Pura Beji Sangsit,
Unik dengan Ragam Hias khas Buleleng
Membangun kearifan local di suatu daerah tentunya mesti berakar dari potensi alam dan budayanya. Semisal upaya pelestarian pengembangan geliat khas ragam hia, nilai-nilai histories, estetis religius pada banyak arsitektur pura di Buleleng. Salah satu pura yang mewakili kekhasan tersebut adalah Pura Beji, Sangsit, Buleleng. Apa saja yang bisa ditelusuri dari keberadaan pura ini?
Pura Beji yang terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng dan berada di sekitar 8 km di sebelah timur kota Singaraja ini punya keunikan tersendiri. Pura ini memiliki gugus-gugus massa bangunan suci sangat massif dan sarat dengan ukiran khas gaya Buleleng.
Konon dulu , sebelum era kedatangan Dang Hyang Nirartha, kawasan Bali utara atau kabupaten Buleleng dikenal sebagai wilayah Den Bukit. Pada awalnya kehidupan manusia di Bali, keberadaan mereka bermula hidup di wilayah Buleleng timur. Pada saat itulah diperkirakan awal kemunculan konsep “Padma Bhuwana” dalam penataan pura-pura di Bali. Khususnya di daerah Buleleng timur. Salah satu pura yang termasuk di dalamnya adalah Pura Beji Sangsit.
Sebagaimana pernah diungkap oleh Ida Pandita Nabe Sri Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, pura-pura yang disebutkan masuk dalam konsep penataan itu, yakni Pura Panegil Dharma, pura-pura yang ada di Desa Bulian, Pura Meduwe Karang, Pura Dalem Puri, Pura Gunung Sekar (Guruyang/Guru Hyang), Pura Beji, Pura Pasupati, Pura Air Sanya (Air Sanih) dan Pura Bukit Sinunggal.
Disebutkan pula, pada zaman Kesari Warmadewa, Pura Besakih belum ada. Dalam perkembangannya setelah kedatangan Mpu Kuturan, disusul kemudian dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di era Dalem Waturenggong, keberadaan pura-pura berkonsep “Padma Bhuwana” ditata kembali lebih dalam lingkup wilayah seluruh Bali. Seperti berkembangnya Pura Besakih dan berdirinya pura-pura Kahyangan Jagat lain yang ada sampai saat ini. Di antaranya yang termasuk pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Batukaru, Tanah Lot, Uluwatu, sampai Goa Lawah.
Dikisahkan pada zaman Waturenggong, wilayah Buleleng timur dianggap daerah yang tidak patut dihuni. Bahkan ketika itu menjadi tempat pembuangan, termasuk tempat pengasingan Ki Anglurah Panji Sakti. Namun belum ada data pasti, kapan tepatnya peristiwa itu terjadi. Terlepas dari itu lingkungan Pura Beji yang dikenal sebagai pura subak untuk desa pakraman Sangsit ini dikatakan sebagai lingkungan pura untuk memuja Dewi Sri – dewi yang diyakini berhubungan dengan bidang pertanian, menciptakan padi sebagai bahan makanan pokok, dan pemberi kemakmuran.
Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing.
Ajaran Filsafat
Tumbuh-tumbuhan atau bunga yang digunakan sebagai motif ukiran di Pura Beji sesungguhnya merupakan sebagai salah satu manifestasi ajaran filsafat (tatwa) agama Hindu, ditampilkan melalui simbol-simbol relief yang sacral. Motif bunga berdigestilir sulur-suluran tetumbuhan secara filosofis melambangkan kesuburan dan kemakmuran.
Tatanan Pura Beji itu sendiri terdiri dari tiga area (mandala) yakni jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan. Pada jaba sisi terdapat bale kukul yang sudah mengalami modifikasi style ragam hiasnya. Antara jaba sisi dengan jaba tengah dihubungkan oleh candi bentar yang masih tetap menunjukkan kekhasan ragam hias Buleleng. Di halaman jaba tengah, di sisi utaranya ada bale paebatan dan bale saka roras. Sementara di sisi selatannya berdiri bale sakapat dan sakaulu. Semua bangunan itu bertiang kayu, beratap seng.
Memasuki halaman jeroan, ada candi kurung (kori agung) dengan bebetelan di kiri kanannya. Motif bunga pada ukirannya juga sangat mendominasi seperti yang terdapat pada candi bentar. Di bagian belakang kori agung ada aling-aling yang pada bagian atasnya berbentuk lengkung. Di halaman jeroan itu juga ada bale gong (saka kutus beratap seng), gedong simpen (beratap seng), bale pesamuan atau disebut jajar samah (saka roras beratap ijuk), dua bale piasan (saka nem, di kiri-kanan, beratap sirap), gedong agung (beratap ijuk, pada keempat bubungannya terdapat relief naga) yang pada puncak atapnya berdiri patung (ukuran kecil) bidadari bersayap.
Di sisi kiri dari gedong agung terdapat palinggih gedong Ida Batara Dewa Ayu Kesaren berdampingan dengan palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Pengastulan. Paling pojok timur laut ada palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Beraban (di dalamnya terdapat jajaran/pasimpangan). Menurut salah satu pemangku setempat, bahan yang digunakan untuk bangunan suci itu – termasuk candi bentar, kori agung dan tembok panyengker puranya-adalah paras asli (“paras Sangsit”) dari Banjar Abasan.
Kegiatan Spiritual
Melalui keberadaan arsitektur Pura Beji yang “spesifik”, boleh dikata itu merupakan media komunikasi bagi masyarakat. Lewat makna yang tersirat melalui tampilan bentuk dan ukirannya, arsitektur Pura Beji merupakan wadah kegiatan spiritual, sebagai produk dari kebudayaan, pemberi kejelasan jati diri atau identitas.
Pura Beji boleh jadi dibangun melalui proses kesepakatan masyarakat Bali ketika itu dengan ar rancangan yang holistic dari para undagi di zaman dulu. Mereka telah melihat kebutuhan dasar spiritual komunitas masyarakat setempat, perasaan teritorial, perasaan memiliki dan penghormatan tulus pada semesta ciptaan Yang Esa. Perwujudannya mewakili norma-norma dan ekspresi estetik kecintaan manusianya pada isi alam semesta, pelengkap dan pemberi kehidupan.
Melihat manusia ke dalam dimensi perilaku religiusnya, merupakan sebagai salah satu elemen program rancangan para undagi tempo dulu. Selain pandangan tentang hidup, hubungan manusia dengan alam, pengalaman misteri, yang semua itu sebagai bagian dari dasar-dasar sikap manusia dalam melakukan aktivitasnya. Adanya sawah, hunian dan lain-lain, di satu sisi merupakan bagian dari elemen fisik lingkungan yang mempengaruhi terwujudnya arsitektur pura pada tempat tersebut.
Maka sesungguhnya jati diri yang dimiliki Pura Beji ini membawa misi bagi pelestarian warisan budaya Bali. Yang harus dipelihara dengan senantiasa menerapkan konsep kesatuan social yang mendukung upaya kemajuan peradaban Bali. Pada akhirnya tentu mesti bermuara pada upaya konservasi terhadap keberadaan Pura Beji, baik dilihat dalam lingkup konservasi satuan fisik (kesatuankelompok bangunan dengan identitas fisik) yang mampu “menjelaskan” secara rinci mengenai latar belakang fisik bangunan Pura Beji maupun wilayahnya. Atau pun termasuk dalam satuan pandangan visualnya, suatu identitas visual dalam satu wilayah , yang menjadi citra dari wilayah itu.
Lingkungan Pura Beji sebagai salah satu karya arsitektur bersejarah yang religius mesti tetap berada pada lokasi historisnya, serta menjaga latar visual semula yang sudah selaras, seperti pola, bentuk, skala, warna, tekstur, bahan dan ragam hias bangunan suci atau bangunan pelengkapnya. Ragam hias Pura Beji Sangsit memang punya ciri khas, pemberi jati diri arsitektur puranya.
I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 13 Mei, 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
saya tertarik dgn tulisan bapak ttg pura beji sangsit. bisa kah saya tau referensi apa saja yg bapak pake buat tulisan ini??
BalasHapuskarena saya sedang menyusun skripsi ttg pura ini.
terima kasih
ulasannya komplit pak, suksma sebagai inspirasi @salam kenal http://wisata-99.blogspot.com
BalasHapusPada bagian dalam gapura ada relief oarang yang memainkan alat musik. apa sesungguhnya arti tsbt. Tks www.lovinabalitrans.com
BalasHapus