Sabtu, 11 Juli 2009

Jejak Historis Pancuran Jagaraga, Ruang yang Mampu ”Diraba” Jiwa Raga

Jejak Historis Pancuran Jagaraga,
Ruang yang Mampu ”Diraba” Jiwa Raga

ARSITEKTUR pancuran sejatinya telah ada sejak awal peradaban manusia, tatkala manusia mulai mengenal teknologi yang paling sederhana. Terbawa oleh naluri kehidupan berkomunitas dan atas kebutuhan bersama untuk mandi serta keperluan lainnya, ruang pancuran bukan sekadar bentuk visual semata, namun adalah juga tempat terjadinya interaksi sosial. Mengapa demikian? Apa dan bagaimana arsitektur pancuran di desa Jagaraga yang terletak sekitar 11 km dari kota Singaraja ini?

Adalah sebuah arsitektur pancuran bernilai historis yang terletak di Desa Jagaraga. Desa yang di sebelah selatannya terletak desa Menyali, Sawan, Bebetin dan Sekumpul ini merupakan pula simpul pertemuan antara desa Menyali dan Bungkulan.
Sebuah pancuran bukan sekadar pancuran untuk mandi atau untuk membersihkan badan, tapi juga tempat untuk bercengkerama, bersendagurau. Di tempat ini pula perbincangan dan nilai-nilai keakraban terjalin. Dalam sebuah pancuran air mengalir terus menerus. Setiap orang yang mandi di dalamnya bisa sepuasnya mandi membersihkan diri. Maka dengan demikian kelangsungan suatu tatanan sosial pergaulan yang baik dapat terjadi.

Perang Jagaraga
Belum diketahui pasti sejak kapan dibangun pancuran Jagaraga ini. Ada yang mengatakan pancuran ini sudah ada ketika terjadi perang Jagaraga tempo dulu. Pancuran yang berada dipojok depan jaba sisi / teben Pura Desa Jagaraga ini boleh dikata sebagai salah satu saksi bisu menjelang terjadinya puncak perang Jagaraga pada 16 April 1849.
Konon laskar perang di bawah pimpinan Patih Jelantik dan Jero Jempiring melakukan pensucian dan pemberian kekuatan gaib (pasupati) terhadap peralatan perang, perkakas atau senjata sebelum berperang melawan musuh (Belanda) ketika itu, serta melakukan arak-arakan keliling (pradaksina) mengitari Pura Desa.
Pola berkeliling sebayak tiga kali ini bermakna membawa keberuntungan serta diyakini memiliki kekuatan-kekuatan magis-spiritual, sebelum menuju ke medan laga.
Sementara markas perangnya berpusat di Pura Dalem Jagaraga, yang saat itu disebut pula dengan nama Pura Segara Madu. Keberadaan Pura Desa juga memiliki keterkaitan erat dengan Pura Dalem dan Merajan Agung milik kalangan Brahmana, komunitas Pande Besi di Banjar Pande dan keberadaan Patih Jelantik di bagian belakang Pura Desa Jagaraga.
Prosesi pradaksina itu dimaksud untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Buleleng. Rangkaian upacara masupati dilakukan Patih Jelantik bersama para pejuang di Merajan Agung. Usai di-pasupati, peralatan perang itu secara magis "dihidupkan" kembali, serta siap digunakan. Lantas, berbagai senjata itu - dari tempat penyimpanannya - diarak melewati depan pancuran Jagaraga, kemudian menyeberang jalan di depan Pura Desa, melintasi Puri, bergerak ke depan hingga tiba di bagian belakang benteng Jagaraga.
Ruang Pancuran adalah ruang arsitektural sebagai ’arsitektur yang humanis’. Didalamnya berkembang suatu vocabulary ruang, di mana terjadi pembentukan ruang, peng-gatra-an ruang, intuisi spasial, efek spasial, dan desain ruang. Air pancuran yang mengucur dari mulut pancuran menciptakan efek kontinyuitas yang mengalir.
Ruang mandi berupa pancuran boleh dikata sebagai ide spiritual yang menjadi dorongan hakiki bagi ekspresi berinteraksi antar orang-orang yang ada di dalamnya. Bisa pula disebut sebagai ruang yang memiliki kekuatan ’genetis’ yang secara naluriah dimiliki oleh setiap insan. Tempat mandi bersama, bertukar cerita dan kisah, transparansi dan kejujuran adalah cerminan dari ruang arsitektural sebuah pancuran.

Fungsi dan Bentuk
Air yang bersumber dari hulu desa Jagaraga, yang berbatasan dengan desa Menyali ini mengalir ke arah utara, lantas ditampung dalam sebuah bak besar di sudut depan halaman jaba sisi pura desa Jagaraga.
Dari dalam bak itu dialirkan ke luar melalui empat saluran yang keluarannya berupa pancuran, masing-masing terdiri dari dua buah untuk pancuran laki-laki dan dua lagi untuk pancuran perempuan. Kedua ruang pancuran itu hanya dibatasi oleh tembok (sengker) pemisah. Pada setiap paduraksa tembok panyengker keliling pancuran, di atasnya dipasang patung-patung, keseluruhan patung menghadap ke utara..
Setiap mulut pancuran dihiasi dengan ornamen estetik (khas ukiran gaya Buleleng) yang sedikit berbeda tampilan detil moncong pada mulut pancuran bagian kanan dan kirinya. Ukiran Boma bersayap merupakan ornaman yang spesifik pada pancuran ini. Tampilan ornamennya ekspresif dan berkarakter.
Ruang pancuran seluruhnya hanya terbagi dalam dua bilik. Setiap pintu masuk ke dalam pancuran berisi aling-aling. Di bagian luar (posisi di tengah, di antara kedua pintu masuk) terdapat sebuah pancuran bagi warga desa yang memerlukan air untuk keperluan rumah tangga. Bagian ini pun ber-ornamen Boma bersayap yang mengucurkan air dari ’mulut’-nya.
Arsitektur pancuran merupakan pula sebagai salah satu ekspresi ruang yang mampu ”diraba” oleh jiwa dan raga manusia. Sifat unik dari ruang arsitektonik pancuran mengkondisikan efek-efeknya terhadap hubungan antar manusia. Arsitektur sebuah pancuran bisa diartikulasikan sebagai kombinasi ruang, bidang.massa, unsur garis dan air. Selain itu pancuran ini menyimpan nilai-nilai bersejarah dan berkontribusi memberikan kemudahan bagi warga setempat dalam membutuhkan air. Secara mendasar, ruang arsitektural sebuah pancuran menggabungkan tiga macam ruang - rabaan, gerakan dan pandangan dan dengan demikian menyatukan semua indera manusia yang berhadapan dengan pengalaman-pengalaman hidup seseorang.

Sentra Permandian
Dulu, pancuran Jagaraga sesungguhnya merupakan sentra permandian bagi masyarakat/warga desa Jagaraga, kendati ada pula sebuah tukad (sungai) di sebelah timur desa sebagai tempat mandi dengan suasana alami. Namun lantaran tempatnya relatif jauh dari perumahan penduduk maka pancuran di desa inilah yang ramai dikunjungi, baik tua, muda maupun anak-anak. Ruang arsitektur pancuran benar-benar turut memberi kontribusi dalam membentuk dan menumbuhkan perilaku kebersamaan.
Kini, pola hidup orang-orang di desa sudah semakin berubah dan berkembang diiringi oleh pembuatan kamar mandi serta WC di setiap rumah tinggal. Keadaan ini kian menyurutkan jumlah warga yang mandi di pancuran ini. Agaknya hal itu pula yang menyebabkan pancuran Jagaraga terlihat kurang terawat dan kurang terjaga kebersihannya. Sebagian lantai yang berlumut-sehingga licin-bisa menyebabkan orang terpeleset saat mandi. Dulu aktivitas di sini bukan sebatas mandi, namun kadang ada juga yang memanfaatkan untuk mencuci pakaian. Pada bagian ornamen di sekitar lubang pancuran pun tampak berlumut dan ditumbuhi tanaman merambat.
Mengingat pancuran Jagaraga sangat strategis tempatnya-di pusat desa atau di Jaba sisi Pura Desa, maka memang sudah sepatutnya ini tetap dilestarikan dengan merawatnya. Terlebih keberadaan pancuran ini sejak dulu memiliki pertalian historis dengan desa Jagaraga itu sendiri. Air adalah sumber kehidupan. Arsitektur pancuran sebagai wadah beraktivitas mandi dan ajang ”berkumpul”, bersoaialisasi, berbincang, sendagurau bersama, merupakan sebagai arsitektur warisan tetua warga desa yang mesti dijaga dan dirawat agar tak jadi kering dan kesepian.

• Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 2 November 2008

1 komentar:

  1. Saya sekarang ini beberapa kali ke Bali, tetapi suasana seperti tahun '80-an tidak saya temukan. Dulu di Kuta dan Legian saya sering menerobos di antara dua bangunan (gang) yang lebarnya kadang-kadang tidak lebih dari 1 meter dan masih banyak bangunan Bali Asli baik rumah penduduk maupun losmen.
    Dimanakah di Bali sekarang ini dimana saya masih dapat menemukan suasana tahun '80-an tersebut?

    BalasHapus