Sabtu, 11 Juli 2009

Pura Kelasa dan Taman Narmada di Lombok Barat, Tempat Rekreasi yang Bervibrasi Spiritual

Memasuki wilayah Lombok Barat khususnya, ada kemiripan suasana dengan Bali. Objek-objek wisata dalam bentuk taman atau peninggalan bekas puri zaman dulu dapat ditemukan di situ. Salah satu objek wisata yang sekaligus memiliki tempat peribadatan (pura) Hindu di dalamnya adalah Taman Narmada. Penyimpan Kisah bersejarah, juga sebagai tempat rekreasi yang memiliki vibrasi spiritual. Pura itu dinamakan Pura Kelasa. Di sekitarnya ada pertamanan, mata air dan telaga ageng.
Nah, apa yang bisa disimak dari Pura Kelasa dan Taman Narmada yang juga berada dalam satu area dengan bekas puri peristirahatan raja Mataram ini?

NAMA Pura Kelasa konon berasal dari nama sebuah gunung di India, Gunung Kelasa. Sementara nama Taman Narmada diambil dari sebuah nama sungai suci yang juga terdapat di India. Menurut catatan sejarah, pura, taman dan puri itu dibangun pada akhir Abad ke-18 M oleh Raja Mataram yang berkedudukan di Cakranegara, Lombok Barat. Pura Kelasa didirikan di sekitar mata air, berkiblat ke arah puncak Gunung Rinjani dengan danau Segara Anakan-nya.

Lantas, apa maksud raja mendirikan semua itu? Konon lantaran usia raja sudah uzur, tak kuasa mengikuti upacara pakelem dan pujawali di danau Segara Anakan. Untuk itu, Raja Mataram menganggap cukup bila dilakukan dengan menghadiri atau mengikuti upacara pujawali di Pura Kelasa. Sementara upacara pakelem yang diselenggarakan di Segara Anakan, secara simbolis dilakukan di mata air Taman Narmada.

Beberapa Palinggih

Pura Kelasa yang pujawali-nya jatuh pada Purnama Sasih Kalima ini memiliki tiga mandala, tapi terdiri dari lima transis, yakni utama mandala (transis teratas), merupakan jeroan pura; madya mandala (transis kedua) sebagai jaba tengahnya dan kanista mandala (transis ketiga, keempat dan kelima) sebagai jaba sisi-nya. Konon dulu-sebelum pura, taman dan puri dibangun-di kawasan ini banyak ular berbisanya. Maka hutan lebat yang ada pun dibabat, burung merak didatangkan dari Sumatra untuk memangsa ular-ular itu. Usai diadakan upacara ritual, ular-ular berbisa itu konon seketika lenyap.

Apa saja yang ada di jeroan pura? Beberapa palinggih yang terdapat di area utama mandala-nya antara lain palinggih Gunung Agung (bangunan meru tumpang satu), palinggih Gunung Semeru (meru tumpang tiga), palinggih Gunung Rinjani dan Ngerurah. Jeroan dari pura ini dikelilingi tembok panyengker, berbahan bata merah dan penempatan beberapa roster “China” di beberapa sisi, dilengkapi dua buah kori agung. Satu terletak di sebelah barat dan sebuah lagi di selatan. Kedua kori ini ber-undag-undag, di sisi kiri kanannya diapit patung naga. Sementara di setiap sudut telajakan-nya terdapat masing-masing sebuah patung. Di jaba tengah berdiri bale kembar (bale gong bertiang enam).

Menurut Jero Gde Pasek Subratha, pemangku Pura Kelasa Narmada, kondisi Pura Kelasa pada tahun 1954 masih utuh seperti aslinya. Namun, antara tahun 1955-1956 mulai dilakukan rehabilitasi hingga terwujud sebagai Pura Kelasa seperti saat ini. Dikatakannya pula bahwa adanya perubahan waktu pujawali-dari purnama kapitu menjadi purnama kalima-dilakukan sekitar tahun 1958, yang ditetapkan berdasarkan hasil paruman (pertemuan) para pandita Hindu di Lombok ketika itu. Secara umum prinsip ritualnya, ngaturang pakelem di Gunung Rinjani, ngayat dari Pura Kelasa.

Pemandian Selir Raja

Beragam jenis tanaman tumbuh menghiasi sekitar pura seperti pohon cempaka, sawo tunjung, hingga beringin. Di belakang pura ada sebuah bangunan Kemalik yang konon merupakan tempat mohon doa restu dan sujud bakti bagi beberapa kalangan dari suku Sasak yang punya ikatan tradisi pada leluhurnya. Tradisi ini boleh jadi lantaran adanya afiliasi cultural (pertalian budaya) keyakinan kepercayaan etnis Sasak di zaman itu, wujud cerminan kerukunan antar suku maupun umat beragama.

Pura Kelasa Taman Narmada di-empon oleh tiga banjar yakni Br. Gondawari, Br. Gandari (keduanya di Desa Lembuak, Kecamatan Narmada) dan Br. Peresak, Desa Peresak. Jauh di sebelah barat daya (di bagian bawah) pura ada kolam yang dulunya merupakan tempat pemandian para selir Raja. Sang Raja akan duduk menyaksikan mereka dari atas balkon bale terang (sebuah bangunan berlantai dua, bagian dari kompleks puri peristirahatan raja di zaman dulu) yang terletak di tanah ketinggian bagian baratnya.

Di sebelah selatan pemandian terdapat kolam renang, terdiri dari kolam renang dewasa dan anak-anak. Di sebelah kolam renang ini ada kolam yang amat luas, disebut telaga ageng. Semua bentuk kolam dan pertamanan itu bisa disaksikan dan dinikmati keindahannya dari bale terang yang bangunan di lantai atasnya terbuat dari kayu, baik dinding, lantai, railing tangga dan rangka atapnya.

Dari area bale terang yang di zaman dulu berada di zona pesarean ini banyak dijumpai jalan setapak dan puluhan anak tangga (undag) menurun menuju tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng. Rerimbunan pepohonan yang ada di kawasan Taman Narmada ini sangat mendukung pelestarian alamnya. Tepat di sebelah barat bale terang ada bale pertemuan dengan 8 tiang besar, 15 tiang kecil. Kini, bangunan ini ditambah emper di sayap utara dan selatannya dengan masing-masing empat tiang pipa besi.

Jika digambarkan secara menyeluruh rancangan tapak kawasan Taman Narmada, Pura Kelasa berada di sudut timur laut. Sebelah barat pura-di area jaba sisi, di utara kolam pemandian-ada bangunan bale petirtan (bale beji) dan bale sakepat. Di dalam bangunan ini ada mata air (kelebutan) dan pancuran kecil, yang pintunya dibuka untuk publik pada saat ada upacara pujawali atau pada saat ada umat Hindu tangkil sembahyang ke Pura Kelasa. Mata air yang bersumber di tempat inilah oleh masyarakat dikatakan sebagai “air awet muda.

Orientasi Sakral

Jika para pemedek hendak tangkil bersembahyang ke Pura Kelasa, dari halaman bale Petirtan, mereka mesti melalui banyak anak tangga (undag) di masing-masing terasering mandala pura. Memasuki jeroan pura, para pamedek mesti melalui kori agung yang ada dengan sejumlah anak tangga. Di sini ada dua kori agung-di bagian depan (sebelah barat) dan di selatannya.

Paling barat (di seberang tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng) merupakan kompleks peninggalan puri (peristirahatan dan persemayaman) keluarga Raja Karangasem yang berkuasa di Lombok dulu, Raja Mataram, Cakranegara. Bekas Puri itu, tapak atau site-nya memanang dari arah utara-selatan. Pintu gerbang utamanya (dalam bentuk candi bentar) menghadap ke utara, terletak di sisi jalan raya Narmada, Cakranegara.

Sepertinya bentuk dan pemakaian bahan candi bentar (yang ber-relief) ini sudah mengalami modifikasi dari aslinya. Namun masih banyak bangunan lain di kompleks bekas puri ini masih asli dan lestari, seperti adanya dua buah kolam yang saling bersebelahan (telaga kembar), kori agung (penghubung area depan dengan tengahnya), bangunan loji (dulu merupakan tempat menginap raja dan istrinya), serta bale terang yang lantai atasnya memiliki tiga bilik, bagian tengahnya terbuka, dihubungkan oleh masing-masing sebuah pintu masuk ke bilik kiri dan kanannya.

Miniatur

Keberadaan Pura Kelasa agaknya berangkat dari konsep kosmologi kehinduan, tatanan yang mengekspresikan pemahaman makna spiritual yang direpresentasikan melalui orientasi (kosmis) pada sesuatu yang sacral, seperti gunung dan danau. Kiblatnya sebagai sumbu imajineradalah kea rah posisi Gunung Rinjani, gunung ketiga tertinggi di Indonesia-3.726 meter di atas permukaan laut.

Pada rancangan tapak Taman Narmada yang memiliki luasan sekitar 6,2 hektar ini secara keseluruhan mengadopsi pola konstruksi lansekap Gunung Rinjani dan Danau Segara Anakan. Hal ini dapat ditunjukkan pada letak Pura Kelasa yang dibangun di area transis paling tinggi, sebagai “miniatur” Gunung Rinjani, tempat berstana para Dewata. Sementara yang mencerminkan sebagai Danau Segara Anakan-nya adalah mata air, tempat pemandian, kolam renang dan telaga ageng-nya, terletak jauh di bawah, ibarat lembah, yang ada danaunya. Pengolahan tapak secara keseluruhan : lahan untuk taman dan kolam di bagian tengah jauh lebih rendah. Untuk mencapainya mesti melewati atau menuruni puluhan anak tangga, dengan pengolahan bentuk undag-undag yang sebagian besar linier.

Pura Kelasa dengan Taman Narmada-nya bermakna kontekstualitas waktu, dalam artian tetap eksis sebagai lembaran referensi nilai kesejarahan dan religi. Sebuah karya arsitektur yang bermakna cultural nan kental, juga mampu membangkitkan kenangan masyarakat tentang kisah masa lalu. Selain memiliki kontekstualitas ruang yang adaptatif ekologis, keberadaan pura, tempat pemandian, telaga ageng dan bekas puri di areal Taman Narmada ini merupakan salah satu ikon arsitektur Nusantara yang tetap lestari menyiratkan makna spiritual, rekreatif dan historisnya.


I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 12 Februari 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar