Permandian dan Pura Tirta Empul
Ruang Sunyi Pemberi Inspirasi
Pura Tirta Empul dan permandiannya terletak di wilayah desa Manukaya, kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Bagaimana sejarah dan nilai ruang arsitekturalnya? Dari kabar yang berkembang belakangan ini, kawasan Tampaksiring hendak ditata sebagai wilayah yang memiliki nilai histories.. Di kawasan ini, selain terdapat Pura Tirta Empul, juga Istana Presiden RI Pertama, dan Pura Gunung Kawi. Bagaimana asal usul, sejarah, arsitektur dan daya pikat yang dimiliki kawasan ini?
Diperkirakan nama Tampaksiring berasal dari (bahasa Bali) kata tampak yang berarti “telapak”, dan siring yang bermakna “miring”. Makna dari kedua kata itu konon terkait dengan sepotong legenda yang tersurat dan tersirat pada sebuah daun lontar, yang menyebutkan bahwa nama itu berasal dari bekas jejak telapak kaki seorang raja bernama Mayadenawa.
Menurut lontar “Mayadanawantaka”, raja ini merupakan putra dari Bhagawan Kasyapa dengan Dewi Danu. Namun sayang, raja yang pandai dan sakti ini memiliki sifat durjana, berhasrat menguasai dunia dan mabuk akan kekuasaan. Terlebih ia mengklaim dirinya sebagai Dewa yang mengharuskan rakyat untuk menyembahnya.
Alkisah, lantaran tabiat buruk yang dimilikinya itu, lantas Batara Indra marah, kemudian menyerbu dan menggempurnya melalui bala tentara yang dikirim. Sembari berlari masuk hutan, Mayadenawa berupaya mengecoh pengejarnya dengan memiringkan telapak kakinya saat melangkah. Sebuah tipuan yang ia coba tebar agar para pengejar tak mengenali jejaknya. Konon dengan kesaktian yang dimilikinya, ia bisa berubah-ubah wujud atau rupa.
Namun, sepandai-pandai ia menyelinap, tertangkap juga oleh para pengejarnya, kendati – sebelumnya - ia sempat menciptakan mata air beracun, yang menyebabkan banyak bala tentara menemui ajal usai mandi dan meminum air tersebut. Lantas sebagai tandingan, Batara Indra menciptakan mata air penawar racun itu. Air penawar itulah yang kemudian disebut dengan Tirta Empul (air suci). Sedangkan kawasan hutan yang dilewati Mayadenawa - dengan berjalan memiringkan telapak kakinya - dikenal dengan sebutan Tampaksiring.
Lalu, bagaimana dengan keberadaan arsitektur Pura Tirta Empul beserta permandiannya itu?
Ktut Soebandi, dalam buku “Sejarah Pembangunan Pura-Pura di Bali” menyebutkan, Permandian Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Sri Candrabhaya Singha Warmadewa, dan hal ini dapat diketahui dari adanya sebuah piagam batu yang terdapat di desa Manukaya yang memuat tulisan dan angka yang menyebutkan bahwa permandian Tirta Empul dibangun pada Sasih Kapat tahun Icaka 884, sekitar Oktober tahun 962 Masehi.
Lantas bagaimana pula dengan Pura Tirta Empulnya, apakah dibangun bersamaan dengan permandiannya?
Ternyata (masih dalam buku tersebut) antara lain dinyatakan, bahwa Pura Tirta Empul dibangun pada zaman pemerintahan Raja Masula Masuli berkuasa dan memerintah di Bali. Hal ini dapat diketahui dari bunyi lontar Usana Bali. Isi dari lontar itu disebutkan artinya sebagai berikut: “Tatkala itu senang hatinya orang Bali semua, dipimpin oleh Baginda Raja Masula Masuli, dan rakyat seluruhnya merasa gembira, semua rakyat sama-sama mengeluarkan padas, serta bahan bangunan lainnya, seperti dari Blahbatuh, Pejeng, Tampaksiring”.
Dalam Prasasti Sading ada disebutkan, Raja Masula Masuli bertahta di Bali mulai tahun icaka 1100 atau tahun 1178 M, yang memerintah selama 77 tahun. Berarti ada perbedaan waktu 288 tahun antara pembangunan permandian Tirta Empul dengan pembangunan puranya.
Telah Mendahului
Jika dikaji dari perbedaan waktu dan fungsi dari ruang arsitektural, menunjukkan bahwa ruang telah mendahuli kesadaran visual manusianya. Dalam hal ini setiap objek memiliki suatu hubungan dengan ruang. Objek selaku sumber mata air berhubungan dengan ruang, yakni ruang untuk mandi, citra ruang sebagai tempat –religius-untuk membersihkan diri, baik secara alam sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).
Dalam suatu tatanan spasial, jika suatu obyek –tempat mandi-berdaya guna secara optimal, terciptalah suatu tatanan dari Ruang-Waktu. Permandian adalah ruang. Hubungan-hubungan yang dibangun oleh bentuk dan ruang akan menentukan ritme, nilai estetika dan religius dari bangunan itu. Di mana ruang mandi ini bukan semata membersihkan badan-ragawi, namun juga rohani, yang dalam bahasa spiritual-Bali disebut juga ngelukat.
Dari keberadaan tempat permandian ini secara eksistensial dapat dieksplorasi esensi penggabungan ‘tiga macam ruang’ yang disebut dengan tactile (rabaan), mobile (gerakan) dan visual (pandangan); dalam hal ini terjadi penyatuan semua indera manusia yang berhadapan dengan pengalaman-pengalaman serentak maupun berurutan dalam ruang dan waktu. Ornamen atau relief-relief mulut pancuran dan sekitarnya merupakan ruang tactile-nya, ruang untuk bergerak sebagai mobile aktivitas mandi dan pancaran estetik-religius dari ornamen berhubungan dengan ruang visual-nya.
Hal lain bila lebih dicermati lagi dari nilai historisnya, menurut Bernard M Feilden, dalam buku “Conservation of Historic Buildings”, mengemukakan, bahwa ada beberapa nilai pada prinsipnya terkandung dalam arsitektur yang bernilai sejarah: 1) nilai-nilai emosional seperti keajaiban, identitas, kontinyuitas, spiritual dan simbolis; 2) nilai-nilai kultural, yang meliputi pendokumentasian, sejarah, arkeologi, usia dan kelangkaan, estetika dan simbolis, arsitektural, tata kota, pertamanan dan ekologikal; 3) nilai-nilai penggunaan, seperti fungsional, ekonomi, sosial dan politik.
Bagaimana pemandangan di sekitar pura? Jika diamati dari sisi tebing yang menghubungkan Istana Tampaksiring dengan Tirta Empul dan permandiannya, di kejauhan utara terlihat kebiruan Gunung Batur dan keelokan panorama Gunung Agung di sebelah Timur. Di sekitarnya juga nampak permukiman penduduk serta pemandangan persawahan berterassering di kemiringan pebukitan. Di sela-sela bangunan terhampar lansekap yang bernas oleh tanaman hias, dengan rerumputan hijau berpaut pepohonan-pepohonan tua, menambah suasana keteduhan dan ketenangan di kawasan pura ini.
Secara arsitektural Permandian dan Pura Tirta Empul ini memiliki nilai sejarah, bervibrasi spiritual, berkarakter khas, serta akrab dan ramah terhadap lingkungan. Tampilan arsitekturnya bernafaskan tradisi, serta menyatu terhadap kondisi alam di sekitarnya. Ruang-ruangnya pun menyiratkan makna yang religius.
I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar