Di Bali khususnya dalam mendirikan suatu pura terlebih pura Kahyangan Jagat senantiasa berlandaskan pada konsepsi filosofis yang relevan dengan ajaran tatwa agama Hindu di Bali. Dari uraian-uraian yang telah dijabarkan sebelumnya, ada tiga landasan konsepsi filosofis.
Konsepsi Rwa Bhineda-kesatuan purusa dan pradana melandasi pendirian Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai purusa) dan Kahyangan Batur selaku pradana. Sementara konsepsi Catur Loka Pala, pengejawantahan daripada “Cadu Sakti” - empat aspek kemahakuasaan Tuhan, melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala-Pura: Lempuyang di timur, Andakasa di selatan,. Batu Karu di Barat dan Puncak Mangu di utara). Konsepsi berikutnya, Sad Winayaka, secara konsepsional terkait dengan Pura: Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Hulu Watu, Batu Karu dan Pusering Jagat.
Ketiga landasan filosofis itu menjadi dasar pendirian Kahyangan Jagat, sebagai Padma Bhuwana, sthana Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Sembilan Kahyangan Jagat itu meliputi Pura Lempuyang di timur, Andakasa di selatan, Batu Karu di barat, Batur di utara, Besakih di timur laut, Goa Lawah di tenggara, Hulu Watu di barat daya, Puncak Mangu di barat laut, dan Pusering Jagat di tengah.
Konsep Rancangan
Di era global kini, ada baiknya menerapkan konsepsi secara holistik terkait dengan aspek-aspek lainnya dalam merancang Pura. Perlu penyesuaian yang adaptatif dengan kondisi dan situasi lingkungan di mana pura tersebut akan dibangun atau didirikan.
Dalam melakukan pendekatan konsep rancangan juga perlu dilakukan beberapa dasar pertimbangan, antara lain kegiatan civitas (manusianya), kebutuhan fasilitas, anggaran yang tersedia, kapasitas pamadek umat Hindu yang tangkil, dan alur atau pola sirkulasi umum, alur / pola sirkulasi khusus ke tempat suci. Lalu dilakukan pendekatan terhadap bentuk rancangan, semisal peletakan kompas yang benar untuk ketepatan arah mata angin/orientasi, menerapkan tata nilai ruang arsitektur Bali, menempatkan patung-patung bermakna, menyediakan wadah aktivitas pejalan kaki dan penyediaan tempat parkir.
Perhatikan pula bentuk pembangunan dan penataannya, semisal posisi penempatan jalan setapaknya. Di sisi lain untuk mengatasi terjadinya banjir (saat musim hujan) pada titik-titik tertentu perlu dibuat sumur-sumur resapan air, selain banyak ditanami pepohonan. Juga pada jalan dekat pura dilakukan penataan saluran air yang ada. Ada baiknya pula jika dibangun tempat untuk mebasuh (cuci) muka atau tangan di jaba sisi selain disediakan tempat mandi dan toilet di area terluar (jaba sisi pisan).
Lantas, bagaimana pendekatan sistem struktur dan utilitasnya?
Ihwal tersebut tentu bisa dipengaruhi oleh faktor kondisi tanah, fleksibilitas ruang, perkembangan teknologi, fungsi bangunan serta kekuatan dan kestabilan. Sementara pendekatan sistem utilitasnya lebih melihat pada kondisi alam, persyaratan fisik dan psikologis pengguna ruang atau fasilitas dan kapasitasnya. Ada baiknya mengutamakan penggunaan bahan lokal/alami, baik untuk struktur maupun finishing. Selain itu agar dipakai bahan yang mampu bertahan lama, mudah dalam pemeliharaan, selaras dan harmonis dengan lingkungan, serta mendukung vibrasi kesucian pura.
Dalam menentukan Pengelompokan pengguna ruang dan besaran ruangnya perlu dipertimbangkan penataan unit jalan lingkungan menuju kawasan pura. Pun unit jalan menuju jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Sementara penentuan besaran ruang terkait dengan luas persil atau area, ukuran gerak aktivitas manusia, efektifitas kegiatan, efisiensi penggunaan ruang, efektivitas penataan, persyaratan fisik dan psikologis. Suasana alami-religius hendaknya menunjang masing-masing kegiatan dan sepatutnya tetap menerapkan sistem gegulak. Semua undag (anak tangga) memakai sikut tapak berjumlah ganjil dan ngandang ngurip.
Pura selain berarti sebagai tempat sujud atau tempat persembahyangan, juga sebagai tempat memohon ampun atas pikir, kata dan laku yang keliru dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, serta ucapan terima kasih kepada Hyang Pencipta atas anugerah perlindungan-Nya. Maka, pura sebagai tempat ‘mengusung sembah tulus’ patut dijaga kelestarian dan kesuciannya serta dihormati oleh umatnya. Peranan pura sangat penting sebagai “sentra rohani”, tempat memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya, selain sebagai tempat untuk melaksanakan Dharma Gita, Yatra, Wacana, Tula, Sedana, Shanti.
Bali Post, Minggu, 24 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar