Sabtu, 11 Juli 2009

Melacak ''Hong Sui'' dalam Arsitektur Bali

Dalam minggu-minggu ini, umat Hindu kembali memasuki hari-hari suci, seperti Galungan dan Kuningan. Hari Raya ''kemenangan'' dharma melawan adharma, sekaligus hari ''perenungan'', kontemplasi atau refleksi diri. Dalam konteks arsitektur, mungkin ada baiknya melakukan ''instrospeksi'' ke dalam. Menyingkap ''tirai'' esensi dan substansi kearifan lokal arsitektur Bali. Di antaranya, bagaimana mengangkat nilai-nilai dan makna tatanan arsitektur Bali yang salah satunya ada memiliki kemiripan dengan hong sui. Semisal yang berhubungan dengan tata letak tanah dan bangunan serta pengaruhnya terhadap penghuninya.
-----------------

SELINTAS, jika merunut perjalanan popularitas hong sui, mungkin dapat disimak dari fungsi dan manfaatnya dalam kehidupan serta orang-orang yang mempublikasikan tentang keunikan yang ada di dalamnya. Sehingga, hong sui memasyarakat hingga ke negeri Eropa selain ke negara-negara Asia.

Hong sui berasal dari kata hong yang berarti "angin" dan sui berarti "air". Makna lain hong sui itu lebih menekankan pada tata letak bangunan yang memiliki potensi chi (hawa) sejati. Punya kemiripan dengan ketentuan yang dituangkan dalam aturan tata letak tanah dan bangunan dalam arsitektur Bali. Seperti disebutkan dalam sastra Hindu, bangunan yang didirikan akan memacarkan vibrasi (getaran). Vibrasi itu dapat bersifat baik (positif) atau tidak baik (negatif), tergantung benar-salahnya seseorang meletakkan suatu bangunan.

Asal hong sui dari Tiongkok, lantas berkembang ke Jepang, diakui dan dipergunakan sebagai pedoman untuk pembangunan istana-istana raja. Dalam tradisi Tiongkok, pemahaman tata letak dari gedung dan tempat bermukim punya arti yang sangat penting. Mesti ada penentuan letak gedung, luas dan pedoman kota maupun tempat hunian itu sendiri secara komprehensif (utuh dan menyeluruh). Hong sui dibagi dalam yang che (rumah yang) sebagai bangunan yang dihuni oleh manusia, dan yin she (rumah yin) atau tempat pemakaman.

Sementara dalam asitektur Bali, bentuk dan tata letak tanah atau pekarangan (beberapa ketentuan tentang baik buruknya) untuk tempat tinggal atau perumahan, diupayakan sesuai dengan petunjuk yang ada dalam lontar "Tutur Bhagawan Wiswakarma", "Bhamakretih", "Japakala" dan "Asta Bhumi" sebagai acuannya. Misalnya, kalau tanah pekarangan pada sisi baratnya agak tinggi (menggik kauh), baik untuk tempat tinggal, yang menempatinya menemukan kebahagiaan.

Contoh lain, pekarangan yang pintu masuknya tepat berhadapan dengan pintu masuk pekarangan orang lain yang berada di depannya, disebut karang nyeleking, pengaruhnya tidak baik. Suatu pekarangan yang berpintu masuk lebih dari satu, disebut karang boros, pun tidak baik. Atau jika tanah/ pekarangan itu merupakan karang bekas pura, paibon, merajan, orang mati gantung diri, peyadnyan sulinggih atau pandita, tak boleh dipakai sebagai tempat tinggal atau perumahan.

Namun, mengapa ketentuan-ketentuan yang ada dalam lontar-lontar sejak dulu itu tak sepopuler hong sui? Apa lantaran ihwal tersebut kurang diaktualisasikan dengan perkembangan zamannya? Atau karena tidak/belum punya "istilah" khusus untuk menamai ketentuan (seperti hong sui) yang tersebut dalam lontar-lontar itu?

Sekala-Niskala
Bila dikaji lebih jauh, pengaruh baik-baiknya maupun upaya yang dilakukan untuk menghindari atau menetralisir pengaruh tersebut, senantiasa mempertautkannya dengan hal-hal yang bersifat fisik, tangible, nyata (sekala) maupun prihal yang intangible, tak kasat mata (niskala). Dengan kata lain ''berkorelasi'' horizontal maupun transendental (vertikal). Ada religiosistas dan proses ritual di dalamnya. Suatu totalitais kearifan dan harmonisasi kehidupan.

Penelusuran dan eksplorasi nilai dan makna yang terkandung dalam ketentuan tata letak tanah dan bangunan bercitra kearifan lokal Bali, kiranya lebih memberi peluang, untuk lebih membuka pemahaman atau penafsiran yang benar tentang tata cara membangun paumahan menurut tafsir (smerti) agama Hindu. Seperti yang ada tertuang dalam lontar-lontar, membuat secara rinci mengenai cara memilih tanah, jenis tanah, tata ruang (spasial) halaman, prosedur membangun hingga upacara yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas bangunan.

Juga ada petunjuk atau ketentuan tentang bagaimana memiliki letak tanah, merujuk pada letak yang baik atau sebaliknya. Semisal, ada tanah yang disebut dewa ngukuhi, tanah atau pekarangan yang dapat memberi rasa damai dan tentram. Jika di sekeliling tak ada tanah yang lebih tinggi sebagai penyandingnya, tanah itu dinamakan asah madya. Hal lain, ada letak tanah yang dianggap tak baik, seperti disebut dengan sandang lawe atau karang negen, yakni tanah yang letaknya tepat berhadap-hadapan di antara dua sisi jalan atau gang, dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa (garis keturunan ayah/laki-laki).

Pun ada yang disebut karang suduk angga, tanah atau pekarangan yang letak atau posisinya tertusuk (katumbak) jalan, gang, sungai, got dan tembok panyengker tanah orang lain. Tanah ini tidak baik untuk tempat tinggal, disebut karang panes atau nyakitin. Konon orang yang menempati atau menghuninya akan kerap kena bencana, acap bertengkar lantaran hal-hal sepele, sering kecurian, kena fitnah, diganggu mahluk halus.

Sementara tanah yang berada pada sudut pertigaan jalan/gang, atau setengah dari sisi tanah pekarangannya dilingkari oleh jalan, gang, got atau sungai, disebut karang sulanupi. Jika tanah itu diapit atau dikelilingi jalan raya, gang atau got dinamakan karang kuta kubhanda. Ada pula karang teledu nginyah, bila rumah dikitari oleh jalan melingkar di sekelilingnya. Karang grah, andai pekarangan itu bersebelahan dengan Pura Kahyangan Tiga, Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Lainnya, karang tan maren mahyus grah, menunjuk pada tanah yang serasa panas atau pengap lantaran tak ada udara segar.

Ada lagi yang disebut manyeleking, apabila dalam satu halaman ada beberapa rumah KK (kepala keluarga) yang kawitan-nya berbeda. Jika tanah tempat dibangun rumah itu berseberangan jalan dengan rumah saudara kandung, termasuk tanah yang tak baik pula, disebut amada-mada Bhatara. Begitulah apa yang tersirat dan tersurat, sebagai bagian dari tata cara menata letak tanah dan bangunan.

Begitu pula aturan menempatkan pintu masuk dan memiliki perhitungan tersendiri. Menempatkan pintu masuk ke pekarangan tak boleh asal-asalan, lantaran pintu masuk pun punya pengaruh pada kehidupan saban hari bagi penghuninya. Pintu masuk diyakini sebagai stana Sang Hyang Dorakala. Dora artinya lawang (pintu), kala berarti waktu atau hari. Membuat pintu masuk berdasarkan pada petunjuk lontar "Asta Bhumi", yakni luas pekarangan dibagi sembilan, sesuai arah pintu yang akan dibangun.

Misalnya, andai arah pintu masuk menghadap ke selatan, cara menghitungnya adalah: luas pekarangan atau tembok di sebelah selatan dibagi sembilan. Menghitungnya mulai dari timur ke barat. Pada perhitungan 1, disebut bhaya agung (berbahaya), tidak baik. Hitungan ke-2 berakibat tak bisa punya anak. Hitungan ke-3 dinamakan sukha mageng (besar kebahagiaannya). Titik ke-4, brahma sthana (pengaruhnya baik). Di hitungan ke-5 disebut dewi wredhi (baik), ke-6 sugih rendah (baik), ke-7 teka wredhi yang juga baik, ke-8 kepaten (kematian), dan jika berada pada titik hitungan ke-9 berakibat kageringan (sakit-sakitan).
Begitu pula dibagi 9 untuk tanah yang menghadap ke barat, timur dan utara. Namun masing-masing titik pembagian itu punya perbedaan arti atau makna, tergantung dari posisi menghadapnya tanah atau pekarangan itu terhadap jalan utamanya.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 9 Oktober 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar