Sabtu, 11 Juli 2009

Tembok ''Panyengker'' Tak hanya Pembatas Lahiriah, juga Spiritual

Tembok panyengker, agaknya, memiliki makna lebih, ketimbang sekadar pagar pembatas. Lantaran panyengker mengandung pengertian "mengurung" (kurung = sengker), melindungi atau menjaga isi yang ada di dalam, memberikan kesentosaan, ketentraman, dan kedamaian. Pelapisan makna apa yang bisa disimak dari tembok panyengker?
-------

TEMBOK panyengker merupakan bagian dari elemen arsitektur. Keberadaannya sangat perlu, selain sebagai batas lahiriah, juga batas aktivitas spiritual "isi" pekarangan, mengitari pekarangan paumahan, zona parhyangan atau bangunan-bangunan publik lainnya. Melindungi ragawi maupun batin, memenuhi syarat kekokohan dan keamanan. Penghuni di pekarangan dalam tembok panyengker diupayakan terlindung dari gangguan binatang, cuaca, dan pun terhadap gangguan lainnya.

Mewujudkan panyengker adalah dengan melakukan pengukuran sebelumnya. Ukuran atau sikut memiliki pengertian volume, bobot dan nilai dari satuan panjang, lebar, tebal, tinggi, atau garis-garis ukur lainnya. Satuan ukuran dalam pengukuran arsitektur Bali-tradisional diperoleh dari bagian-bagian tubuh manusia selaku pemilik. Pada bangunan Bali tradisional, mengukur panjang atau lebar pekarangan dengan ukuran depa agung, depa madya dan depa alit.

Sudut-sudut pertemuan antara tembok panyengker disebut padu raksa. Secara filosofis-etis, padu raksa tersebut memiliki nama masing-masing berdasarkan titik sudut peletakannya, seperti sari raksa (terletak di sudut timur laut), aji raksa (di tenggara), rudra raksa (sudut barat daya) dan kala raksa berkedudukan di barat laut. Padu raksa memiliki bagian-bagian yang diidentikkan sebagai kepala, badan dan kaki, lengkap dengan hiasan atau pepalihan-nya.

Pengertian dan Karakter
Menurut Ir. I Wayan Gomudha, M.T., panyengker berasal dari kata sengker yang artinya "kurung". Kurung itu sendiri memiliki pengertian (1) sebagai tanda untuk mengumpulkan beberapa unsur menjadi satu kelompok yang membentuk satu unit hunian; (2) mengkonotasikan suatu keberadaan di dalam rumah, kamar/bilik/sangkar; dan (3) melindungi dan mewadahi segala sesuatu yang ada dalam kurungan. ("Pernik Manik Spasial Hunian Arsitektur Tradisional Bali, 1999). Sementara dalam "Kamus Bali Indonesia" (Ida Bagus Nyoman Jiwa, 1992), panyengker disebut sebagai batas pekarangan pada keempat sisi, bisa dengan pagar hidup atau tembok pasangan.

Dari sebidang tanah yang paling kecil sekalipun, panyengker berperan sebagai batas wilayah, bukan sekadar pagar biasa, namun sebagai tempat terakumulasinya unsur-unsur fisik pembentuk hunian beserta aura psikologis-religiusitas penghuninya. Terlebih bila panyengker tersebut dilengkapi padu raksa dan pintu gerbang masuk (angkul-angkul, kori agung, candi bentar, dll). Hal itu menunjukkan adanya suatu kesatuan unit arsitektural (umah, puri, pura). Kadang dari bentuk, ragam hias atau tampilannya dapat menunjukkan status penghuninya.

Selain berfungsi sebagai pelindung dari pandangan (penglihatan) atau privasi, panyengker punya karakter melindungi dan mewadahi, dalam artian sebagai pelindung untuk segenap isi dari kemungkinan yang membahayakan, baik secara sekala (nyata) maupun niskala (tak nyata).

Keadaan ini menunjuk pada suatu upaya untuk memberi batas secara visual (fisik) maupun imajiner (nonfisik) atas perbedaan makna aktivitas, antara yang berada di dalam pekarangan (milik penghuni) dengan kegiatan publik (di jalan) di luar pekarangan (milik masyarakat keseluruhan). Demikian pula sebagai segmen perlindungan diri dari privasi penghuni terhadap "dunia luar".

Perlindungan dalam pengertian terhindar dari sesuatu yang bersifat fisik -- karena berbatasan dengan jalan publik, setelah telajakan -- dan privasi dalam pengertian agar kegiatan-kegiatan yang bersifat intern (profan maupun sakral) tidak terlalu vulgar nampak dari luar, mengingat pada norma-norma dan tata krama yang berlaku di tempat atau lingkungan tersebut. Hal ini dimaksud guna lebih bisa mewujudkan konsentrasi di dalam melakukan kegiatan yang bersifat privat, sehingga tidak terganggu pandangan publik dari luar (jalan). Naluri manusia pada dasarnya menghendaki suatu tempat yang nyaman, nikmat dan terlindung bagi dirinya serta lingkungan terdekatnya terlebih dahulu, menuju terciptanya harmoni kehidupan yang damai dan sejahtera.

Di Ruang Publik
Seperti yang disebutkan sebelumnya, panyengker juga terdapat pada ruang publik seperti taman rekreasi, kebun binatang, tempat peribadatan, pasar, taman budaya. Berbagai style atau gaya dimiliki oleh masing-masing kabupaten di Bali. Ada gaya Bebadungan, gaya Gianyar, Klungkung, Buleleng, dan sebagainya. Bentuk maupun jenis material yang digunakan mesti disesuaikan dengan karakter dari fungsi yang diwadahinya.

Dalam suatu tapak (site), kadang ada suatu ruang yang sama (semisal halaman pasar), digunakan untuk kegiatan yang berbeda pada waktu yang berbeda. Contohnya, pagi hari digunakan untuk tempat berjualan atau parkir, namun pada malam harinya digunakan oleh pedagang kaki lima sebagai "pasar senggol". Sementara desain panyengker dibuat tinggi, kurang komunikatif, malahan memberi kesan terkungkung dan terkurung, sehingga para pedagang yang ada di dalam tembok panyengker tidak terlihat sepenuhnya dari luar. Nah, sudah sesuaikah itu dengan fungsinya dan bagaimana kesan psikologis ruang yang diinginkan?

Oleh karena itu, panyengker bukan sakadar pagar pembatas hanya untuk perlindungan dalam arti fisik semata, namun lebih dari itu bisa memberikan nilai-nilai komunikatif, "ramah" lingkungan -- sepadan fungsi ruang publik tersebut. Untuk itu, keberadaan tembok panyengker bisa didesain dengan mempertimbangkan faktor ketinggian, aspek transparansi (perlubangan), etika, estetika.

Mengenai ketinggian tentu dengan memperhatikan unsur-unsur kegiatan yang diwadahi, suasana yang diinginkan, pertimbangan pengalaman psikologis pengguna ruang. Dalam merancang tapak sebenarnya ada formulasi tertentu menempatkan dan mengatur ketinggian panyengker, terutama bila dibangun pada ruang-ruang yang bersifat publik. Ada yang berketinggian sebatas lutut, berfungsi pula sebagai pola pengarah, pembatas yang menunjukkan aktivitas di dalam yang berbeda dengan aktivitas yang terdapat di luar, namun masih ada view (pandangan) ke arah ruang sebelahnya, tidak ada privasi yang disembunyikan serta memiliki nilai komunikatif. Kemudian, ada pula setinggi di bawah pinggang manusia, di sini sebagian aktivitas di dalamnya masih terlihat dari luar.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 24 Juli 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar