yang memiliki kekuatan ’genetis’ yang secara naluriah dimiliki oleh setiap insan. Tempat mandi bersama, bertukar cerita dan kisah, transparansi dan kejujuran adalah cerminan dari ruang arsitektural sebuah pancuran.

Fungsi dan Bentuk
Air yang bersumber dari hulu desa Jagaraga, yang berbatasan dengan desa Menyali ini mengalir ke arah utara, lantas ditampung dalam sebuah bak besar di sudut depan halaman jaba sisi pura desa Jagaraga.
Dari dalam bak itu dialirkan ke luar melalui empat saluran yang keluarannya berupa pancuran, masing-masing terdiri dari dua buah untuk pancuran laki-laki dan dua lagi untuk pancuran perempuan. Kedua ruang pancuran itu hanya dibatasi oleh tembok (sengker) pemisah. Pada setiap paduraksa tembok panyengker keliling pancuran, di atasnya dipasang patung-patung, keseluruhan patung menghadap ke utara..
Setiap mulut pancuran dihiasi dengan ornamen estetik (khas ukiran gaya Buleleng) yang sedikit berbeda tampilan detil moncong pada mulut pancuran bagian kanan dan kirinya. Ukiran Boma bersayap merupakan ornaman yang spesifik pada pancuran ini. Tampilan ornamennya ekspresif dan berkarakter.
Ruang pancuran seluruhnya hanya terbagi dalam dua bilik. Setiap pintu masuk ke dalam pancuran berisi aling-aling. Di bagian luar (posisi di tengah, di antara kedua pintu masuk) terdapat sebuah pancuran bagi warga desa yang memerlukan air untuk keperluan rumah tangga. Bagian ini pun ber-ornamen Boma bersayap yang mengucurkan air dari ’mulut’-nya.
Arsitektur pancuran merupakan pula sebagai salah satu ekspresi ruang yang mampu ”diraba” oleh jiwa dan raga manusia. Sifat unik dari ruang arsitektonik pancuran mengkondisikan efek-efeknya terhadap hubungan antar manusia. Arsitektur sebuah pancuran bisa diartikulasikan sebagai kombinasi ruang, bidang.massa, unsur garis dan air. Selain itu pancuran ini menyimpan nilai-nilai bersejarah dan berkontribusi memberikan kemudahan bagi warga setempat dalam membutuhkan air. Secara mendasar, ruang arsitektural sebuah pancuran menggabungkan tiga macam ruang - rabaan, gerakan dan pandangan dan dengan demikian menyatukan semua indera manusia yang berhadapan dengan pengalaman-pengalaman hidup seseorang.

Sentra Permandian
Dulu, pancuran Jagaraga sesungguhnya merupakan sentra permandian bagi masyarakat/warga desa Jagaraga, kendati ada pula sebuah tukad (sungai) di sebelah timur desa sebagai tempat mandi dengan suasana alami. Namun lantaran tempatnya relatif jauh dari perumahan penduduk maka pancuran di desa inilah yang ramai dikunjungi, baik tua, muda maupun anak-anak. Ruang arsitektur pancuran benar-benar turut memberi kontribusi dalam membentuk dan menumbuhkan perilaku kebersamaan.
Kini, pola hidup orang-orang di desa sudah semakin berubah dan berkembang diiringi oleh pembuatan kamar mandi serta WC di setiap rumah tinggal. Keadaan ini kian menyurutkan jumlah warga yang mandi di pancuran ini. Agaknya hal itu pula yang menyebabkan pancuran Jagaraga terlihat kurang terawat dan kurang terjaga kebersihannya. Sebagian lantai yang berlumut-sehingga licin-bisa menyebabkan orang terpeleset saat mandi. Dulu aktivitas di sini bukan sebatas mandi, namun kadang ada juga yang memanfaatkan untuk mencuci pakaian. Pada bagian ornamen di sekitar lubang pancuran pun tampak berlumut dan ditumbuhi tanaman merambat.
Mengingat pancuran Jagaraga sangat strategis tempatnya-di pusat desa atau di Jaba sisi Pura Desa, maka memang sudah sepatutnya ini tetap dilestarikan dengan merawatnya. Terlebih keberadaan pancuran ini sejak dulu memiliki pertalian historis dengan desa Jagaraga itu sendiri. Air adalah sumber kehidupan. Arsitektur pancuran sebagai wadah beraktivitas mandi dan ajang ”berkumpul”, bersoaialisasi, berbincang, sendagurau bersama, merupakan sebagai arsitektur warisan tetua warga desa yang mesti dijaga dan dirawat agar tak jadi kering dan kesepian.

• Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 2 November 2008

Mencermati Vibrasi Tanah Bali

Mencermati Vibrasi Tanah Bali

Di berbagai tempat, banyak daerah pernah ditimpa musibah, yang menyengsarakan hingga tak sedikit menelan korban jiwa. Ada tanah pulau menyemburkan lumpur panasnya, bencana gempa bumi, tsunami, longsor, abrasi pantai dan lain-lain. Adakah ini karena ulah dan kekhilafan manusia itu sendiri terhadap alam? Bagaimana dengan ketersediaan dan peruntukan tanah Bali kini?

Agaknya perlu segera dihentikan sikap mrncederai alam, seperti penebangan pohon di daerah hulu, eksplorasi perut bumi, hingga pengalihfungsian lahan produktif, terlebih tanah yang memiliki vibrasi. Jika saja hati nurani manusia lebih terkendali untuk tidak merusak, mengais atau menggerogoti “keseimbangan “ alam, kiranya alam tak akan menjadi murka, hingga ujung-ujungnya manusia jadi nemu baya atau menemukan bahayanya.

Tanah, salah satu bagian dari Panca Maha Bhuta yang juga unsur pembentuk tubuh manusia, patut dihormati dan diberi tempat semestinya, dengan memerhatikan hukum-hukum keseimbangan alam semesta. Upaya untuk tetap turut memberi keseimbangan antara kosmos alit dengan kosmos agung (jagat raya) merupakan upaya mulia sebagai “warisan” panutan yang bijak ke anak cucu. Tanah juga sebuah wilayah, di mana manusia bisa menatanya sesuai kebutuhannya. Namun, kondisi dan “karakter” tanah di setiap tempat kadang berbeda baik dari sisi fisik geologis, geografis, atau topografis tanah. Bahkan secara spiritual tanah dikatakan memiliki aura masing-masing. Benarkah?

Salah satu kearifan dalam arsitektur Bali, berdasar smerti Agama Hindu disebutkan, dalam menata penggunaan tanah-misalnya untuk membangun rumah-ada disinggung tentang tata cara memilih jenis tanah, tata letak tanah, tata ruang halaman, prosedur mendirikan bangunan, serta proses ritual yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas rumah.

Dalam sebuah lontar – Keputusan Sang Hyang Anala – mengungkapkan, untuk letak tanah disarankan memilih tanah menggik kauh (lebih tinggi di sebelah barat). Apa makna tekstualnya? Dari lintasan matahari, arah terbit-tenggelamnya jelas akan mempengaruhi tata letak yang ideal untuk sebuah rumah. Ke arah mana rumah menghadap, itulah sasarannya. Logikanya, dalam site (tapak) lahan tersebut akan cenderung berorientasi ke tanah yang lebih rendah dan berupaya menghindari terpaan sinar matahari yang sudah condong ke barat. Maka tanah yang menggik kauh akan sangat efektif dan menjadi pilihan. Untuk itu pula jika site itu kondisinya datar (asah), diharapkan tanah penyandingnya tidak lebih tinggi. Sehingga disarankan memilih tanah yang disebut asah madya, lebih memberi perasaan tentram-damai (dewa ngukuhi).

Sementara tanah yang berhadapan dengan jalan lurus dikatakan tidak baik. Tanah itu disebut sandang lawe. Hal ini cukup beralasan, lantaran akses sirkulasi ruang publik secara fisik-visual maupun dari sisi ketidakamanan dan ketidaknyamanan akan mengarah secara frontal ke rumah yang dibangun itu. Begitu pula jika ada tanah dikelilingi jalan raya (sula nyupi) atau yang diapit jalan raya (kuta kabanda) dikatakan tidak baik. Tentu semua paham kalau jalan raya boleh dikata merupakan kumpulan keriuhan atau kebisingan, juga polusi udara. Logis bila di kedudukan tanah seperti itu tak patut untuk dibangun rumah. Apalagi jika ada jalan melingkar di sekitar pekarangan rumah (karang teledu nginyah), sangat tak patut di dalamnya didirikan rumah.

Bagaimana bila ada tanah untuk rumah yang letaknya bersebelahan dengan Pura Dang Kahyangan, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga? Dalam lontar disebutkan, tanah itu disebut karang grah, berakibat tidak baik bagi penghuni rumah yang bertempat tinggal di dalamnya. Logikanya, pura merupakan tempat suci, tempat persembahyangan umat Hindu. Dalam radius tertentu diupayakan untuk bebas dari lingkungan yang mencemari lingkungan pura, baik dari segi fisik, visual atau pandangan, suara, polusi udara dan pencemaran aroma/bau. Jika di sebelah tempat suci itu dibangun rumah, juga berpengaruh tidak baik bagi penghuni rumah maupun terhadap vibrasi kesucian pura. Misalnya, bagaimana bila ada kegiatan ritual atau upacara di pura yang bersebelahan dengan rumah.

Begitu pula sebaliknya, segala aktivitas yang berlangsung di dalam rumah, seperti memasak, membuang limbah, pekerjaan yang menimbulkan kebisingan, dll. tentu akan mempengaruhi suasana lingkungan pura. Ada pula letak tanah tidak baik, yang disebut dengan amada-mada Bhatara, yakni tanah rumah yang dimiliki berseberangan jalan dengan rumah saudara kandungnya.

Menerka Tanah
Keadaan tanah tidak sepenuhnya datar. Ada tanah miring, berbukit atau curam. Bagaimana dengan tanah pekarangan? Tanah pekarangan merupakan tanah untuk tempat berdirinya umah. Kata pekarangan berasal dari kata karang (batu karang). Tanah dan batu karang adalah sebagai benda mati yang keduanya memiliki ‘habitat’ yang sama dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.Perpaduan antara butiran-butiran kecil (tanah) dengan bebatuan yang padat, di mana perpaduan keduanya tepat sebagai tempat pijakan semua makhluk hidup di bumi dan media penghidup di mana tanaman bisa tumbuh.

Tempo dulu garis batas sebelah menyebelah tanah umumnya tidak menggunakan pembatas fisik (masif) seperti tembok. Namun menggunakan beberapa jenis tumbuhan yang ditanam pada garis batas itu, sehingga antara rumah-rumah dan pekarangan yang satu dengan rumah-rumah yang lainnya hanya dibatasi pepohonan. Tanah pekarangan (di Bali) yang pada awalnya berasal tanah sawah maupun ladang diperlukan upacara (ritual) yang disebut nyapuh.

Di masa lalu ada dikenal suatu ilmu yang disebut tarka, yang diwariskan oleh generasi sebelumnya (para tetua). Isinya mengulas tentang bagaimana menerka posisi dan peruntukan tanah serta bangunan. Lontar Bhamakreti dan Astabumi ada menyebutkan cara menerka tanah dan peruntukannya. Para undagi (arsitek) umah Bali mesti tidak sembarangan dan sangat hati-hati menerka tanah dan peruntukannya, mengikuti lontar itu.

Menerka (narka) tanah cara Bali adalah dengan kepekaan hidung. Bau tanah itu dijadikan sebagai alasan menentukan peruntukan tanah. Caranya, tanah digali sekitar 30 cm (atumbegan tanah-sekali cangkul). Lantas diambil dan dihirup aromanya. Jika bau tanah miik (harum) misalnya, sangat bagus buat lokasi Pura Kahyangan. Baik pula sebagai tempat mendirikan puri. Para tetua bilang, jika ingin mendirikan umah, sedapat mungkin pilih tanah yang berbau lalah (pedas) seperti cabai. Ini disebut dengan “sihin kadang warga lan kanti”. Artinya, disayangi sahabat dan sanak keluarga. Sangat dihindari tanah yang berbau bengu (busuk), tak baik untuk tempat mendirikan umah. Konon mengandung petaka, bikin boros, kerap bertengkar dan dapat memicu kericuhan penghuninya.

Menurut Ida Bujangga Rsi Somia dalam sebuah majalah terbitan lokal, tanah di Bali tidak hanya dipandang sebagai sumber hayati semata, namun juga diyakini sebagai himpunan (pumpunan) segala filsafat (tatwa) dan ajaran kearifan hidup. Tanah memiliki arti penting bagi manusia Bali, karena dari tanahlah semua kebutuhan hidup manusia berasal, seperti sandang, pangan dan papan. Berasal dan dihidupi dari tanah, semua berasal dari tanah dan mengambil untuk kelangsungan hidup dari tanah.

Saat pertama kali seorang bayi menginjak tanah (tuwun ke tanah) saat bayi telah berusia tiga bulan, atau berusia enam bulan (satu oton) keadaan itu memiliki makna pada tanah dan manusianya, bahwa pada saat itulah seorang anak manusia memohon berkah energi hidup secara langsung kepada Sang Ibu Pertiwi (tanah).

Berstatus Pradana
Juga dalam sebuah majalah lokal (Hindu) Bali, Ida Pedanda Gde Made Gunung pernah mengungkapkan, bahwa manusia Bali punya pandangan hidup yang menganalogikan bumi (tanah) sebagai Ibu, berstatus sebagai pradana, feminim, juga berarti labil. Sementara langit berstatus purusa. Dari pertemuan langsung energi bumi (pradana) dan energi langit (purusa) berupa sinar matahari terjadilah penciptaan (prakerti). Tanah dengan demikian menjadi tempat persemaian pembenihan. Dari sinilah muncul tradisi upacara bhuta yadnya di Bali, yang mesti digelar di ruang terbuka-yang disebut dengan natah.

Boleh dikata natah bermakna sebagai medium, di mana sinar matahari sebagai kekuatan sempurna. Natah dalam pekarangan rumah, secara konseptual, menjadi sangat penting keberadaannya. Natah menjadi sentrum atau pusat pekarangan, sama dengan catus patha bagi wilayah desa pakraman, di mana sinar matahari bebas hambatan menembus langsung bumi.
Tanah memang investasi yang amat berharga. Dan natah, betapa penting keberadaannya. Natah ada baiknya tak dibetonisasi agar menjadi area resapan air. Wilayah resapan air tak mesti disediakan di zona natah semata, tetapi juga di kawasan yang lebih luas, terlebih di daerah hulu (pebukitan) yang pada dasarnya merupakan pemasok sumber air di kawasan setempat, termasuk danau dan sungai. Sehingga sangat perlu dihindari adanya penebangan pohon-pohon setempat.

Di sisi lain, kini di Bali, rupanya menunjukkan kian banyaknya tanah orang Bali dibeli oleh orang asing di Bali. Adakah ini lantaran pengawasan aparat lemah? Apakah mereka tengah memanfaatkan kelemahan hukum dengan mengatasnamakan Indonesia? Rupanya di negeri ini tidak ada aturan yang jelas dan rinci tentang penguasaan tanah oleh orang asing.

Mungkinkah kelemahan ini dengan sengaja dimanfaatkan guna memperalat orang lokal untuk menguasai tanah-tanah Bali? Bukankah ini semacam bentuk “penjajahan” secara halus orang asing terhadap orang lokal? Begitu pula ditengarai belakangan ini banyak tanah desa (karang ayah) desa yang dijadikan agunan Bank, selain tak sedikit pemohon HGB (Hak Guna Bangunan) di atas tanah diajukan ke pemerintah. Bagaimana nasib tanah Bali ke depan?

Jika demikian halnya, kepemilikan tanah Bali oleh orang-orang Bali akan makin berkurang. Alhasil, akan semakin sulit menemukan tanah yang baik untuk posisi tanah maupun peruntukannya. Berbagai jenis tanah yang baik sebagaimana disebutkan di muka tentu semakin langka diperoleh, karena alih fungsi lahannya, atau jika kian lama makin banyak di atas tanah dibangun untuk sesuatu yang kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali. Itukah yang terjadi kini?

Bali Post, Minggu, 27 Mei 2007