Sabtu, 11 Juli 2009

Menimang Kontribusi Arsitektur Bali Sikapi Globalisasi

Wujud ruang arsitektural pada dasarnya punya keterkaitan erat terhadap perkembangan berbagai aspek kehidupan di zamannya. Kini, kemajuan sains dan teknologi telah merasuki sendi-sendi di berbagai lini tatanan pergaulan manusia. Menyangkut gaya hidup, pola pikir, gerak dan perilaku. Secara global manusia kini tengah berada dalam era informasi digital dan virtual. Keadaan ini memiliki konsekuensi logis terhadap bentukan ruang yang divisualisasikan oleh arsitektur. Sejauh mana kontribusi arsitektur Bali ke depan menyikapi dan mewadahi perkembangan ini?

PENEMUAN dan perkembangan teknologi mutakhir kini, terutama teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi memberi isyarat akan kemungkinan terwujudnya jarak ruang semakin kecil. Lantas, ada kecenderungan kian sedikitnya waktu yang diperlukan dalam pergerakan di dalamnya. Percakapan bisa dilakukan dalam ruang berbeda, namun pada waktu yang sama. Peranti elektronik baru deras bermunculan. Semakin mini tapi dengan kapasitas kian besar.

Contoh lain, remote control, telah mengurangi mobilisasi gerak fisik manusia, demi efisiensi waktu dan tenaga. Ukuran atau dimensi barang elektronik dan computer cenderung mengecil dan tipis, tapi punya potensi produksi tinggi. Sistem pemantauan jarak jauh melalui kamera mini dan layar monitor pun akan mempengaruhi berkurangnya pergerakan manusia di antara ruang-ruang. Semua ini merupakan dampak perkembangan tersebut, sebagai sebuah proses dan kondisi yang demikian kompleks, bersifat multibentuk dan multidimensi.

Peringkasan jarak ruang telah mengubah persepsi dan pandangan manusia terhadap ruang dan waktu itu sendiri. Persepsi tentang jauh dekat, luar-dalam, cepat-lambat sekarang telah mengalami perubahan. Orang-orang bepergian telah menggunakan alat-alat transportasi yang canggih sesuai pilihannya. Berkomunikasi jarak jauh atau antar ruang bisa lewat handphone, CCTV, computer genggam, dll., sebagai wujud komunikasi dalam ruang virtual (ruang maya).

Kini sifat dan kondisi tubuh manusia, cara mobilitas, berkomunikasi, dan alur yang dilaluinya di dalam siklus kegiatan, umumnya juga mempengaruhi pola kehidupan social dimasyarakat. Tentu pada akhirnya terkait dengan bentukan ruang-ruang privat maupun ruang-ruang publiknya. Keadaan tersebut berhubungan dengan dengan tindakan, relasi, struktur dan system social yang berlangsung di dalam ruang-waktu. Perihal inilah yang sudah mulai merambah pelosok negeri, termasuk Bali, terutama di kawasan perkotaan.

*****
BEBERAPA waktu lalu sempat merebak wacana tentang usulan rencana apa yang ideal dibangun dan dilaksanakan serta dilakukan dalam pembangunan daerah Bali. Hingga sempat muncul ketika itu statemen mengenai arsitektur gedung, yakni tentang perlunya zone gedung tinggi. Ketika itu terkuak usul atau keinginan untuk memperbolehkan membangun gedung tinggi di atas 15 meter.

Berbicara tentang bangunan gedung tentu tak dapat dipisahkan dengan ruang arsitektural, termasuk wujud atau wajah asitekturnya. Utamanya kota-kota besar di Indonesia. Makna ruang rupanya mengalami pergeseran persepsi, sejalan dengan pemampatan, peringkasan ruang waktu dan pemadatan tindakan setiap kegiatan yang dijalani banyak orang. Nyaris semua aktivitas dijejali oleh tuntutan kecepatan waktu, efisiensi, dan ketergesaan. Kecenderungannya, di zaman informasi dan virtual kini ada upaya manusia untuk memiminimalisasi dimensi fasilitas dan ukuran ruang-ruang geraknya.

Perubahan pola hidup dengan sendirinya turut mempengaruhi pola ruang, waktu, fasilitas dan lingkungannya. Kenyataan kini, terutama di kota-kota besar, banyak kegiatan social tidak memerlukan lagi perpindahan fisik seseorang. Seperti belanja (teleshoping), rapat (teleconference), menonton (telecinema), belajar (telelearning), dan sebagainya. Lantas, orang-orang pun kini sudah bisa mengakses bahan-bahan kepustakaan melalui internet, membuka situs-situs pilihannya. Pun penyimpanan arsip mendatang sepertinya, bukan lagi mengarah pada penumpukan berkas di rak-rak almari. Tapi sudah menuju pada compact flash sampai secure digital yang mampu menyimpan amat banyak data, baik berupa naskah, foto, musik, atau video player lainnya.

Melihat keadaan seperti ini, perlukah di masa datang disediakan atau ditambah lagi ruang-ruang public (gedung) yang besar berlantai banyak? Guna memperoleh solusi, semua itu tentu perlu dianalisis secara komprehensif atau menyeluruh, untuk kesinambungan konsep yang bisa diterima oleh masyarakat secara berkelanjutan.

Pembentukan ruang sangat bergantung pada berbagai kondisi tempat yang membentuknya: alat untuk mobilitas, media untuk komunikasi, fisik/badan, sifat-sifat fisik lingkungan atau atmosfir di sekitar, bahkan (sangat penting) kultur lokal setempat. Ruang tersebut dapat saja berupa sebuah ruang perkantoran, pabrik, kamar di dalam suatu rumah, sampai pada wilayah yang dibatasi secara territorial oleh batas-batas desa atau kota. Semua itu senantiasa meruang dan bersifat fisik. Dalam ruang-ruang inilah berbagai rutinitas aktivitas berlangsung.

Dalam konteks pembutuhan ruang di era informasi kini, sudah relevankah di Bali dibangun gedung-gedung berketinggian lebih dari pohon kelapa? Sementara di sisi lain, dunia kini tampak mulai mengalihkan perhatiannya pada upaya untuk meminimalisasi besaran gedung-gedung publiknya. Adakah itu akibat pemampatan ruang waktu dan tindakan setiap aktivitas di era informasi digital dan virtual kini?

*****
SEKARANG, sudah mulai ada berbagai model aktivitas social, yang di dalamnya tidak diperlukan lagi perpindahan fisik, namun bisa dilakukan model perpindahan virtual, yakni perpindahan informasi. Melalui internet, handphone, teleconference, berlangsung suatu pergerakan yang sebenarnya berdiam diri di tempat. Fenomena ini semakin memberi kecenderungan, di dalam melakukan berbagai kegiatan, pola kehidupan sosial si pelaku aktivitas.hanya berdiam diri di tempat, lantaran di sisi lain informasiakan bergerak mendatanginya.

Boleh jadi, keberadaan dunia virtual, selain merupakan perpanjangan hampir setiap aspek kehidupan manusia-tindakan, aksi, reaksi, komunikasi, juga dimaknai sebagai “penyambung lidah” dalam sistem komunikasi antarmanusia. Nah, di era informasi digital sekarang ini--terutama di kota-kota besar—orang telah mulai dapat melakukan aktivitas social, politik, ekonomi, dan lain-lain dalam jarak jauh (telepresence) tanpa harus melakukan proses perpindahan di dalam ruang waktu.

Apa yang tersirat dan tersurat tersebut pada dasarnya menyangkut perubahan yang bersinergi ke dalam proses kedinamisan ruang, menyebabkan suatu bentukan arsitektur mengalami transformasi. Dengan kata lain, orang tidak akan melihat suatu bentukan arsitektur itu sebagai suatu yang “berdiri sendiri”. Namun sebagai suatu tampilan yang “mampu berkolaborasi” dengan lingkungan sekitarnya.

Betapa pun luas jangkauan perkembangan itu, tentu harus dikorelasi lagi dengan konsepsi filosofis Tri Hita Karana, Rwa Bhineda, hulu-teben, nilai-nilai dan pemaknaan arsitektural, yang selama ini diejawantahkan di tengah komunitas arsitektur Bali tradisional, yang kini kian didekati sergapan arus globalisasi. Ihwal tersebut tentu perlu disikapi secara arif dalam bentuk penataan tata ruang arsitektural, wajah arsitektur kota dan bentukan arsitektur lainnya, dari makro, meso, hingga mikro.

Maka dalam hal ini, yang perlu dipegang sejatinya adalah mempertahankan identitas. Menyimpan “ruh” jati diri ke-Bali-annya, sehingga esensi bentukan arsitektur Bali Tradisional itu merasuki gubahan arsitekturnya. Kendati di satu sisi konsepsi maupun visualisasi bentuknya senantiasa leluasa “menyesuaikan diri” dengan perkembangan zaman, di era informasi digital dan virtual saat ini.

I Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu, 12 Juni 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar