Tujuh anak tangga pada dasar paling nawah terdiri atas 8 (delapan) buah anak tangga, berbentuk setengah lingkaran. Bagian lengkung mengelilingi sisi kiri, belakang dan sisi kanan. Di lapisan landasan kedua, dimensi ketinggian masing-masing anak tangga kelihatan lebih tipis (rendah), terdiri atas 7 (tujuh) buah anak tangga. Kelompok anak tangga pada bagian ini berpola lingkaran penuh.
Pada kelompok anak tangga di atasnya, undagnya berjumlah 5 (
Jika masing-masinganak tangga tersebut ditambahkan, totalnya berjumlah 20 (dua puluh) anak tangga (8+7+5). Boleh jadi angka 20 itu bermakna sebagai tanggal terjadinya peristiwa histories “Puputan” yakni pada 20 Nopember 1946.
Sementara patung yang terwujud dari buah tangan pematung Surya Pranawa ini, mungkin dari bentuk fisik sudah bisa dikatakan menyuratkan sosok pahlawannya. Namun bagaimana mengenai spirit atau taksu (kharisma) patung yang dipancarkannya?
Batas Tipis
Nah, dalam proses pembuatan patung yang dikerjakan di Yogyakarta ini, tak kalah penting peranan dari I Gusti Ngurah Pindha (alm), mantan anggota pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Rai, selaku nara sumber bagi pematung, pemberi gambaran sosok dan tabiat mulia-berwibawa dari pahlawan I Gusti Ngurah Rai.
Dari tatanan ruang (spasial), tampaknya patung ini hanya memiliki batas yang amat tipis dengan jalan. Konsep ruang lokal (di Bali), sudahkah menjadi acuan dalam rancangan tapak yang tertuang dalam wujud fisik visual patung pahlawan yang kita hormati ini?
Landasan patung, sedari atas hingga pada lapisan terbawah, sepertinya, tak ada menampilkan ornamen atau ragam hias bercitra
Perjalanan panjang “Junu-Juli” diawali dari pertemuan yang terjadi di Sekumpul dan Pangkung Bangka (Buleleng), penyerangan Pos NICA di Lampu (Bangli), Pertempuran di Bon (Badung), pertempuran di Pemuteran, Pesagi dan Tanah Aron (Karangasem) yang terjadi pada Juni dan Juli, hingga puputan Margarana pada 20 Nopember 1946.
Perjalanan historis perjuangan itu mungkin perlu “ditayangkan” dalam media rupa patung pahlawan I Gusti Ngurah Rai.
Di antara perkembangan keramaian lalu lintas dan bangunan-bangunan yang kian menjamur di sekitarnya, keberadaan “visual” patung I Gusti Ngurah Rai tampak makin “tenggelam”. Memang dimensi besar dan ketinggian patung sepatutnya disesuaikan dengan skala jarak pandang. Namun dalam kondisi seperti sekarang, sudah memadaikah? Atau mungkin perlu lebih diangkat landasannya?
Hal ini semestinya sudah diprediksi sebelumnya saat membuat konsep rancangan. Terlebih posisi berdiri patung ini merupakan sebagai titik tangkap garis lurus dari pintu gerbang Bandara Ngurah Rai. Guna lebih menghidupkan citra sebuah patung pahlawan nasional asal
Nuansa Lokal
Mungkin, guna lebih mengangkat nilai-nilai magis, spiritual religius, sebagai kearifan lokal yang berlaku di
(penolak bala) di depan posisi patung yang berhadapan dengan jalan lurus Airport Ngurah Rai. Itu lantaran letak patung tersebut berada pada posisi numbak rurung. Boleh jadi diperlukan, terutama bila kemudian disediakan ruang-ruang untuk aktivitas-aktivitas di sekitar atau dibelakangnya.
Nah, apa yang bisa dilestarikan dan dikembangkan ke depan tak lain demi untuk lebih dapat dihayati pewarisan nilai historis perjuangan pahlawan kepada generasi penerusnya. Spirit perjuangan yang tak boleh redup, tak kunjung luntur. Sesuai dengan swadharma masing-masing, hendaknya senantiasa berjuang, bekerja dan berdoa menuju terwujudnya peradaban yang lebih luhur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar