Sabtu, 11 Juli 2009

Alun-alun yang Memberi "Kesejukan" pada Publik

Alun-alun boleh jadi merupakan sebuah "teks" yang maknanya bisa berlapis, tergantung dari kemungkinan pertautannya dengan entitas (wujud) bentuk, spasial, fasade dan kandungan peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di dalamnya.
-----------------

BERDASARKAN catatan historisnya, terkait dengan ruang arsitektural (tempat-tempat yang berhubungan dengan peristiwa "puputan"), seperti bekas Puri Denpasar (kini gedung Jaya Sabha) yang terletak di utara Lapangan Puputan Badung, Jero Taensiat, Puri Pamecutan, Puri Suci (bekas Terminal Suci), Jero Belaluan, dan bekas tempat wantilan (di pojok Barat laut perempatan Catur Muka).

Dalam konteks kekinian, banyak aktivitas publik berlangsung di lapangan ini. Namun bagaimana dengan fasade (wajah) arsitektural yang berada di lingkungan alun-alun Puputan Badung saat ini? Sudahkah mencerminkan tampak visual yang mampu menyimak kenangan (alussory) bagi publik sebagai pengguna alun-alun Puputan? Sudahkah secara keseluruhan bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya bernuansa arsitektur Bali? Bagaimana eksistensinya sebagai salah satu objek city tour?

Dalam konteks membangun citra, pandangan mata publik yang berada di dalam lapangan tentunya turut merajut image tentang apa dan bagaimana sesuatu yang ada di sekitarnya. Realitas di atas dapat pula dipandang sebagai suatu interpretasi di dalam memaknai ruang di lapangan Puputan. Bagi publik yang menggunakan lapangan ini sebagai tempat rekreasi, alun-alun ini memiliki makna rekreatif dan mampu pula memberi makna historis dengan adanya elemen patung heroik semangat "puputan" di sisi utara lapangan itu sendiri. Bahkan mampu pula membangun makna religius dan edukatif dengan adanya pura Jagatnatha dan Museum Bali di sisi timur alun-alun Puputan.

Tempo doeloe, alun-alun yang merupakan pelengkap fasilitas Puri Denpasar itu berperan amat penting, selain sebagai tempat untuk memberikan pengarahan dari Raja kepada rakyatnya, pun sebagai tempat hiburan. Puri, dulu digunakan sebagai pusat pemerintahan selain sebagai tempat tinggal Raja beserta keluarganya. Sementara pasar yang berposisi di sebelah barat alun-alun ketika itu, merupakan fasilitas sosial ekonomi. Sedangkan di sebelah timur dan selatannya, dulu merupakan sebagai tempat permukiman penduduk.

Sejatinya, kedudukan ruang terbuka atau alun-alun memiliki posisi strategis dalam penataan suatu kota. Itu lantaran penggunaannya lebih banyak dipakai untuk kepentingan publik. Salah satu bagian yang terkait pula dengan keberadaan lapangan Puputan ini adalah adanya konsepsi pempatan agung, sebagai titik orientasi di tengah kota.

Alun-alun Puputan Badung yang memiliki luasan sekitar 3 (tiga) hektar ini, secara konsepsional punya pemaknaan yang dikondisikan oleh keberadaan wujud arsitektural di sekitarnya.

Di sebelah utaranya ada rumah Jabatan Gubernur Bali (Gedung Jaya Sabha), bermakna "mengayomi" bersama kantor Walikota yang ada di sebelah barat laut alun-alun. Di sebelah timur ada Pura Agung Jagatnatha dan Museum Bali, memberi makna spiritual dan edukatif. Di sebelah barat ada Gedung Kodam IX Udayana, bermakna "mengamankan". Sementara di sebelah selatannya terdapat Gedung Garuda (bersosok modern), kantor Pertamina dan Garnizun, bermakna "menyatukan masyarakat dalam mencapai tujuan hidupnya".

Rancangan Tapak
Sebagai ruang terbuka (public space), lapangan atau alun-alun Puputan Badung merupakan suatu sarana yang memberi "kesejukan" psikologis bagi publik. Lapangan ini memiliki makna yang terbentuk pula oleh kegairahan masyarakat untuk berkumpul, berkomunikasi, ber-rekreasi di tengah kepenatan kehidupan kota. Makna alun-alun ini juga bisa terbentuk oleh situasi lingkungan dan aktivitas keseharian masyarakat sekitarnya.

Beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan untuk penataan ruang alun-alun ke depan, antara lain sbb.;
1. Perlu dibuat kantong-kantong parkir di sisi barat, timur dan selatan lapangan, masing-masing sekitar 4-5 meter dari tepi jalan, guna memberikan rasa aman dan kenyaman pada para pengunjung yang datang ke alun-alun.
2. Kegiatan yang bersifat ritual-spiritual harus senantiasa berjalan seperti yang telah berlangsung sejak dahulu, misalnya sebagai tempat persembahyangan massal bagi berbagai umat, seperti hari Saraswati, Purnama, Tilem, upacara Ngerupuk (menjelang Nyepi), Idul Adha, dll.
3. Bangunan-bangunan yang ada di sekelilingnya (sebut: Puputan square) hendaknya diupayakan beradaptasi dengan konsep, makna dan karakter arsitektur yang ada sebelumnya. Dengan kata lain, mencerminkan tatanan ruang, pemaknaan dan nilai-nilai arsitektur Bali.
4. Ke depan, hendaknya jangan sama sekali memagari alun-alun ini, apa pun bentuk dan bahannya, terkecuali tanaman rendah dan pohon-pohon peneduh di beberapa sisi.

Kiranya, keberadaan alun-alun Puputan Badung sangat relevan untuk dilestarikan oleh masyarakat Bali, serta tetap ditunjang oleh nuansa dan citra arsitektur Bali di sekelilingnya. Ia bukan semata ruang kosong tanpa makna, tapi mengandung pelapisan makna sejarah pembentuk ruang kota maupun historikal "puputan", bermakna religius, edukatif, komunikatif dan rekreatif. Selain itu, penggunaan ruang terbuka yang berhubungan dengan kegiatan ritual, yang kerap berlangsung di alun-alun Puputan, hendaknya senantiasa berkesinambungan.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 18 September 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar