Senin, 17 Agustus 2009

Memaknai Peristiwa ''Puputan'' dari Alun-alun

Tanggal 20 September merupakan Hari Puputan Badung. Ada salah satu "pengingat" sejarah dalam kisah heroik perjuangan rakyat Badung melawan penjajah, yakni lapangan Puputan-nya di tengah-tengah Kota Denpasar. Tragedi di tahun 1906 itu merenda makna historis yang patut dikenang, direnungi dan dihayati spirit perjuangannya. Lantas, alun-alun itu sendiri telah memberi makna atas kehadirannya, maupun pemaknaan yang diberikan oleh publik sebagai pengguna ruang terbuka. Apa saja yang bisa disimak dari keberadaan lapangan atau alun-alun Puputan Badung?
-------------

DI hari libur atau minggu pagi, banyak orang jogging, lari pagi atau sekadar menghirup udara segar mengelilingi lapangan atau alun-alun Puputan Badung di tengah-tengah Kota Denpasar. Dalam kondisi seperti itu, batin serasa segar, bebas, lepas dan ringan dari beban keseharian. Sementara sore harinya, masyarakat pun tumpah ruah di ruang terbuka ini. Orang tua bersama anak-anak bersuka ria menikmati ruang yang lapang. Ada yang bercanda, berlari-larian, atau anak-anak bermain sepak bola.

Di sisi timur para penghobi catur tekun bermain. Sementara di tepi utara lapangan berdiri Patung Puputan Badung (simbol ayah, ibu dan anak -- satu keluarga) dalam posisi pekik "puputan", gagah berani, dikelilingi air mancur yang muncul dari sisi-sisi kolam. Pada sudut timur laut dan barat laut, terdapat bale bengong. Sementara di sudut tenggara ada dua bale sakapat. Selain itu, ada dua gugus rumah kebun berdinding transparan -- jejaring kawat, berangka pipa besi bercat hijau daun - di sisi selatan lapangan.

Dari catatan sejarah, alun-alun atau lapangan ini sudah ada sebelum peristiwa puputan terjadi. Namun, seberapa jauh makna alun-alun sesungguhnya masih bertahan? Adakah bedanya, ruang terbuka umum kota dengan alun-alun Puputan Badung? Sejauh mana kontribusinya sudah bisa dirasakan bagi warga Kota Denpasar dan sekitarnya?

Asal Usul

Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun. Namun diperkirakan, konsep alun-alun itu muncul di era kerajaan Hindu dulu. Lantaran keberadaan alun-alun itu terkait dengan upacara-upacara kenegaraan Hindu ketika itu, tatkala istana Raja membutuhkan ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual. Misalnya seperti penobatan Raja, pernikahan keluarga Raja, penyambutan tamu kerajaan, atau kegiatan ritual puri lainnya.

Tulisan dalam kitab Negarakertagama pun konon ada menyebutkan, bahwa keberadaan alun-alun telah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit.
Sementara Stutterheim (1948) pernah membuat suatu perkiraan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan yang memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Nah, menurut penafsirannya, struktur simpul kota Majapahit serupa dengan pola perempatan Agung Hindu yang ada di Bali. Dalam hal ini diketahui bahwa sumbu-sumbu mata anginlah yang mengorganisir tata ruang dan bangunan secara keseluruhan. Di sisi lain dapat dilihat adanya posisi sentral dari puri dan alun-alun.

Kini di beberapa tempat lain -- ditengarai -- terdapat adanya perubahan makna alun-alun yang semula punya konteks ritual spiritual menjadi taman atau ruang terbuka umum kota. Hal itu bisa terjadi bila konsep urban yang berkembang dalam kehidupan bermukim modern yang ada menggeser konsep dan makna alun-alun sesungguhnya. Bila demikian, kebutuhan masyarakat kota akan upacara atau ritual lokal maupun nasional cenderung tergusur oleh kebutuhan pragmatis ekonomis urban modern itu. Nah, bagaimana dengan lapangan atau alun-alun Puputan Badung yang memiliki makna historis tata ruang kota dan perjuangan di zaman kerajaan? Apakah makna semula tetap bisa terpelihara?

Alun-alun kini -- sebagai ruang terbuka kota -- berpeluang menjadi suatu fasilitas rekreasi publik yang lebih dinamis, bisa dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas. Tak hanya bersifat menanti pemaknaan dari luar, melainkan pula memperoleh makna dari dan di dalam "diri"-nya. Alhasil, alun-alun memiliki kekuatan yang memberi makna kepada realitas penggunaan alun-alun itu sendiri.

Sebagai suatu kekosongan ("teks" yang masih ditafsirkan kembali), alun-alun Puputan Badung akan memperoleh makna dari perkembangan kegunaannya di era saat ini. Sebagai sebuah ruang terbuka, ia punya aneka kemungkinan aktivitas dan peristiwa yang bisa terjadi di dalamnya. Dengan adanya peristiwa-peristiwa itulah makna sebuah ruang terbuka menjadi bervariasi penggunaannya.

Analogi Pemaknaan

Pelapisan makna tersebut bisa dianalogikan seperti teori "penggunaan bahasa" dari Ludwig Wittgenstein yang mengatakan, "jangan tanya makna sebuah kata, tapi lihatlah bagaimana dia digunakan" (Linge, E. David, 1976). Jika ditafsirkan lebih rinci, ia memiliki pengertian, "Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, makna kalimat tergantung pemakaiannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup" (Hidayat, Proseding Lingkung-Bina, 2001, Kaelan 1998: 149).

Ibarat sebuah kata, tak bisa dicari maknanya dengan cara menanyakan apa makna menyeluruh dari kata itu sendiri. Kadang ada kesulitan semisal mencari makna yang luas dan lengkap dari kata "buah". Maknanya bisa bermacam-macam tergantung dari kemungkinan jalinannya, apakah sebagai buah mangga, buah apel, buah hati, sampai buah bibir. Masing-masing pertalian itu bisa beda maknanya bila digunakan dalam kalimat, lantas beda pula maknanya dalam bahasa dan beda lagi maknanya dalam kehidupan nyata.

Begitu juga jalinan makna sebuah alun-alun Puputan Badung dengan peristiwa historis yang dikandungnya. Coba disimak sekilas kisah di bulan September 1906: Belanda yang telah menguasai Singaraja dan sekitarnya, meneruskan penyerangannya ke wilayah Bali Selatan. Gempuran dari Belanda tersebut mendapat perlawanan gigih dari rakyat dan Raja Badung, Gusti Gde Ngurah Denpasar. Tiada rasa gentar sedikit pun, Raja Badung beserta segenap keluarganya melawan hingga titik darah terakhir. Singkat cerita, Raja Badung gugur bersama seluruh keluarga dan rakyatnya, pada 20 September 1906, yang dikenal dengan sebutan Puputan Badung.

Peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal itu dan keberadaan patung Puputan Badung, dengan dasar berbentuk daun teratai dan spirit heroik puputan", lebih mengingatkan jalinan itu ke dalam makna historikal ruang sebuah alun-alun. Kemudian ada makna lain dalam keterjalinannya dengan kegiatan upacara yang terjadi di dalam lapangan itu sendiri, apakah untuk kegiatan upacara agama (keterkaitannya dengan keberadaan Pura Jagatnatha) atau kegiatan ritual lainnya. Begitu pula kegiatan upacara yang bersifat kedinasan formal atau seremonial (berbagai peringatan yang melibatkan masyarakat), hingga ajang berlangsungnya berbagai atraksi, hiburan, bersantai, olahraga, senam dan rekreasi.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 18 September 2005

Pura Agung Kentel Gumi, Klungkung, Tempat Memohon Kerahayuan Jagat




PURA Agung Kentel Gumi sebagai salah satu Triguna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, memiliki beberapa kelompok pura. Pura yang sedang direhab dan berjarak sekitar 43 km dari kota Denpasar ini, terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung. Apa saja yang bisa disimak dari keberadaan pura yang merupakan tempat nunas kerahayuan jagat serta kental dengan makna simbolik ini? Bagaimana kelak tampilan arsitekturalnya setelah dilakukan pemugaran?

-------------

Pada dasarnya, pura merupakan simbol gunung atau alam semesta, tempat suci untuk menghubungkan diri dan memuja kebesaran Hyang Maha Pencipta dengan berbagai prabhawa-Nya. Di sini, Pura Agung Kentel Gumi (PAKG) berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasi-Nya selaku Sang Hyang Reka Bhuwana (pencipta alam semesta).


Berdasarkan lontar "Raja Purana Batur", PAKG merupakan salah satu dari Tri Guna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, yakni sebagai Pura Puseh Bali, tempat mohon kedegdegan dan kerahayuan jagat. Sementara Pura Batur sebagai Pura Desa-nya, tempat mohon kesuburan, dan Pura Agung Besakih sebagai Pura Dalem-nya, tempat memohon kesucian sekala-niskala. Jadi, PAKG juga menjadi bagian amat penting sebagai Pura Kahyangan Jagat yang di-sungsung seluruh umat Hindu.


Konon dulu, diawali tancapan sebuah tiang dari Mpu Kuturan, sebagai pacek atau pasak, menjadikan suatu tempat menjadi pancer jagat atau dasar bumi pemberi keajegan gumi Bali yang sebelumnya sering gonjang ganjing oleh kerusuhan di dalam kehidupan masyarakatnya. Dari keadaan yang kembali pulih itulah konon nama Kentel Gumi bermula. Kentel artinya kental atau padat, memiliki makna "akrab", sedangkan gumi berarti bumi, dunia atau tanah.


Kira-kira, Kentel Gumi bermakna "terwujudnya persatuan dan kesatuan yang kental dengan suasana keakraban dan kedamaian hidup di bumi". Atau memiliki makna simbolik: penegakan kembali eksistensi spiritualitas pulau Bali oleh Mpu Kuturan yang luluh lantak sebelumnya akibat kekuasaan Raja Maya Denawa yang memerintah pada 962 M-975 M. Mpu Kuturan berhasil menertibkan dan menegakkan kembali kemasyarakatan penduduk Bali yang sebelumnya dihancurkan oleh pemberontakan Maya Denawa.


Tiga Kelompok


PAKG yang memiliki luas areal sekitar 50-an are ini pada dasarnya merupakan sebuah kompleks pura. Memiliki tiga kelompok: (1) Pura Agung Kentel Gumi, di dalamnya terdapat sekitar 19 bangunan suci (palinggih); (2) Pura Maspahit dengan lima palinggih; (3) Pura Masceti yang memiliki tujuh palinggih. Ketiga kelompok pura ini terdapat di area jeroan atau hulu pura (utama mandala), yang hanya dibatasi panyengker pura satu sama lain.

Di sebelah barat dari ketiga kelompok pura tadi terdapat Perantenan Suci, Bale Paebatan (berbatasan dengan jaba tengah), dan Pura Bale Agung (berbatasan dengan jaba sisi). Lantas, bagaimana dengan bangunan meru yang terdapat di jeroan PAKG? Bagian pura mana direnovasi atau direstorasi? Adakah pergeseran atau penambahan palinggih atau bangunan pelengkap yang baru?


Meru perlambang Gunung Mahameru, stana Dewa-Dewi, Bhatara-Bhatari leluhur berdasarkan lontar-lontar "Jaya Purana", "Wariga Catur Winasa Sari", "Kesuma Dewa", "Widhi Sastra", dan "Purana Dewa". Landasan filosofis meru berlatar belakang kepercayaan terhadap gunung yang disucikan, stana para dewa dan roh leluhur. Untuk kepentingan pemujaan, gunung suci itu disimbolkan dengan replikasi wujud bangunan meru. Di pura ini, meru tumpang 11 (sebelas) merupakan stana Batara Sakti. Meru tumpang 9 sebagai linggih Batara Mahadewa, tumpang 7 stana Batara Segara, tumpang 5 linggih Batara di Batur, dan tumpang 3 stana Batara Ulun Danu.


Punya Keyakinan


Kendati tak jelas kapan PAKG mulai dibangun, namun menyitir suratan "Babad Bendesa Mas", pura ini dibangun oleh Mpu Kuturan. Itupun -- konon -- setelah mengalami pemugaran, karena disebutkan beberapa palinggih sudah ada sebelum Mpu Kuturan datang. Sementara Raja yang memerintah (pada saat Mpu Kuturan tiba dan membangun PAKG) adalah pada masa pemerintahan Raja Sri Kresna Kepakisan yang memerintah Bali pada 1350 Masehi, setelah Maha Patih Gajah Mada berhasil menaklukkan kekuasaan Raja Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Saat kekuasaan Raja Sri Kresna Kepakisan (di abad ke-14) itulah keadaan raja, rakyat dan alam benar-benar stabil, manakala perhatian difokuskan pada pembangunan dan pengembangan PAKG.


Tuhan pada awal penciptaannya mewujudkan semesta secara seimbang sebelum manusia ikut ambil bagian mencemari dan merusak alam. Upaya manusia dan generasi penerusnya adalah selain untuk senantiasa menjaga kerukunan hidup bermasyarakat juga kelestarian alam semesta. Pada-Nya setiap orang patut wajib melakukan doa persembahan atau meningkatkan denyut spiritualitas pada Hyang Pencipta, agar setiap insan senantiasa meningkatkan kebaikan perilakunya. Tuhan dipuja juga sebagai pemberi stabilitas dalam arti luas.


Jadi, sejumlah palinggih yang dibuat boleh dikata sebagai tempat stana Tuhan dengan segala manifestasi-Nya yang dibuat sesuai lontar "Asta Dewa" dan "Asta Kosala-Kosali". Di sisi lain, sebagai penghormatan spiritual terhadap Mpu Kuturan, dibangun palinggih Manjangan Saluang. Ada pula palinggih yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Batara Brahma, disebut palinggih Catur Muka. Tempat pemujaan Tuhan sebagai Parama Siwa, Sadha Siwa dan Siwa (stana Mpu Tri Bhuwana), dinamakan palinggih Sanggar Agung Rong Telu, selain ada beraneka palinggih lain yang disebut pasimpangan.


I Nyoman Gde Suardana, "Bali Post", Minggu, 17 Desember 2006.

Rancangan Taman Bung Karno, Ruang Publik, Titisan Spirit Bali

Beberapa bulan lalu, telah diselenggarakan Sayembara Perancangan Taman Bung Karno. Pesertanya, selain dari Bali juga daerah lain. Lewat penilaian para juri, didapatlah hasil beberapa desain terbaik. Lahan yang dilombakan sebagai lokasi taman tersebut adalah bekas pusat pemerintahan Kabupaten Badung di Jalan Gatot Subroto Denpasar. Apa saja yang bisa disimak dari rancangan itu?


TENTU sudah dimaklumi bersama, Kota Denpasar telah dicanangkan sebagai kota berwawasan budaya. Ini suatu upaya untuk mendukung identitas Kota Denpasar. Saat ini agaknya ketersediaan ruang-ruang publik ditengarai tak seimbang dengan jumlah penduduk yang ada. Keterbatasan ruang terbuka hijau sebagai ruang publik kiranya dapat mengakibatkan lingkungan fisik tak nyaman, selain secara psikologis berpengaruh juga terhadap prilaku masyarakatnya.


Dpilihnya tempat tersebut lantaran lokasinya diangnggap amat strategis sebagai ruang terbuka, tempat rekreasi dan ajang bersosialisasi di antara dinamika kehiupan masyarakat kota, dalam upaya menuju pola hidup yang nyaman, nikmat, tentram, bahagia, serta memenuhi syarat kesehatan, baik secara fisik maupun psikologis.

Lahan yang disediakan pun memiliki luasan 5,57 hektar, dengan persyaratan luas total bangunan terhadap luas lahan (koefisien dasar bangunan) tak boleh lebih dari 15%.


Lima Terbaik

Tim juri sayembara perancangan Taman Bung Karno (TBK) dibentuk demikian selektif, terdiri dari tokoh sejarah, budaya, ekonomi, pariwisata dan arsitektur. Dari hasil penilaian, lahir lima karya terbaik. Kelima peserta yang mengusung karya terbaik tersebut yakni Nyoman Nuarta (Bandung), Gusti Made Putra (Denpasar), A.A. Gd. B. Edyana, ST. (Denpasar), CV. Cipta Mandala (Denpasar) dan Saraswati & Tekom (Denpasar).


Pada dasarnya, para peserta tersebut dianggap telah memenuhi lima aspek criteria penilaian yang dipakai acuan para Dewan juri, antara lain mencakup: aspek kesejarahan, estetika, simbolik, fisik dan ekonomi/pariwisata.

Rancangan Nuarta lebih menekankan TBK sebagai landmark yang memiliki cirri sangat spesifik dan mengandung daya pikat wisata. Dalam hal ini lebih difokuskan pada faktor monumentalitasnya, yang dianggap sangat penting. Lantaran itu pula pengolahan tapak patung utama Bung Karno (BK) dibuat agar dapat terlihat dari berbagai arah. Alhasil, patung BK diberdirikan di tengah, hingga menjadi aksen di tengah taman. Sementara gugus bangunan yang didesain seperti amphiteater, restaurant, hingga perpustakaan, menjadi pendukung tamannya.


Nuarta telah berupaya memadukan aspek sejarah dan seni. Pengenalan Nuarta terhadap karakter BK (selain sebagai Bapak Proklamator juga kolektor seni) membuat rancangan taman yang ditampilkannya berkesan dinamis tanpa mengabaikan konsep-konsep ruang Bali. Nampaknya monumentalitas patungan sangat kuat mendominasi seluruh rancangan.


Sementara karya Gusti Made Putra berpijak pada konsep dasar monumental (agung, berwibawa, sederhana dan menimbulkan kesan peringatan) dan rekreatif (menimbulkan suasana indah, santai/rileks, menghibur, dan menyenangkan). Perancangan arsitektur tamannya menggunakan pola penataan perempatan agung (catus pata atau tampak dara) sebagaimana pola penataan yang ada pada puri-puri di Bali.


Selain mempertimbangkan sumbu bumi (kaja-kelod dan kangin kauh) pun mempertimbangkan sumbu mata angina dan pola telajakannya. Di sisi laijn, ungkapan sosok BK dalam perencanaan dituangkan dalam bentuk symbol-simbol pada elemen bangunan maupun monument.


Zaman Kerajaan

Bagaimana dengan karya A A Gd. B. Edyana? Kajian perencanaan (untuk fungsi-fungsi bangunan) nya bertitik tolak dari konsep ruang Bali Tradisional. Sementara konsep filosofisnya merupakan salah satu butir-butir pendekatan, seperti Tat Twam Asi, tri loka, tri hita karana, bhuana agung, bhuana alit, manik ring cucupu, desa kala patra, dan dewata nawa sanga. Di sisi lain, dalam pembuatan rancangan tapak (site plan), konsepnya mengacu pada tatanan hulu teben, tri mandala, sanga mandala, swastikasana, tri angga, natah, ragam hias, warna, fungsi, bahan lokal, ukuran bangunan, dan ketinggian.


Dari aspek rancangannya, konsep taman Edyana terinspirasi oleh karya arsitektur pertamanan di zaman kerajaan tempo doeloe yang memiliki fungsi rekreasi. Pusat perhatian ditunjukkan dengan menempatkan figure BK sebagai proklamator, penggerak semangat pembangunan mental bangsa. Sementara symbol tamannya diangkat dari narasi “Adi Parwa”, tentang kisah “Pemutaran Mandhara Giri”, secara simbolik memanfaatkan unsur air, hard scape (unsur keras), soft scape (unsur lunak), unsur estetika, religi, maupun bentuk-bentuk bangunan yang mencerminkan semangat kehidupan.


Karya terbaik berikutnya dari CV Cipta Mandala, memiliki usulan program penataan menyangkut program yang bersifat fungsional maupun program arsitekturalnya. Program fungsionalnya diterjemahkan secara luas dalam beberapa aktivitas seperti fungsi rekreasi, belajar, ekologis, budaya dan psikologis.


Fungsi rekreasi tercermin pada areal terbuka yang dirancangnya, seperti Taman Lila Cita serta pada monument dan bangunan museumnya. Sementara fungsi belajar ditunjukkan dalam rancangan museum BK, area pengenalan dunia sains dan teknologi modern, perpustakaan, aula diskusi, renungan dan kajian adapt-budaya Bali dan agama Hindu serta Taman Taru Pramana. Sedangkan fungsi ekologis desainnya memanfaatkan penataan taman dan tanaman serta menjaga relasi yang harmonis dengan sungai (tukad) dan lapangan olahraga yang ada. Dari sisi fungsi sosial budaya, ungkapannya berupa areal ruang terbuka guru terwujudnya interaksi social masyarakatnya. Kemudian untuk menggelar aktivitas yang bernuansa adapt, seni dan budaya Bali direncanakan bangunan wantilan, pura dan plaza.


Renungan yang juga memiliki fungsi secara psikologis ini, gubahan yang diwujudkan diharapkan bias mengurangi tekanan mental masyarakat mengingat padatnya aktivitas kehidupan yang ada di perkotaan. Area ruang terbuka dimanfaatkan melalui penataan melalui penataan lansekap bercitra Bali, rekreasi di dalam museum atau hiburan kesenian Bali yang berlangsung di wantilan pura. Kemudian TBK ini pun diarahkan pula agar bisa menghasilkan keuntungan (profit), dimaksud untuk pemanfaatan biaya perawatan taman dan pemeliharaan gedung dan operasional aktivitas pengelolaan secara keseluruhan.


Bagaimana dengan program arsitekturalnya? Beragam aktivitas yang termunculkan melalui fungsi-fungsi yang akan dikembangkan pada TBK memerlukan ruang sebagai wadahnya. Program tersebut menyangkut pada kebuituhan jenis ruangnya-kegiatan rekreasi, belajar, sosial budaya dan psikologi serta kegiatan ekonomisnya. Lantas, pengelompokan ruangnya meliputi adanya fasilitas utama (monumen BK), fasilitas pendukung (ruang pengelola, museum, perpustakaan, pengenalan teknologi, dll.), fasilitas pelengkap, taman parkir, Taman Taru Pramana, Taman Lila Cita, pos keamanan, toilet umum, pedestrian, terowongan penyebrangan, dan sculpture).


Usulan program penataan yang terakhir dari CV Cipta Mandala ini menyangkut program tapak (site) nya, terdiri dari beberapa komponen perencanaan seperti tat guna tanah dan tata ruangnya. Begitu pula aspek sirkulasi dan pencapaiannya, selain parkir, ruang terbuka, pedestrian ways, street furniture, signage, activity support, jaringan utilitas kawasan dan konservasi.


Sebagai karya terbaik kelima disandang oleh kelompok Saraswati dan Tekom, Denpasar. Konsepnya lebih nyata melihat dari sisi motivasi kedatangan masyarakat bagian barat dan utara serta pemukiman di sekitarnya. Rancangannya lebih mencerminkan penyediaan tempat bagi masyarakat agar dapat menikmati udara segar sembari bersantai bersama keluarganya.


Untuk itu disediakan wadah untuk kegiatan-kegiatan terjadwal yang dilaksanakan setiap tahunnya, baik berupa program pemerintah atau pun kelompok-kelompok masyarakat. Penataannya pun agaknya telah memperhatikan potensi-potensi yang tersisa pada tapak. Lantaran sarana ruang terbuka kota TBK ini merupakan fasilitas umum yang tidak komersial. Kelompok Saraswati & Tekom ini dalam rancangan atau penataannya, juga memperhatikan masalah perawatan dan pemanfaatan ruang menjadi ruang-ruang multifungsi.


Belum Lepas

Dari konsep-konsep rancangan yang dibuat oleh kelima peserta terbaik tersebut, agaknya belum bisa lepas dari kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ruang terbuka kota TBK (RTKTBK) ini hendaknya menyediakan tempat kebebasan berekspresi, beraktivitas dan memberikan makna lebih bagi komunitas, hingga bisa memberi suasana hati yang nyaman, damai dan tenteram. Dengan kata lain, ruang terbuka kota merupakanm sebagai sarana aktivitas dan rekreasi yang optimal.


Beberapa catatan mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam rancangan RTKTBK ini, antara lain (1) kelima karya terbaik ini agaknya perlu memasukkan analisis yang mengaitkannya dengan perkembangan arsitektur kota, (2) Belum terlihat adanya konsep dan desain rancangan yang berupaya untuk memperhatikan kalangan penyandang cacat, lanjut usia, bayi, dll, dengan menyediakan sarana kemudahan dalam bersikulasi, misalnya dengan mendesain jalan setapak berupa ramp untuk orang-orang difabel, (3) Membuat suatu konsep yang memiliki prospek untuk menjaga dan mengembangkan taman sebagai unsure keindahan dan kenyamanan kota sebagai unsure keindahan dan kenyamanan kota serta sebagai tempat rekreasi masyarakat luas, (4) Diupayakan agar tampil dengan identitas ke-Baliannya, berlandaskan falsafah Tri Hita Karana, dll., dengan konsep rancangan yang senantiasa dijiwai oleh kearifan lokal Bali.


Kiranya, dalam implementasi pembangunannya didambakan agar merupakan penggabungan atau paduan dari konsep dan rancangan lima karya terbaik tersebut. Karena masing-masing peserta memiliki kekhasan dan keunikannya sendiri-sendiri, atau –paling tidak-bisa mengeliminasi kelemahan atau kekurangan yang ada. Diharapkan kemudian terwujud RTKBK secara optimal rekreatif, yang bisa mengakomodasi kearifan tatanan ruang arsitektural, yang lebih santun dan manusiawi.


I Nyoman Gde Suardana, “Bali Post”, Minggu, 28 Agustus 2005

Patung I Gusti Ngurah Rai, Perjalanan Perjuangannya Perlu Ditampilkan




Di sisi timur simpang tiga Jalan Raya Airport Ngurah Rai Jl. I Gusti Ngurah Rai (by pass jurusan Nusa Dua) Bali, berdiri patung diri I Gusti Ngurah Rai-sosok pahlawan nasional asal Bali yang dikenal di seantero Nusantara. Spirit bergerilya dan niat bakti yang tulus membela bangsa dan Negara, menyatakan “api” keberanian yang tak tanggung-tanggung, “Merdeka atau Mati”. Sehubungan dengan Hari Puputan Margarana 20 November , ada baiknya sekilas diulas dan disimak kembali tentang apa yang tersirat dan tersurat dari patung pahlawan ini.


LANDASAN dari patung pahlawan I Gusti Ngurah Rai ini dirancang oleh arsitek Ir. Robi Sularto (alm). Pada prinsipnya, landasan patung itu terdiri dari tiga tipe atau kelompok anak tangga (undag) dan satu bagian alas yang berada langsung di bawah patung. Ukuran ketinggian masing-masing anak tangga berada di setiap kelompok anak tangga.


Tujuh anak tangga pada dasar paling nawah terdiri atas 8 (delapan) buah anak tangga, berbentuk setengah lingkaran. Bagian lengkung mengelilingi sisi kiri, belakang dan sisi kanan. Di lapisan landasan kedua, dimensi ketinggian masing-masing anak tangga kelihatan lebih tipis (rendah), terdiri atas 7 (tujuh) buah anak tangga. Kelompok anak tangga pada bagian ini berpola lingkaran penuh.


Pada kelompok anak tangga di atasnya, undagnya berjumlah 5 (lima) anak tangga, denahnya berpola segi empat terpancung. Di atas kelompok anak tangga inilah berdiri landasan yang tertinggi (tempat berdiri patung) berbahan marmer warna abu-abu. Tampaknya beberapa bagian marmer di permukaannya-saat ini-terlihat lepas atau mengelupas. Bentuk dasarnya juga segi empat terpancung, semakin ke atas kian menguncup.


Jika masing-masinganak tangga tersebut ditambahkan, totalnya berjumlah 20 (dua puluh) anak tangga (8+7+5). Boleh jadi angka 20 itu bermakna sebagai tanggal terjadinya peristiwa histories “Puputan” yakni pada 20 Nopember 1946.


Sementara patung yang terwujud dari buah tangan pematung Surya Pranawa ini, mungkin dari bentuk fisik sudah bisa dikatakan menyuratkan sosok pahlawannya. Namun bagaimana mengenai spirit atau taksu (kharisma) patung yang dipancarkannya?


Batas Tipis


Nah, dalam proses pembuatan patung yang dikerjakan di Yogyakarta ini, tak kalah penting peranan dari I Gusti Ngurah Pindha (alm), mantan anggota pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Rai, selaku nara sumber bagi pematung, pemberi gambaran sosok dan tabiat mulia-berwibawa dari pahlawan I Gusti Ngurah Rai.


Dari tatanan ruang (spasial), tampaknya patung ini hanya memiliki batas yang amat tipis dengan jalan. Konsep ruang lokal (di Bali), sudahkah menjadi acuan dalam rancangan tapak yang tertuang dalam wujud fisik visual patung pahlawan yang kita hormati ini?


Landasan patung, sedari atas hingga pada lapisan terbawah, sepertinya, tak ada menampilkan ornamen atau ragam hias bercitra Bali. Tak adakah upaya untuk menempatkan relief-relief pada bidang-bidang vertical landasan patungnya? Memvisualisasikan kisah perjalanan perjuangan pahlawan I Gusti Ngurah Rai yang dikenal dengan “Long March Gunung Agung” bersama anggota pasukan pejuang Bali tidakkah perlu?


Perjalanan panjang “Junu-Juli” diawali dari pertemuan yang terjadi di Sekumpul dan Pangkung Bangka (Buleleng), penyerangan Pos NICA di Lampu (Bangli), Pertempuran di Bon (Badung), pertempuran di Pemuteran, Pesagi dan Tanah Aron (Karangasem) yang terjadi pada Juni dan Juli, hingga puputan Margarana pada 20 Nopember 1946.

Perjalanan historis perjuangan itu mungkin perlu “ditayangkan” dalam media rupa patung pahlawan I Gusti Ngurah Rai.


Di antara perkembangan keramaian lalu lintas dan bangunan-bangunan yang kian menjamur di sekitarnya, keberadaan “visual” patung I Gusti Ngurah Rai tampak makin “tenggelam”. Memang dimensi besar dan ketinggian patung sepatutnya disesuaikan dengan skala jarak pandang. Namun dalam kondisi seperti sekarang, sudah memadaikah? Atau mungkin perlu lebih diangkat landasannya?


Hal ini semestinya sudah diprediksi sebelumnya saat membuat konsep rancangan. Terlebih posisi berdiri patung ini merupakan sebagai titik tangkap garis lurus dari pintu gerbang Bandara Ngurah Rai. Guna lebih menghidupkan citra sebuah patung pahlawan nasional asal Bali, yang dihormati dan dihargai jasa-jasanya.


Nuansa Lokal


Selain itu, tampilan wujud patung beserta landasannya-diharapkan-bernuansa lokal (Bali), mungkin perlu dilengkapi fasilitas untuk aktivitas pengunjug. Semisal ada ruang duduk-duduk, ruang diskusi, tempat beristirahat, atau semacamnya, yang mungkin bisa ditempatkan di belakang lokasi patung. Perihal itu bisa dilakukan tentunya, tanpa merusak lingkungan. Bahkan dengan adanya fasilitas itu lebih mendorong masyarakat untuk senantiasa merawat dan memelihara lingkungan di sekitarnya, seperti adanya banyak pohon ketapang, mangrove, dan sebagainya.


Mungkin, guna lebih mengangkat nilai-nilai magis, spiritual religius, sebagai kearifan lokal yang berlaku di Bali, bisa dilengkapi pula dengan palinggih pamacapa

(penolak bala) di depan posisi patung yang berhadapan dengan jalan lurus Airport Ngurah Rai. Itu lantaran letak patung tersebut berada pada posisi numbak rurung. Boleh jadi diperlukan, terutama bila kemudian disediakan ruang-ruang untuk aktivitas-aktivitas di sekitar atau dibelakangnya.


Nah, apa yang bisa dilestarikan dan dikembangkan ke depan tak lain demi untuk lebih dapat dihayati pewarisan nilai historis perjuangan pahlawan kepada generasi penerusnya. Spirit perjuangan yang tak boleh redup, tak kunjung luntur. Sesuai dengan swadharma masing-masing, hendaknya senantiasa berjuang, bekerja dan berdoa menuju terwujudnya peradaban yang lebih luhur.


I Nyoman Gde Suardana, "Bali Post", Minggu, 20 November 2005

Selasa, 11 Agustus 2009

Meningkatkan Mutu dan Nilai Proses Merancang



ABSTRAK


Ir. I Nyoman Gde Suardana, M.T.

Staf Pengajar Program Studi Arsitektur Universitas Dwijendra

Denpasar - Bali

e-mail : suar_bali@yahoo.com


Sarjana Arsitektur dan Profesi Arsitek tampak semakin mendapat tantangan di era global sekarang maupun di masa mendatang. Dalam dunia pendidikan arsitektur, khususnya ketika mahasiswa memasuki studio perancangan arsitektur, yang bersangkutan patut lebih diarahkan untuk mengenali dan memahami persoalan arsitektur secara holistik. Pada mahasiswa sebagai calon arsitek maupun sarjana arsitektur, selain ditanamkan bekal intelektual, kesantunan etika, motivasi berkreasi atau punya kemampuan ber imajinasi, juga berwawasan luas. Arsitektur senantiasa diperuntukkan bagi manusia, selalu berada dalam konteks alam dengan beragam buatan manusia berada di dalamnya. Pengetahuan tentang arsitektur sebelumnya muncul karena adanya kebutuhan akan “ruang” untuk menampung aktivitas manusia. Maka wadah yang diwujudkan itu tentu harus selalu memiliki mutu pencitraan yang manusiawi dan nilai guna yang kontekstual.


Hal ihwal itu bisa dipenuhi jika dilakukan studi, evaluasi, diskusi hingga menemukan solusi. Misalnya, apa pola dan sistem pendidikan arsitektur yang diterapkan selama ini. Bagaimana interaksi antara dosen dan mahasiswanya, serta situasi dan strategi pembelajaran sebelum dan yang akan dilakukan ke depan. Perihal tersebut akan berdampak luas terhadap kompetensi lulusan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan profesional arsitek dan strata yang berkelanjutan diharapkan kelak melahirkan insan intelektual bermoral serta memiliki kontribusi yang optimal mengangkat mutu dan nilai-nilai kearifan lokal arsitekturnya.


Kata Kunci:

Mutu, nilai, proses merancang



Pendahuluan

Secara kodrati manusia lahir memiliki cipta, rasa dan karsa. ’Cipta’ atau daya pikir merupakan suatu potensi yang pada dasarnya mempersoalkan nilai ’kebenaran’. ’Rasa ’ adalah kemampuan yang spesifik berhubungan dengan nilai ’keindahan’ dan peka terhadap tata nilai yang selalu dijadikan dasar pemikiran. Sementara ’karsa’ berhubungan dengan nilai ’kebaikan’. Jika ’karsa’ dikendalikan secara bertanggungjawab oleh ’cipta’ dan ’rasa’nya maka akan dapat menghasilkan ’karya’ yang ber-mutu dan ber-nilai.


Sejatinya, seorang manusia telah langsung terlibat di dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran sejak lahir. Aktivitas pendidikan dan pembelajaran itu diselenggarakan mulai dengan cara-cara alami menurut pengalaman hidup hingga pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional, menurut kemampuan koseptik-rasional.


Berangkat dewasa, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri, upaya manusia untuk menjadi semakin arif dengan sikap perilaku bijak terhadap apa pun dan siapa pun yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupan ini. Maka sesungguhnya perkara pendidikan adalah persoalan yang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Setiap kegiatan hidup manusia senantiasa memiliki arti dan fungsi kependidikan.


Pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pencerdasan, pendewasaan dan pematangan

diri. Pendidikan wajib bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya. Maka pendidikan memang harus berlangsung di setiap jenis, bentuk dan tingkat lingkungan dari yang terkecil hingga lingkungan masyarakat luas dan berlangsung di sepanjang waktu.


Dalam pendidikan dan pengajaran arsitektur, wilayah ’cipta’ (cognitive domain), wilayah ’rasa’ (affective domain) dan wilayah ’karsa’ (psychomotoric domain) memegang peranan penting sebagai ’trilogi’ belajar di dalam menghasilkan suatu hasil kerja (’karya’) yang optimal, bermutu, bernilai dan ’operasional’. Sebagaimana dipahami, pendidikan arsitektur yang di dalamnya dinafasi oleh sains, teknologi dan seni, bukan hanya diaplikasikan ke hal-ihwal yang operasionalistik, mekanistik, materialistik dan rasionalistik semata, tetapi mesti memiliki tata nilai yang humanistik. Pengetahuan arsitektur dapat dilihat sebagai produk dan proses, serta sebagai pe

rnyataan-pernyataan yang bersifat preskriptif dan deskriptif.


Proses pendidikan dan pengajaran arsitektur dibentuk pula melalui studio perancangan, bahkan sebagai salah satu sarana pelatihan yang sangat penting dalam melakukan proses belajar mengajar perancangan arsitektur. Mengingat lingkup perancangan mendatang mengandung kompleksitas yang semakin meningkat. Proses perancangan merupakan pertautan akumulatif sejak awal pendidikan kearsitekturan ditempuh hingga ke akhir semester. Bahkan

produk studio perancangan dapat dikatakan sebagai ’barometer’ mengenai kondisi, mutu dan nilai proses pembelajarannya Untuk itu perlu dirancang substansi untuk pembelajaran studio perancangan arsitektur yang berlandaskan kajian teoritik, selain dilakukan evaluasi mengenai hasil pembelajaran yang sudah dilakukan.


Proses dan Studio Perancangan Arsitektur


Meskipun proses perancangan arsitektur memiliki kandungan analisis, namun proses sintesis di dalamnya lebih dominan. Sintesis merupakan kombinasi ”Syn” yang berarti: bersama, menambahkan, atau plu

s dan ”Thesis” yang berarti situasi, posisi, entitas, atau pernyataan (Antoniades, 1980). Jadi hasil rancangan arsitektur merupakan sintesis dari beberapa elemen yang ditata (intent to make order) sedemikian rupa agar tercipta sebuah entitas fisik yang mempunyai ”new thesis” atau ”new statement”. (Purnama Salura, 2001).


Ciri khas perancangan arsitektur adalah penekanannya pada proses ”mencipta” (creating). Untuk itu para pelaku perancangan arsitektur perlu mempunyai kepekaan dan kreativitas yang handal. Kreativitas yang dapat mewujudkan ”synthesis of form” yang memiliki tujuan dan makna.

Pembelajaran arsitektur yang terkait dengan kegiatan proses perancangan tersebut tak dapat dipisahkan dengan keberadaan ”studio”. Studio termasuk sebuah fasilitas pendidikan arsitektur yang sangat penting. Untuk hal itu, substansi dan tata cara yang diberlakukan perlu dibahas dan ditata lebih cermat dises

uaikan dengan kebutuhan, tujuan dan sasaran pendidikan arsitektur.

Keterjalinan antara pengetahuan yang ditransfer atau diajarkan, keterlibatan pengajar, peserta ajar, cara mengajar serta cara pengevaluasi hasil pengajaran merupakan perihal pokok yang saling terkait satu sama lain. Namun studio dalam pengajaran arsitektur hendaknya tidak boleh hanya bertujuan pragmatis yang sekadar siap pakai. Tujuan studio arsitektur mesti untuk mengembangkan terus pengetahuan arsitektur yang dapat bermanfaat dalam kehidupan kemanusiaan.


Pekerjaan merancang arsitektural dijalankan secara nalar maupun intuisi. Dalam

menjalankan tugasnya arsitek banyak dibantu oleh intuisi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa arsitek tidak perlu menguasai teori,

metode dan teknik yang berdasarkan nalar. Arsitektur adalah disiplin perancangan atau disiplin desain yang berkelompok dengan disiplin ”engineering” (rekayasa), ”planning” (perencanaan) dan ”industrial design” (desain industrial.


Sebagaimana yang ditulis L.B. Acher, ”Design” dalam arti pendidikan secara umum dapat didifinisikan sebagai wilayah pengalaman, ketrampilan dan pengertian yang merefleksikan kepedulian manusia melalui apresiasi dan adap

tasi lingkungannya dilihat dari segi kebutuhannya yang bersifat lahir dan batin. Secara spesifik ”design” berhubungan dengan komposisi, makna, nilai, konfigurasi, maksud dan tujuan dari segala fenomena (gejala) buatan manusia. Disiplin desain tidak hanya penguasaan perancangan semata, namun pula metoda dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan apresiasi dan adaptasi lingkungan buatan.


Proses belajar arsit

ektur tersebut berlangsung melalui berbagai kegiatan perkuliahan, diskusi, latihan, responsi ya

ng secara konprehensif bersinergi ke arah ”sentral”, yakni yang disebut ”Studio Arsitektur”. Di sini berproses secara bertahap penguasaan pengetahuan, pengertian, penggunaan, analisis, sintesis dan pertimbangan nilai yang berdasarkan disiplin desain arsitektur.


Pendidikan arsitektur dilihat sebagai sistem dengan banyak sub-sistem yang terlibat. Paradigma pendidikan arsitektur saat ini mesti semakin mengacu pada kualitas (mengadopsi mutu yang tinggi dalam tri dharmanya), otonomi (mengembangkan potensi lokalnya secara mandiri), akuntabilitas (bertanggung jawab kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, bangsa dan negara), akreditasi (harus berani dinilai secara eksternal) dan evaluasi (melakukan evaluasi internal atau evaluasi diri dan mampu melakukan koreksi).


Faktor Yang Mempengaruhi Mutu


Banyak faktor yang berpengaruh dalam proses pendidikan atau proses pembelajaran di jurusan / program studi arsitektur (lihat gambar) di dalam menghasilkan input dan output perguruan tingginya. Input menyangkut sejumlah mahasiswa yang tersaring melalui rekrutmen yang valid dan reliable. Sementara output menyangkut kopetensi lulusan sehingga ’matching’ dengan kebutuhan mahasiswa, kebutuhan lapangan kerja serta kebutuhan pembangunan bangsa dan negara yang sedang membangun.


Karena itu, upaya memperbaiki mutu pendidikan arsitektur menjadi pekerjaan yang kompleks, sehingga perbaikannya harus dengan cara terpadu dan terkoordinasi dengan komitmen yang sama. Ihwal tersebut harus terwujud dengan menggerakkan segenap subsistem yang ada dan saling bahu membahu antar subsistem. Proses pembelajaran arsitektur akan berlangsung baik jika direncanakan dengan baik. Perencanaan proses pembelajaran yang baik tercermin dari kurikulumnya yang disusun secara lengkap. Kurikulum merupakan bagian penting dari dari sejumlah faktor yang mempengaruhi mutu lulusan perguruan tinggi disamping faktor-faktor lainnya. Faktor penting lain yang juga sangat menentukan usaha peningkatan mutu lulusan adalah ”faktor dosen” selaku sumber daya manusia pengelola proses pembelajaran tersebut.


Membahas proses pendidikan arsitektur sejatinya tidak mungkin dilakukan secara parsial atau sepotong-sepotong. Semua proses pembelajaran tidak akan bermutu dan tidak menghasilkan kualitas lulusan yang baik apabila dosen tidak memiliki komitmen, tidak inovatif dan tidak punya kreativitas, meskipun kurikulum atau perencanaan proses pembelajaran yang dibuat sudah baik.


Trend perubahan dunia yang memengaruhi arah perubahan kurikulum dan arah proses pendidikan atau proses pembelajaran saat ini antara lain (Sutjipta, 9-10: 2006) ada disebutkan, misalnya mengenai persaingan kehidupan ke depan bukan lagi persaingan menggunakan kekuatan fisik, melainkan persaingan menggunakan otak. Orang yang memliki ilmu dan teknologi akan memenangkan persaingan menguasai dunia. Kebutuhan kompetensi ke depan merupakan kompetensi mencari, memilah dan mengolah informasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan. Siapa yang mampu dengan cepat mencari informasi dan mengolah informasi tersebut akan memenangkan persaingan menguasai dunia.


Dalam persaingan dunia ke depan, kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi, adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan komputer atau media elektronik untuk segala keperluan. Begitu pula dalam kehidupan global ke depan maka ketrampilan lain yang sangat penting harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan yang berkaitan dengan moral, sosial dan spiritual. Tanpa moral sangat sulit untuk menarik simpati masyarakat, tanpa memiliki ketrampilan sosial sulit memperoleh kawan atau membentuk jaringan, dan tanpa ketrampilamn spiritual sulit untuk bertindak jujur.


Menumbuhkembangkan Potensi


Setiap individu memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Potensi yang dimiliki seseorang pada dasarnya berupa tingkat kecerdasan yang disebut : IQ, EQ dan SQ. IQ adalah ’kecerdasan rasional’, kecerdasan yang dipakai dalam berpikir. Sedangkan EQ berupa ’kecerdasan emosional’, kecerdasan yang dipakai untuk merasa. Sementara yang disebut SQ adalah ’kecerdasan spiritual’ yang digunakan untuk memahami makna dan nilai-nilai. SQ adalah juga merupakan kecerdasan yang adaptif kompleks yang menyusun pola-pola pengaturan diri ketika kecerdasan ini muncul dalam sebuah dialog yang kreatif antara pikiran seseorang dan lingkungannya. Sistem-sistem adaptif kompleks yang interaktif dalam otak berinteraksi dengan medan makna.


Kecerdasan emosi juga sangat menentukan keberhasilan orang dalam karir hidupnya kelak. Menurut hasil penelitian, penguasaan ilmu hanya menentukan 20 % keberhasilan dalam karir kehidupan seseorang. Kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual justru akan menentukan 80 % keberhasilan orang dalam karir kehidupannya. Maka lulusan perguruan tinggi harus punya ketrampilan mengendalikan emosi dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain ketrampilan berkomunikasi mesti efektif, baik melalui bahasa lisan maupun tulisan, dibarengi ketrampilan berpikir jernih sebagai modal penting dalam pergaulan global. Untuk itu, kemampuan menuangkan pikiran dalam tulisan dan ketrampilan berbahasa menjadi pertimbangan penting dalam menyusun kurikulum dan mengelola pendidikan.


Ketrampilan interpersonal-melakukan komunikasi dan evaluasi diri sendiri-dan ketrampilan intrapersonal-melakukan komunikasi dan evaluasi dengan orang lain-merupakan modal penting dalam pergaulan dunia. Selain memahami pentingnya lingkungan yang sehat bagi kehidupan manusia, juga perlu memahami dinamika individu dan masyarakat serta memiliki kompetensi pribadi yang tepat untuk bidang yang diminati dan ditekuni.


Ketiga jenis kecerdasan yang dimiliki oleh seorang calon sarjana arsitektur mesti dibangun dan dikembangkan. Pendidikan arsitektur adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, yakni selaku ’makhluk kreatif’ yang senantiasa menggunakan nalar dan rasa dalam proses mencipta atau berkarya atas segala macam jenis kerangka dan model yang kontekstual dan berguna bagi kelangsungan dan perkembangan disiplin arsitektur.


Pada jenjang hakikat potensi tersebut, pendidikan arsitektur hendaknya menumbuhkembangkan secara seimbang antara kecerdasan : ’rasional’, ’emosional’ dan spiritual’ agar terbentuk kepribadian yang kreatif, yakni dengan secara terus menerus meningkatkan latihan berpikir dan berbuat sesuatu. Ihwal ini akan membentuk kepribadian yang tekun, teliti, terampil, beretika dalam menyelesaikan persoalan arsitektur.


Kepribadian beriteligensi dan kreatif diupayakan untuk bisa ditanamkan pada calon sarjana arsitektur maupun yang kelak akan berprofesi sebagai arsitek. Profesi yang memiliki ciri-ciri dan memperoleh pengakuan secara umum tentang : keahlian (skill), keilmuan (learning) dan kepakaran (expertise). Maka profesi memperoleh persyaratan: harus dilakukan dengan etika profesi yang berkonsekuensi tanggung jawab berdasarkan moralitas atau responsibilitas.


Berdasarkan uraian, bahasan dan upaya untuk mengembangkan ketiga potensi tersebut di atas, maka ada beberapa kriteria yang patut dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar di kelas maupun dalam Studio Perancangannya. Menurut buku ”Sikap dan Pemikiran Suhartono Susilo, Arsitek dan Pendidik” (hlm. 61: 1998), ada disebutkan beberapa kriteria Tugas Akhir (TGA) Arsitektur.

I. Asas-asas Kebutuhan

  1. Maksud dan Tujuan Pemilik Proyek (Project Owner)
  2. Kebutuhan Pemakai dan Pemakai Akhir (Users and Endusers)
  3. Perizinan Lokasi, Rencana dan Pendirian Bangunan (Planning and Building Permit).

II. Asas-asas Wawasan Lingkungan

  1. Perpaduan dengan Lingkungan Alami (Natural Environment)

Dampak timbal balik Alam dengan Rencana Denah

Penggunaan dan Pengendalian Cahaya dan Sinar Matahari

Pengendalian Angin dan Hujan

Penggunaan dan Pengendalian Alam Hijau

Penggunaan dan Pengendalian Topografi

Penggunaan dan Pengendalian Rupa Pandang Bumi (Landscape)

Penggunaan dan Pengendalian Karakter Alam yang unik/khas setempat, jika ada.

  1. Perpaduan dengan Lingkungan Buatan (Built Environment)

Dampak timbal balik Rencana Massa dan Ruang dengan Lingkungan Keliling

Tata Guna dan Pengembangan Tapak dan Lokasi

Pengenalan jiwa setempat (Genius Loci), jika ada potensi yang demikian

Penataan Jalan – Keluar Masuk (Access), lalu lintas maupun transport berkaitan dengan Pejalan Kaki (pedestrian). Kendaraan (”vehicular”), yang bersifat privat, publik dan pelayanan (service).

III. Asas-asas Teknis dan Teknologis.

  1. Sistem Konstruksi
  2. Bentuk Struktur akibat beban vertikal dan horizontal
  3. Sistem Dinding Peliput (Enclosure)
  4. Seleksi bahan-bahan bangunan
  5. Tata cahaya penerangan (illumination)
  6. Tata suara ruang (Acoustics) dan Isolasi Gangguan suara.
  7. Sistem ventilasi dan kondisi udara (”VAC”)
  8. Sistem Distribusi air bersih
  9. Sistem Pembuangan Air Kotor, air limbah dan air hujan
  10. Sistem Daya Listrik dan Pelistrikan
  11. Sistem Sirkulasi dan Alat Transpor Internal
  12. Sistem bahaya Kebakaran, Pencegahan (Fire Prevention), Penginderaan (”Fire Detection”), Pengisyaratan (Fire Alarm), Pemadaman (Fire Fighting), Penyelamatan Jiwa (Fire Escape).
  13. Sistem Keamanan dan Televisi Lingkar Tertutup (CCTV)
  14. Sistem Hubungan Telepon dan Telekomunikasi
  15. Sistem Pelengkap Khusus jika ada (misalnya Sistem Gas Sentral, dlsb.)
  16. Sistem Pelaksanaan dan Manajemen Konstruksi

IV. Asas-asas Estetika

  1. Analisa Gaya jika dianggap perlu
  2. Analisa Komposisi Ruang, Massa, Bidang dan bahan
  3. Penciptaan Suasana dan Ungkapan Arsitektural (”Architectural Articulation”).


”Masyarakat terdidik”-jika dianalogikan sebagai sebuah gedung-juga tersusun atas pilar (foundation) dan model bangunannya. Keduanya berhubungan secara kausalitas. Pilar bangunan menentukan model bangunan atasnya. Dalam rangka menciptakan perkembangan, mutlak mesti dilakukan perubahan-perubahan. Guna membuat perubahan, manusia mesti memiliki daya kompetensi (keahlian), kecakapan (capability), dan ketrampilan (skill) hidup. Ketiga perihal tersebut berakar dari potensi kodrat yang ada di dalam diri manusia, berupa cipta, rasa dan karsa. ”Cipta” berhubungan dengan kreativitas hidup, ”rasa” berkaitan dengan wawasan hidup dan ”karsa” berkorelasi dengan dorongan hidup.


Sarjana Arsitektur maupun arsitek yang terdidik dengan pilar dasar berupa kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (IQ) menciptakan sarjana arsitektur atau arsitek yang bijaksana, kreatif, berkeadilan dan beradab. Ide manusia terdidik tersebut difungsikan sebagai ”pilar” yang menentukan ”bentuk” dan ”model” bangunannya. Oleh karena itu ”out put” atau keluaran dari lembaga perguruan tinggi pada akhirnya harus berakar pada kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.


Wasana Kata


Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa corak khusus proses merancang arsitektur di Lembaga Pendidikan Tinggi Arsitektur sebagai berikut:

  1. Mutu kegiatan proses merancang dalam Studio Perancangan Arsitektur sebagai sasaran utama perlu disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masa depan masyarakat. Jadi kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan secara kognitif semata, melainkan pula secara afektif dan psikomotorik.
  2. Isi materi Studio Perancangan diharapkan menekankan pada sifat akademis dan intuitif. Nilai keilmuannya adalah kebenaran yang sistemik, metodik adalah sebagai pola utama untuk seluruh kegiatan proses merancang.
  3. Lembaga Pendidikan Arsitektur dapat pula dinilai sebagai ranah pengembangan potensi individual. Lembaga bertanggung jawab terhadap pembinaan individu menjadi sarjana arsitektur atau arsitek yang ’sujana’ dan profesional dan mampu beradaptasi dengan baik dalam kehidupan masyarakatnya.
  4. Dalam Studio Perancangan Arsitektur diselenggarakan kegiatan pembelajaran secara mandiri maupun berkelompok dalam mengembangkan pola ”cipta”, ”rasa” dan ”karsa” dalam bingkai peradaban dan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya.
  5. Seluruh kegiatan studio dan pembelajaran diselenggarakan secara teratur berdasarkan program yang telah direncanakan, diimbangi fasilitas yang memadai demi untuk kelancaran kegiatan proses merancang di dalam studio.



Makalah Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur, ”Manajemen Studio Menuju Dunia Arsitektur Profesional, 9-10 Februari 2008, Denpasar-Bali.


-------------------------------------*****-------------------------------------


DAFTAR PUSTAKA

Antoniades, Anthony C. Poetics of Architecture, Theory of Design, Van Nostrand Reinhold,

New York, 1992

Dovey, Kim, Framing Places, Mediating Power in Built Form, Simultaneously published in

the USA and Canada by Routledge, 1999

Green, Ronald, Aris K, Ir, Pedoman Arsitek dalam Menjalankan Tugas (Edisi Keempat),

Intermatra, Bandung, 1994

Klassen, Winand, Arhitecture And Philosophy, Phenomenology-Hermeneutics

Deconstruction, University of San Carlos Cebu City Philippines, 1990

Iman Santoso, Slamet, Prof. DR. R. Slamet, Pendidikan di Indonesia-Dari Masa ke Masa,

PT. Inti Idayu, Press, dan Yayasan Masagung-Jakarta, 1987

Jencks, Charles, and Baird, George, Meaning in Architecture, Gorge Braziller, New York

Saliya, Yuswadi, Ir., M. Arch, IAI, (Penyunting dan Penyusun Utama), et.al, Sikap dan

Pemikiran Suhartono Susilo, Arsitek & Pendidik, Badan Sistem Informasi

Arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia-Jawa Barat, 1998

Salura, Purnama, Ir., M.M., M.T., Ber-arsitektur, Membuat, Menggunakan, Mengalami dan

Memahami Arsitektur, Architecture & Communication, 2001, Bandung

Suardana, I Nyoman Gde, Ir., M.T., Arsitektur Bertutur, Pustaka Bali, 2005, Denpasar

Subijono, Endy, IAI (Ketua II Ikatan Arsitek Indonesia), Penataran Keprofesian Ikatan

Arsitek Indonesia Tentang Kode Etik Arsitek, Kaidah Tata Laku Dan Praktek

Profesi, Juni 2004

Suhartono, Suparlan, M.Ed., Ph.d., Filsafat Pendidikan, AR-RUZZ Media, 2007

Sutjipta, Nyoman, Prof. Dr. Ir., MS, Merencanakan Pembelajaran Bermutu, Lembaga

Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Udayana, 2006.

Suwarno, Drs., Pengantar Umum Pendidikan, Aksara Baru, 1985, Jakarta

Snyder, James C., (Edited by) Architectural Research, Environmental Design Series, Van

Nostrand Reinhold Company, New York 1984

Zen, M.T., (editor), Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia, PT. Gramedia, Jakarta

1981.

Zohar, Danah & Marshall, Ian, Spiritual Capital, PT. Mizan Utama, 2006