Senin, 17 Agustus 2009

Memaknai Peristiwa ''Puputan'' dari Alun-alun

Tanggal 20 September merupakan Hari Puputan Badung. Ada salah satu "pengingat" sejarah dalam kisah heroik perjuangan rakyat Badung melawan penjajah, yakni lapangan Puputan-nya di tengah-tengah Kota Denpasar. Tragedi di tahun 1906 itu merenda makna historis yang patut dikenang, direnungi dan dihayati spirit perjuangannya. Lantas, alun-alun itu sendiri telah memberi makna atas kehadirannya, maupun pemaknaan yang diberikan oleh publik sebagai pengguna ruang terbuka. Apa saja yang bisa disimak dari keberadaan lapangan atau alun-alun Puputan Badung?
-------------

DI hari libur atau minggu pagi, banyak orang jogging, lari pagi atau sekadar menghirup udara segar mengelilingi lapangan atau alun-alun Puputan Badung di tengah-tengah Kota Denpasar. Dalam kondisi seperti itu, batin serasa segar, bebas, lepas dan ringan dari beban keseharian. Sementara sore harinya, masyarakat pun tumpah ruah di ruang terbuka ini. Orang tua bersama anak-anak bersuka ria menikmati ruang yang lapang. Ada yang bercanda, berlari-larian, atau anak-anak bermain sepak bola.

Di sisi timur para penghobi catur tekun bermain. Sementara di tepi utara lapangan berdiri Patung Puputan Badung (simbol ayah, ibu dan anak -- satu keluarga) dalam posisi pekik "puputan", gagah berani, dikelilingi air mancur yang muncul dari sisi-sisi kolam. Pada sudut timur laut dan barat laut, terdapat bale bengong. Sementara di sudut tenggara ada dua bale sakapat. Selain itu, ada dua gugus rumah kebun berdinding transparan -- jejaring kawat, berangka pipa besi bercat hijau daun - di sisi selatan lapangan.

Dari catatan sejarah, alun-alun atau lapangan ini sudah ada sebelum peristiwa puputan terjadi. Namun, seberapa jauh makna alun-alun sesungguhnya masih bertahan? Adakah bedanya, ruang terbuka umum kota dengan alun-alun Puputan Badung? Sejauh mana kontribusinya sudah bisa dirasakan bagi warga Kota Denpasar dan sekitarnya?

Asal Usul

Hingga sekarang masih belum diketahui dengan pasti asal-usul alun-alun. Namun diperkirakan, konsep alun-alun itu muncul di era kerajaan Hindu dulu. Lantaran keberadaan alun-alun itu terkait dengan upacara-upacara kenegaraan Hindu ketika itu, tatkala istana Raja membutuhkan ruang terbuka untuk prosesi-prosesi ritual. Misalnya seperti penobatan Raja, pernikahan keluarga Raja, penyambutan tamu kerajaan, atau kegiatan ritual puri lainnya.

Tulisan dalam kitab Negarakertagama pun konon ada menyebutkan, bahwa keberadaan alun-alun telah dimulai sejak abad ke-14 peradaban Majapahit.
Sementara Stutterheim (1948) pernah membuat suatu perkiraan rekonstruksi dari kota Majapahit di Trowulan yang memperlihatkan bahwa struktur kota Majapahit memiliki bentuk yang tersusun oleh beberapa jalan dengan arah-arah sesuai dengan mata angin. Nah, menurut penafsirannya, struktur simpul kota Majapahit serupa dengan pola perempatan Agung Hindu yang ada di Bali. Dalam hal ini diketahui bahwa sumbu-sumbu mata anginlah yang mengorganisir tata ruang dan bangunan secara keseluruhan. Di sisi lain dapat dilihat adanya posisi sentral dari puri dan alun-alun.

Kini di beberapa tempat lain -- ditengarai -- terdapat adanya perubahan makna alun-alun yang semula punya konteks ritual spiritual menjadi taman atau ruang terbuka umum kota. Hal itu bisa terjadi bila konsep urban yang berkembang dalam kehidupan bermukim modern yang ada menggeser konsep dan makna alun-alun sesungguhnya. Bila demikian, kebutuhan masyarakat kota akan upacara atau ritual lokal maupun nasional cenderung tergusur oleh kebutuhan pragmatis ekonomis urban modern itu. Nah, bagaimana dengan lapangan atau alun-alun Puputan Badung yang memiliki makna historis tata ruang kota dan perjuangan di zaman kerajaan? Apakah makna semula tetap bisa terpelihara?

Alun-alun kini -- sebagai ruang terbuka kota -- berpeluang menjadi suatu fasilitas rekreasi publik yang lebih dinamis, bisa dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas. Tak hanya bersifat menanti pemaknaan dari luar, melainkan pula memperoleh makna dari dan di dalam "diri"-nya. Alhasil, alun-alun memiliki kekuatan yang memberi makna kepada realitas penggunaan alun-alun itu sendiri.

Sebagai suatu kekosongan ("teks" yang masih ditafsirkan kembali), alun-alun Puputan Badung akan memperoleh makna dari perkembangan kegunaannya di era saat ini. Sebagai sebuah ruang terbuka, ia punya aneka kemungkinan aktivitas dan peristiwa yang bisa terjadi di dalamnya. Dengan adanya peristiwa-peristiwa itulah makna sebuah ruang terbuka menjadi bervariasi penggunaannya.

Analogi Pemaknaan

Pelapisan makna tersebut bisa dianalogikan seperti teori "penggunaan bahasa" dari Ludwig Wittgenstein yang mengatakan, "jangan tanya makna sebuah kata, tapi lihatlah bagaimana dia digunakan" (Linge, E. David, 1976). Jika ditafsirkan lebih rinci, ia memiliki pengertian, "Makna sebuah kata adalah tergantung penggunaannya dalam suatu kalimat, makna kalimat tergantung pemakaiannya dalam bahasa, sedangkan makna bahasa tergantung penggunaannya dalam hidup" (Hidayat, Proseding Lingkung-Bina, 2001, Kaelan 1998: 149).

Ibarat sebuah kata, tak bisa dicari maknanya dengan cara menanyakan apa makna menyeluruh dari kata itu sendiri. Kadang ada kesulitan semisal mencari makna yang luas dan lengkap dari kata "buah". Maknanya bisa bermacam-macam tergantung dari kemungkinan jalinannya, apakah sebagai buah mangga, buah apel, buah hati, sampai buah bibir. Masing-masing pertalian itu bisa beda maknanya bila digunakan dalam kalimat, lantas beda pula maknanya dalam bahasa dan beda lagi maknanya dalam kehidupan nyata.

Begitu juga jalinan makna sebuah alun-alun Puputan Badung dengan peristiwa historis yang dikandungnya. Coba disimak sekilas kisah di bulan September 1906: Belanda yang telah menguasai Singaraja dan sekitarnya, meneruskan penyerangannya ke wilayah Bali Selatan. Gempuran dari Belanda tersebut mendapat perlawanan gigih dari rakyat dan Raja Badung, Gusti Gde Ngurah Denpasar. Tiada rasa gentar sedikit pun, Raja Badung beserta segenap keluarganya melawan hingga titik darah terakhir. Singkat cerita, Raja Badung gugur bersama seluruh keluarga dan rakyatnya, pada 20 September 1906, yang dikenal dengan sebutan Puputan Badung.

Peristiwa heroik yang terjadi pada tanggal itu dan keberadaan patung Puputan Badung, dengan dasar berbentuk daun teratai dan spirit heroik puputan", lebih mengingatkan jalinan itu ke dalam makna historikal ruang sebuah alun-alun. Kemudian ada makna lain dalam keterjalinannya dengan kegiatan upacara yang terjadi di dalam lapangan itu sendiri, apakah untuk kegiatan upacara agama (keterkaitannya dengan keberadaan Pura Jagatnatha) atau kegiatan ritual lainnya. Begitu pula kegiatan upacara yang bersifat kedinasan formal atau seremonial (berbagai peringatan yang melibatkan masyarakat), hingga ajang berlangsungnya berbagai atraksi, hiburan, bersantai, olahraga, senam dan rekreasi.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 18 September 2005

3 komentar:

  1. Bli becik Blognyane...

    ayoo update malih ...

    salam
    eben3dimpressions jasa rendering 3d untuk eksterior maupun interior

    BalasHapus
  2. Om Suastiastu,

    Rahajeng Bli Nyoman Suardana, titiang I Ketut Kembar Adhi Saputra, titiang saking ubud, titiang freelance drafter arsitektur CAD 2D taler 3D...meled manah titiang mempromosikan diri taler nunas pekaryan drafting. Indik proposal dados menuju http://adhisain.blogspot.com

    Kontak tiang ring:
    adhirich@gmail.com
    08179781879
    BB : 32EF25F6

    Suksma Bli..
    Om Shanti Shanti Shanti Om

    BalasHapus
  3. ✴ Detik Trade ✴

    DETIK TRADE

    Trading Forex Indonesia | Platform Forex Terpercaya | Trading Online Indonesia


    ✔Fast 24-Hours Deposit / Withdrawal.
    ✔30seconds Lowest Trading Period.
    ✔Simple And Modern Platform.
    ✔Demo-Account For New Traders.
    ✔10% First Deposit Bonus (T&C Applied)


    Register below:

    ☆Join With Us Detik Trade☆

    BalasHapus