Selasa, 11 Agustus 2009

Meningkatkan Mutu dan Nilai Proses Merancang



ABSTRAK


Ir. I Nyoman Gde Suardana, M.T.

Staf Pengajar Program Studi Arsitektur Universitas Dwijendra

Denpasar - Bali

e-mail : suar_bali@yahoo.com


Sarjana Arsitektur dan Profesi Arsitek tampak semakin mendapat tantangan di era global sekarang maupun di masa mendatang. Dalam dunia pendidikan arsitektur, khususnya ketika mahasiswa memasuki studio perancangan arsitektur, yang bersangkutan patut lebih diarahkan untuk mengenali dan memahami persoalan arsitektur secara holistik. Pada mahasiswa sebagai calon arsitek maupun sarjana arsitektur, selain ditanamkan bekal intelektual, kesantunan etika, motivasi berkreasi atau punya kemampuan ber imajinasi, juga berwawasan luas. Arsitektur senantiasa diperuntukkan bagi manusia, selalu berada dalam konteks alam dengan beragam buatan manusia berada di dalamnya. Pengetahuan tentang arsitektur sebelumnya muncul karena adanya kebutuhan akan “ruang” untuk menampung aktivitas manusia. Maka wadah yang diwujudkan itu tentu harus selalu memiliki mutu pencitraan yang manusiawi dan nilai guna yang kontekstual.


Hal ihwal itu bisa dipenuhi jika dilakukan studi, evaluasi, diskusi hingga menemukan solusi. Misalnya, apa pola dan sistem pendidikan arsitektur yang diterapkan selama ini. Bagaimana interaksi antara dosen dan mahasiswanya, serta situasi dan strategi pembelajaran sebelum dan yang akan dilakukan ke depan. Perihal tersebut akan berdampak luas terhadap kompetensi lulusan. Sebagai sebuah lembaga pendidikan profesional arsitek dan strata yang berkelanjutan diharapkan kelak melahirkan insan intelektual bermoral serta memiliki kontribusi yang optimal mengangkat mutu dan nilai-nilai kearifan lokal arsitekturnya.


Kata Kunci:

Mutu, nilai, proses merancang



Pendahuluan

Secara kodrati manusia lahir memiliki cipta, rasa dan karsa. ’Cipta’ atau daya pikir merupakan suatu potensi yang pada dasarnya mempersoalkan nilai ’kebenaran’. ’Rasa ’ adalah kemampuan yang spesifik berhubungan dengan nilai ’keindahan’ dan peka terhadap tata nilai yang selalu dijadikan dasar pemikiran. Sementara ’karsa’ berhubungan dengan nilai ’kebaikan’. Jika ’karsa’ dikendalikan secara bertanggungjawab oleh ’cipta’ dan ’rasa’nya maka akan dapat menghasilkan ’karya’ yang ber-mutu dan ber-nilai.


Sejatinya, seorang manusia telah langsung terlibat di dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran sejak lahir. Aktivitas pendidikan dan pembelajaran itu diselenggarakan mulai dengan cara-cara alami menurut pengalaman hidup hingga pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional, menurut kemampuan koseptik-rasional.


Berangkat dewasa, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri, upaya manusia untuk menjadi semakin arif dengan sikap perilaku bijak terhadap apa pun dan siapa pun yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupan ini. Maka sesungguhnya perkara pendidikan adalah persoalan yang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Setiap kegiatan hidup manusia senantiasa memiliki arti dan fungsi kependidikan.


Pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pencerdasan, pendewasaan dan pematangan

diri. Pendidikan wajib bagi siapa saja, kapan saja, dan di mana saja, karena menjadi dewasa, cerdas dan matang adalah hak asasi manusia pada umumnya. Maka pendidikan memang harus berlangsung di setiap jenis, bentuk dan tingkat lingkungan dari yang terkecil hingga lingkungan masyarakat luas dan berlangsung di sepanjang waktu.


Dalam pendidikan dan pengajaran arsitektur, wilayah ’cipta’ (cognitive domain), wilayah ’rasa’ (affective domain) dan wilayah ’karsa’ (psychomotoric domain) memegang peranan penting sebagai ’trilogi’ belajar di dalam menghasilkan suatu hasil kerja (’karya’) yang optimal, bermutu, bernilai dan ’operasional’. Sebagaimana dipahami, pendidikan arsitektur yang di dalamnya dinafasi oleh sains, teknologi dan seni, bukan hanya diaplikasikan ke hal-ihwal yang operasionalistik, mekanistik, materialistik dan rasionalistik semata, tetapi mesti memiliki tata nilai yang humanistik. Pengetahuan arsitektur dapat dilihat sebagai produk dan proses, serta sebagai pe

rnyataan-pernyataan yang bersifat preskriptif dan deskriptif.


Proses pendidikan dan pengajaran arsitektur dibentuk pula melalui studio perancangan, bahkan sebagai salah satu sarana pelatihan yang sangat penting dalam melakukan proses belajar mengajar perancangan arsitektur. Mengingat lingkup perancangan mendatang mengandung kompleksitas yang semakin meningkat. Proses perancangan merupakan pertautan akumulatif sejak awal pendidikan kearsitekturan ditempuh hingga ke akhir semester. Bahkan

produk studio perancangan dapat dikatakan sebagai ’barometer’ mengenai kondisi, mutu dan nilai proses pembelajarannya Untuk itu perlu dirancang substansi untuk pembelajaran studio perancangan arsitektur yang berlandaskan kajian teoritik, selain dilakukan evaluasi mengenai hasil pembelajaran yang sudah dilakukan.


Proses dan Studio Perancangan Arsitektur


Meskipun proses perancangan arsitektur memiliki kandungan analisis, namun proses sintesis di dalamnya lebih dominan. Sintesis merupakan kombinasi ”Syn” yang berarti: bersama, menambahkan, atau plu

s dan ”Thesis” yang berarti situasi, posisi, entitas, atau pernyataan (Antoniades, 1980). Jadi hasil rancangan arsitektur merupakan sintesis dari beberapa elemen yang ditata (intent to make order) sedemikian rupa agar tercipta sebuah entitas fisik yang mempunyai ”new thesis” atau ”new statement”. (Purnama Salura, 2001).


Ciri khas perancangan arsitektur adalah penekanannya pada proses ”mencipta” (creating). Untuk itu para pelaku perancangan arsitektur perlu mempunyai kepekaan dan kreativitas yang handal. Kreativitas yang dapat mewujudkan ”synthesis of form” yang memiliki tujuan dan makna.

Pembelajaran arsitektur yang terkait dengan kegiatan proses perancangan tersebut tak dapat dipisahkan dengan keberadaan ”studio”. Studio termasuk sebuah fasilitas pendidikan arsitektur yang sangat penting. Untuk hal itu, substansi dan tata cara yang diberlakukan perlu dibahas dan ditata lebih cermat dises

uaikan dengan kebutuhan, tujuan dan sasaran pendidikan arsitektur.

Keterjalinan antara pengetahuan yang ditransfer atau diajarkan, keterlibatan pengajar, peserta ajar, cara mengajar serta cara pengevaluasi hasil pengajaran merupakan perihal pokok yang saling terkait satu sama lain. Namun studio dalam pengajaran arsitektur hendaknya tidak boleh hanya bertujuan pragmatis yang sekadar siap pakai. Tujuan studio arsitektur mesti untuk mengembangkan terus pengetahuan arsitektur yang dapat bermanfaat dalam kehidupan kemanusiaan.


Pekerjaan merancang arsitektural dijalankan secara nalar maupun intuisi. Dalam

menjalankan tugasnya arsitek banyak dibantu oleh intuisi. Walaupun demikian tidak berarti bahwa arsitek tidak perlu menguasai teori,

metode dan teknik yang berdasarkan nalar. Arsitektur adalah disiplin perancangan atau disiplin desain yang berkelompok dengan disiplin ”engineering” (rekayasa), ”planning” (perencanaan) dan ”industrial design” (desain industrial.


Sebagaimana yang ditulis L.B. Acher, ”Design” dalam arti pendidikan secara umum dapat didifinisikan sebagai wilayah pengalaman, ketrampilan dan pengertian yang merefleksikan kepedulian manusia melalui apresiasi dan adap

tasi lingkungannya dilihat dari segi kebutuhannya yang bersifat lahir dan batin. Secara spesifik ”design” berhubungan dengan komposisi, makna, nilai, konfigurasi, maksud dan tujuan dari segala fenomena (gejala) buatan manusia. Disiplin desain tidak hanya penguasaan perancangan semata, namun pula metoda dan ilmu pengetahuan yang terkait dengan apresiasi dan adaptasi lingkungan buatan.


Proses belajar arsit

ektur tersebut berlangsung melalui berbagai kegiatan perkuliahan, diskusi, latihan, responsi ya

ng secara konprehensif bersinergi ke arah ”sentral”, yakni yang disebut ”Studio Arsitektur”. Di sini berproses secara bertahap penguasaan pengetahuan, pengertian, penggunaan, analisis, sintesis dan pertimbangan nilai yang berdasarkan disiplin desain arsitektur.


Pendidikan arsitektur dilihat sebagai sistem dengan banyak sub-sistem yang terlibat. Paradigma pendidikan arsitektur saat ini mesti semakin mengacu pada kualitas (mengadopsi mutu yang tinggi dalam tri dharmanya), otonomi (mengembangkan potensi lokalnya secara mandiri), akuntabilitas (bertanggung jawab kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, masyarakat, bangsa dan negara), akreditasi (harus berani dinilai secara eksternal) dan evaluasi (melakukan evaluasi internal atau evaluasi diri dan mampu melakukan koreksi).


Faktor Yang Mempengaruhi Mutu


Banyak faktor yang berpengaruh dalam proses pendidikan atau proses pembelajaran di jurusan / program studi arsitektur (lihat gambar) di dalam menghasilkan input dan output perguruan tingginya. Input menyangkut sejumlah mahasiswa yang tersaring melalui rekrutmen yang valid dan reliable. Sementara output menyangkut kopetensi lulusan sehingga ’matching’ dengan kebutuhan mahasiswa, kebutuhan lapangan kerja serta kebutuhan pembangunan bangsa dan negara yang sedang membangun.


Karena itu, upaya memperbaiki mutu pendidikan arsitektur menjadi pekerjaan yang kompleks, sehingga perbaikannya harus dengan cara terpadu dan terkoordinasi dengan komitmen yang sama. Ihwal tersebut harus terwujud dengan menggerakkan segenap subsistem yang ada dan saling bahu membahu antar subsistem. Proses pembelajaran arsitektur akan berlangsung baik jika direncanakan dengan baik. Perencanaan proses pembelajaran yang baik tercermin dari kurikulumnya yang disusun secara lengkap. Kurikulum merupakan bagian penting dari dari sejumlah faktor yang mempengaruhi mutu lulusan perguruan tinggi disamping faktor-faktor lainnya. Faktor penting lain yang juga sangat menentukan usaha peningkatan mutu lulusan adalah ”faktor dosen” selaku sumber daya manusia pengelola proses pembelajaran tersebut.


Membahas proses pendidikan arsitektur sejatinya tidak mungkin dilakukan secara parsial atau sepotong-sepotong. Semua proses pembelajaran tidak akan bermutu dan tidak menghasilkan kualitas lulusan yang baik apabila dosen tidak memiliki komitmen, tidak inovatif dan tidak punya kreativitas, meskipun kurikulum atau perencanaan proses pembelajaran yang dibuat sudah baik.


Trend perubahan dunia yang memengaruhi arah perubahan kurikulum dan arah proses pendidikan atau proses pembelajaran saat ini antara lain (Sutjipta, 9-10: 2006) ada disebutkan, misalnya mengenai persaingan kehidupan ke depan bukan lagi persaingan menggunakan kekuatan fisik, melainkan persaingan menggunakan otak. Orang yang memliki ilmu dan teknologi akan memenangkan persaingan menguasai dunia. Kebutuhan kompetensi ke depan merupakan kompetensi mencari, memilah dan mengolah informasi untuk mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan. Siapa yang mampu dengan cepat mencari informasi dan mengolah informasi tersebut akan memenangkan persaingan menguasai dunia.


Dalam persaingan dunia ke depan, kemampuan yang mutlak harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi, adalah kemampuan menggunakan dan memanfaatkan komputer atau media elektronik untuk segala keperluan. Begitu pula dalam kehidupan global ke depan maka ketrampilan lain yang sangat penting harus dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi adalah ketrampilan yang berkaitan dengan moral, sosial dan spiritual. Tanpa moral sangat sulit untuk menarik simpati masyarakat, tanpa memiliki ketrampilan sosial sulit memperoleh kawan atau membentuk jaringan, dan tanpa ketrampilamn spiritual sulit untuk bertindak jujur.


Menumbuhkembangkan Potensi


Setiap individu memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing. Potensi yang dimiliki seseorang pada dasarnya berupa tingkat kecerdasan yang disebut : IQ, EQ dan SQ. IQ adalah ’kecerdasan rasional’, kecerdasan yang dipakai dalam berpikir. Sedangkan EQ berupa ’kecerdasan emosional’, kecerdasan yang dipakai untuk merasa. Sementara yang disebut SQ adalah ’kecerdasan spiritual’ yang digunakan untuk memahami makna dan nilai-nilai. SQ adalah juga merupakan kecerdasan yang adaptif kompleks yang menyusun pola-pola pengaturan diri ketika kecerdasan ini muncul dalam sebuah dialog yang kreatif antara pikiran seseorang dan lingkungannya. Sistem-sistem adaptif kompleks yang interaktif dalam otak berinteraksi dengan medan makna.


Kecerdasan emosi juga sangat menentukan keberhasilan orang dalam karir hidupnya kelak. Menurut hasil penelitian, penguasaan ilmu hanya menentukan 20 % keberhasilan dalam karir kehidupan seseorang. Kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual justru akan menentukan 80 % keberhasilan orang dalam karir kehidupannya. Maka lulusan perguruan tinggi harus punya ketrampilan mengendalikan emosi dalam kehidupan bermasyarakat. Di sisi lain ketrampilan berkomunikasi mesti efektif, baik melalui bahasa lisan maupun tulisan, dibarengi ketrampilan berpikir jernih sebagai modal penting dalam pergaulan global. Untuk itu, kemampuan menuangkan pikiran dalam tulisan dan ketrampilan berbahasa menjadi pertimbangan penting dalam menyusun kurikulum dan mengelola pendidikan.


Ketrampilan interpersonal-melakukan komunikasi dan evaluasi diri sendiri-dan ketrampilan intrapersonal-melakukan komunikasi dan evaluasi dengan orang lain-merupakan modal penting dalam pergaulan dunia. Selain memahami pentingnya lingkungan yang sehat bagi kehidupan manusia, juga perlu memahami dinamika individu dan masyarakat serta memiliki kompetensi pribadi yang tepat untuk bidang yang diminati dan ditekuni.


Ketiga jenis kecerdasan yang dimiliki oleh seorang calon sarjana arsitektur mesti dibangun dan dikembangkan. Pendidikan arsitektur adalah suatu daya yang mampu membuat manusia berada di dalam kepribadiannya sebagai manusia, yakni selaku ’makhluk kreatif’ yang senantiasa menggunakan nalar dan rasa dalam proses mencipta atau berkarya atas segala macam jenis kerangka dan model yang kontekstual dan berguna bagi kelangsungan dan perkembangan disiplin arsitektur.


Pada jenjang hakikat potensi tersebut, pendidikan arsitektur hendaknya menumbuhkembangkan secara seimbang antara kecerdasan : ’rasional’, ’emosional’ dan spiritual’ agar terbentuk kepribadian yang kreatif, yakni dengan secara terus menerus meningkatkan latihan berpikir dan berbuat sesuatu. Ihwal ini akan membentuk kepribadian yang tekun, teliti, terampil, beretika dalam menyelesaikan persoalan arsitektur.


Kepribadian beriteligensi dan kreatif diupayakan untuk bisa ditanamkan pada calon sarjana arsitektur maupun yang kelak akan berprofesi sebagai arsitek. Profesi yang memiliki ciri-ciri dan memperoleh pengakuan secara umum tentang : keahlian (skill), keilmuan (learning) dan kepakaran (expertise). Maka profesi memperoleh persyaratan: harus dilakukan dengan etika profesi yang berkonsekuensi tanggung jawab berdasarkan moralitas atau responsibilitas.


Berdasarkan uraian, bahasan dan upaya untuk mengembangkan ketiga potensi tersebut di atas, maka ada beberapa kriteria yang patut dijadikan bahan pertimbangan dalam melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar di kelas maupun dalam Studio Perancangannya. Menurut buku ”Sikap dan Pemikiran Suhartono Susilo, Arsitek dan Pendidik” (hlm. 61: 1998), ada disebutkan beberapa kriteria Tugas Akhir (TGA) Arsitektur.

I. Asas-asas Kebutuhan

  1. Maksud dan Tujuan Pemilik Proyek (Project Owner)
  2. Kebutuhan Pemakai dan Pemakai Akhir (Users and Endusers)
  3. Perizinan Lokasi, Rencana dan Pendirian Bangunan (Planning and Building Permit).

II. Asas-asas Wawasan Lingkungan

  1. Perpaduan dengan Lingkungan Alami (Natural Environment)

Dampak timbal balik Alam dengan Rencana Denah

Penggunaan dan Pengendalian Cahaya dan Sinar Matahari

Pengendalian Angin dan Hujan

Penggunaan dan Pengendalian Alam Hijau

Penggunaan dan Pengendalian Topografi

Penggunaan dan Pengendalian Rupa Pandang Bumi (Landscape)

Penggunaan dan Pengendalian Karakter Alam yang unik/khas setempat, jika ada.

  1. Perpaduan dengan Lingkungan Buatan (Built Environment)

Dampak timbal balik Rencana Massa dan Ruang dengan Lingkungan Keliling

Tata Guna dan Pengembangan Tapak dan Lokasi

Pengenalan jiwa setempat (Genius Loci), jika ada potensi yang demikian

Penataan Jalan – Keluar Masuk (Access), lalu lintas maupun transport berkaitan dengan Pejalan Kaki (pedestrian). Kendaraan (”vehicular”), yang bersifat privat, publik dan pelayanan (service).

III. Asas-asas Teknis dan Teknologis.

  1. Sistem Konstruksi
  2. Bentuk Struktur akibat beban vertikal dan horizontal
  3. Sistem Dinding Peliput (Enclosure)
  4. Seleksi bahan-bahan bangunan
  5. Tata cahaya penerangan (illumination)
  6. Tata suara ruang (Acoustics) dan Isolasi Gangguan suara.
  7. Sistem ventilasi dan kondisi udara (”VAC”)
  8. Sistem Distribusi air bersih
  9. Sistem Pembuangan Air Kotor, air limbah dan air hujan
  10. Sistem Daya Listrik dan Pelistrikan
  11. Sistem Sirkulasi dan Alat Transpor Internal
  12. Sistem bahaya Kebakaran, Pencegahan (Fire Prevention), Penginderaan (”Fire Detection”), Pengisyaratan (Fire Alarm), Pemadaman (Fire Fighting), Penyelamatan Jiwa (Fire Escape).
  13. Sistem Keamanan dan Televisi Lingkar Tertutup (CCTV)
  14. Sistem Hubungan Telepon dan Telekomunikasi
  15. Sistem Pelengkap Khusus jika ada (misalnya Sistem Gas Sentral, dlsb.)
  16. Sistem Pelaksanaan dan Manajemen Konstruksi

IV. Asas-asas Estetika

  1. Analisa Gaya jika dianggap perlu
  2. Analisa Komposisi Ruang, Massa, Bidang dan bahan
  3. Penciptaan Suasana dan Ungkapan Arsitektural (”Architectural Articulation”).


”Masyarakat terdidik”-jika dianalogikan sebagai sebuah gedung-juga tersusun atas pilar (foundation) dan model bangunannya. Keduanya berhubungan secara kausalitas. Pilar bangunan menentukan model bangunan atasnya. Dalam rangka menciptakan perkembangan, mutlak mesti dilakukan perubahan-perubahan. Guna membuat perubahan, manusia mesti memiliki daya kompetensi (keahlian), kecakapan (capability), dan ketrampilan (skill) hidup. Ketiga perihal tersebut berakar dari potensi kodrat yang ada di dalam diri manusia, berupa cipta, rasa dan karsa. ”Cipta” berhubungan dengan kreativitas hidup, ”rasa” berkaitan dengan wawasan hidup dan ”karsa” berkorelasi dengan dorongan hidup.


Sarjana Arsitektur maupun arsitek yang terdidik dengan pilar dasar berupa kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (IQ) menciptakan sarjana arsitektur atau arsitek yang bijaksana, kreatif, berkeadilan dan beradab. Ide manusia terdidik tersebut difungsikan sebagai ”pilar” yang menentukan ”bentuk” dan ”model” bangunannya. Oleh karena itu ”out put” atau keluaran dari lembaga perguruan tinggi pada akhirnya harus berakar pada kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual.


Wasana Kata


Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa corak khusus proses merancang arsitektur di Lembaga Pendidikan Tinggi Arsitektur sebagai berikut:

  1. Mutu kegiatan proses merancang dalam Studio Perancangan Arsitektur sebagai sasaran utama perlu disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masa depan masyarakat. Jadi kualitas pendidikan bukan hanya ditentukan secara kognitif semata, melainkan pula secara afektif dan psikomotorik.
  2. Isi materi Studio Perancangan diharapkan menekankan pada sifat akademis dan intuitif. Nilai keilmuannya adalah kebenaran yang sistemik, metodik adalah sebagai pola utama untuk seluruh kegiatan proses merancang.
  3. Lembaga Pendidikan Arsitektur dapat pula dinilai sebagai ranah pengembangan potensi individual. Lembaga bertanggung jawab terhadap pembinaan individu menjadi sarjana arsitektur atau arsitek yang ’sujana’ dan profesional dan mampu beradaptasi dengan baik dalam kehidupan masyarakatnya.
  4. Dalam Studio Perancangan Arsitektur diselenggarakan kegiatan pembelajaran secara mandiri maupun berkelompok dalam mengembangkan pola ”cipta”, ”rasa” dan ”karsa” dalam bingkai peradaban dan kebudayaan dari generasi ke generasi berikutnya.
  5. Seluruh kegiatan studio dan pembelajaran diselenggarakan secara teratur berdasarkan program yang telah direncanakan, diimbangi fasilitas yang memadai demi untuk kelancaran kegiatan proses merancang di dalam studio.



Makalah Seminar Nasional Pendidikan Arsitektur, ”Manajemen Studio Menuju Dunia Arsitektur Profesional, 9-10 Februari 2008, Denpasar-Bali.


-------------------------------------*****-------------------------------------


DAFTAR PUSTAKA

Antoniades, Anthony C. Poetics of Architecture, Theory of Design, Van Nostrand Reinhold,

New York, 1992

Dovey, Kim, Framing Places, Mediating Power in Built Form, Simultaneously published in

the USA and Canada by Routledge, 1999

Green, Ronald, Aris K, Ir, Pedoman Arsitek dalam Menjalankan Tugas (Edisi Keempat),

Intermatra, Bandung, 1994

Klassen, Winand, Arhitecture And Philosophy, Phenomenology-Hermeneutics

Deconstruction, University of San Carlos Cebu City Philippines, 1990

Iman Santoso, Slamet, Prof. DR. R. Slamet, Pendidikan di Indonesia-Dari Masa ke Masa,

PT. Inti Idayu, Press, dan Yayasan Masagung-Jakarta, 1987

Jencks, Charles, and Baird, George, Meaning in Architecture, Gorge Braziller, New York

Saliya, Yuswadi, Ir., M. Arch, IAI, (Penyunting dan Penyusun Utama), et.al, Sikap dan

Pemikiran Suhartono Susilo, Arsitek & Pendidik, Badan Sistem Informasi

Arsitektur Ikatan Arsitek Indonesia-Jawa Barat, 1998

Salura, Purnama, Ir., M.M., M.T., Ber-arsitektur, Membuat, Menggunakan, Mengalami dan

Memahami Arsitektur, Architecture & Communication, 2001, Bandung

Suardana, I Nyoman Gde, Ir., M.T., Arsitektur Bertutur, Pustaka Bali, 2005, Denpasar

Subijono, Endy, IAI (Ketua II Ikatan Arsitek Indonesia), Penataran Keprofesian Ikatan

Arsitek Indonesia Tentang Kode Etik Arsitek, Kaidah Tata Laku Dan Praktek

Profesi, Juni 2004

Suhartono, Suparlan, M.Ed., Ph.d., Filsafat Pendidikan, AR-RUZZ Media, 2007

Sutjipta, Nyoman, Prof. Dr. Ir., MS, Merencanakan Pembelajaran Bermutu, Lembaga

Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan Universitas Udayana, 2006.

Suwarno, Drs., Pengantar Umum Pendidikan, Aksara Baru, 1985, Jakarta

Snyder, James C., (Edited by) Architectural Research, Environmental Design Series, Van

Nostrand Reinhold Company, New York 1984

Zen, M.T., (editor), Sains, Teknologi dan Hari Depan Manusia, PT. Gramedia, Jakarta

1981.

Zohar, Danah & Marshall, Ian, Spiritual Capital, PT. Mizan Utama, 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar