Kamis, 09 Juli 2009

Denpasar, Ketika Pertumbuhannya tak Terkendali

Pada tahun 1970-an, Kota Denpasar tidaklah seramai kini. Jalan-jalan yang ada masih lebih lengang. Selain berjalan kali, orang-orang lebih banyak berkendara sepeda gayung. Di setiap ruang sirkulasi public, dokar masih hilir mudik. Sepeda motor tak seberapa jumlahnya. Terlebih mobil, amat jarang lalu lalang, kecuali bemo roda tiga. Hampir semua jalan bisa dilalui dua arah. Banjir dab tanah longsor jarang terjadi. Udara pun nyaman dihirup, jauh dari polusi, tak banyak kebisingan. Lantas, bagaimana kondisi dan situasi Kota Denpasar sekarang? Sejauh mana perkembangan arsitektur kotanya?

MENGAMATI perkembangan kota Denpasar khususnya, tentu disertai pula dengan melihat beragam problema, peluang dan tantangan serta langkah-langkah yang perlu dilakukan guna meningkatkan peran Denpasar-sebagai kota berwawasan budaya-dalam pembangunan wilayah. Untuk itu, perlu dituangkan kebijaksanaan pembangunan kota Denpasar dan aspek-aspek penting yang mesti diperhatikan operasionalisasinya, dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata, seimbang, harmonis, serasi secara berkesinambungan.

Sebagai pusat pengembangan wilayah, sejatinya pembangunan daerah perkotaan tidak terlepas dari pembangunan daerah pedesaan. Keterkaitan fungsional antara keduanya kian tak terpisahkan, lantaran sarana dan prasarana transportasi penghubungnya telah semakin maju dan gampang dicapai. Karena itu pula, setiap aktivitas pembangunan di perkotaan akan cenderung menjelmakan dampak besar bagi pengembangan daerah pedesaan.

Mungkin sudah dimaklumi, daerah perkotaan di Indonesia umumnya berkembang amat pesat. Begitu pula halnya Kota Denpasar. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan ditengarai jauh lebih tinggi ketimbang laju pertumbuhan penduduk pedesaan per tahunnya, dalam kurun waktu yang sama.

Seperti diketahui, penduduk Kota Denpasar pada 2002 berjumlah 561.814 orang, meningkat menjadi 585.150 orang pada 2003-kenaikan 4,2 % dari tahun 2002. Berdasarkan data di buku “Rancangan Awal Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota Denpasar 2006”, pertumbuhan penduduk yang terjadi 2003 ini melampaui atau lebih besar dari pertumbuhan antar sensus 1990-2000 yang besarnya 3,2 %.

Beberapa fakta menunjukkan kota merupakan kota merupakan pusat kegiatan teknologi, ekonomi, ekonomi, informasi, dan inovasi. Itu sudah menjadi bagian dari sistem kota-kota besar lantaran adanya jaringan transportasi dan komunikasi yang sangat maju. Sistem produksi barang dan jasa juga telah kian terspesialisasi dan punya keterkaitan satu sama lain. Lalu, sejauh manakah pengaruhnya terhadap pembentukan tata ruang arsitektural Kota Denpasar?

Perlu Dicermati
Memang, di satu sisi fenomena ini nampak sebagai suatu perkembangan yang “menyejukkan” lantaran sebuah kota punya peluang untuk terus meningkatkan kegiatannya dalam segmen sosial dan ekonomi. Tetapi di sisi lain, perlu dicermati mengenai dampak negatifnya, khususnya bila pola itu tak dikaitkan dengan pelestarian nilai-nilai yang berlandaskan pada ajaran agama serta keluhuran pakraman-nya.

Tak ayal, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar pernah menyatakan, “masyarakat Bali sudah memiliki modal dasar kecintaan terhadap alam dalam diri mereka masing-masing. Mengapa penataan tata ruang di Bali seperti yang terjadi di wilayah Kota Denpasar dan Kabupaten Badung, terkesan seperti tanpa dilandasi perencanaan dan pengembangan yang konseptual?” (Tajuk Rencana Bali Post, 5 April 2005).

Memang tak dapat dipungkiri, dinamika perubahan pembangunan perkotaan nampak begitu cepat. Sehingga, sarana, prasarana dan pelayanan kota yang ada cenderung tak dapat memenuhi kebutuhan. Tuntutan akan ruang kota kian meningkat, baik oleh kebutuhan pemukiman maupun bangunan penunjang lainnya. Pada akhirnya konsekuensi ke-ruang-an (spasial) jelas akan menjadi sasaran, baik secara fisik maupun yuridis administratif.

Sisi lain kesemrawutan dan kemacetan lalu lintas pun kerap terlihat, sementara permukiman-permukiman kaum pendatang cenderung bertambah. Begitu pula halnya dengan dengan perangkat lunak, semisal peraturan perundangan yang mengatur kegiatan pembangunan kota kadang gelagapan mengikuti dinamika perkembangan daerah perkotaan. Adakah hal ini disebabkan oleh sangat terbatasnya kemampuan pemerintah kota dalam hal manajemen maupun pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian meningkat itu?

Kiranya beberapa hal sudah mulai disentuh, antara lain upaya yang dilakukan penentu kebijakan dalam mengendalikan perkembangan pembangunan fisik-arsitektur-kota. Kecuali mungkin untuk pembangunan ruko yang kian menjamur dengan “gaya” yang campur-campur. Pun kualitas lingkungan perumahan mesti lebih ditingkatkan, dan memperketat perizinan pembangunannya, terutama untuk rumah-rumah yang dibangun dekat sungai atau di daerah rawan banjir. Termasuk pula upaya mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran.

Di sisi lain, kualitas kebersihan kota perlu ditigkatkan, mengimbanginya dengan menjaga dan mengembangkan taman sebagai unsur keindahan kota dan tempat rekreasi masyarakat. Ikhwal ini tentunya baru merupakan salah satu bagian dari penjabaran beberapa agenda prioritas pembangunan daerah di Kota Denpasar.

Upaya Penertiban
Prioritas lain mungkin menyangkut penertiban terhadap papan reklame dan pedagang kaki lima (PKL) yang punya relasi dan dampak yang vital terhadap tampilan wajah arsitektur kota. Bisa dilihat, betapa “bidang-bidang” iklan mulai saling berhimpitan di seputar Kota Denpasar, serta menjejali setiap sisi-sisi ruang kegiatan usaha, pertokoan atau pusat perbelanjaan. Demikian pula dengan merebaknya jumlah PKL, di berbagai tempat.

Nah, akankah semakin menyebar dan melebar keramaian keramaian iklan-iklan dan PKL itu? Kiranya masyarakat juga akan merasa “tidak nyaman” jika Kota Denpasar kemudian disesaki “hutan iklan” dan rubungan PKL, bukan hutan kota. Padahal untuk terwujudnya keseimbangan ekologis, estetika arsitektural, kenyamanan dan kenikmatan ruang kota, hendaknya senantiasa mempertimbangkan keberadaan ruang terbuka hijau kota atau taman-taman kotanya.

Ini sesungguhnya sebuah tantangan bagi masyarakat dan para pengambil keputusan-secara personal maupun tim-yang punya kemampuan atau potensi untuk “menata” anasir pembentuk ruang dan wajah arsitektur kota. Kiranya kesadaran akan hal ini dapat membangkitkan tanggung jawab moral bersama. Mungkin pula harapan bagi banyak orang, guna senantiasa menggali dan melestarikan nilai-nilai kearifan yang berlaku bagi publik, untuk siapa pun, atau setiap insan.

Pertumbuhan kota yang tak terkendali dan tidak berencana konon akan dapat merugikan pembangunan dan keberlanjutan kelangsungan hidup. Misalnya, yang mungkin terjadi adalah tergerusnya lahan pertanian di daerah pinggiran kota-kota di Bali. Untuk itulah pembangunan di perkotaan perlu diselaraskan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan formulasi visi spasial (ke-ruang-an) tanpa mengabaikan nilai-nilai histories pembentuk kotanya, serta sesuai dengan latar belakang sosial, kultural, fisik kota maupun ekonomi.

Memang kota cenderung bertumbuh ke arah yang lebih kompleks. Tatkala pertumbuhan kota tak terkendali lagi, manakala kompleksitasnya tak dapat lagi dipahami dan dimaknai, kota akan cenderung mencuatkan beragam masalah kota, seperti polusi udara, kemacetan kriminalitas, banjir, pencemaran limbah atau sampah. Kita pun mesti menyadari kembali keadaan ini dan mengharapkan agar kota tak menjadi ruang yang binger tak tertata dan tanpa makna. Namun, ia nyaman dan nikmat dihuni atau ditempati serta melakoni aktivitas keseharian sepenuh hati.

(Bali Post, Minggu, 9 April 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar