Sabtu, 11 Juli 2009

Mencermati Vibrasi Tanah Bali

Mencermati Vibrasi Tanah Bali

Di berbagai tempat, banyak daerah pernah ditimpa musibah, yang menyengsarakan hingga tak sedikit menelan korban jiwa. Ada tanah pulau menyemburkan lumpur panasnya, bencana gempa bumi, tsunami, longsor, abrasi pantai dan lain-lain. Adakah ini karena ulah dan kekhilafan manusia itu sendiri terhadap alam? Bagaimana dengan ketersediaan dan peruntukan tanah Bali kini?

Agaknya perlu segera dihentikan sikap mrncederai alam, seperti penebangan pohon di daerah hulu, eksplorasi perut bumi, hingga pengalihfungsian lahan produktif, terlebih tanah yang memiliki vibrasi. Jika saja hati nurani manusia lebih terkendali untuk tidak merusak, mengais atau menggerogoti “keseimbangan “ alam, kiranya alam tak akan menjadi murka, hingga ujung-ujungnya manusia jadi nemu baya atau menemukan bahayanya.

Tanah, salah satu bagian dari Panca Maha Bhuta yang juga unsur pembentuk tubuh manusia, patut dihormati dan diberi tempat semestinya, dengan memerhatikan hukum-hukum keseimbangan alam semesta. Upaya untuk tetap turut memberi keseimbangan antara kosmos alit dengan kosmos agung (jagat raya) merupakan upaya mulia sebagai “warisan” panutan yang bijak ke anak cucu. Tanah juga sebuah wilayah, di mana manusia bisa menatanya sesuai kebutuhannya. Namun, kondisi dan “karakter” tanah di setiap tempat kadang berbeda baik dari sisi fisik geologis, geografis, atau topografis tanah. Bahkan secara spiritual tanah dikatakan memiliki aura masing-masing. Benarkah?

Salah satu kearifan dalam arsitektur Bali, berdasar smerti Agama Hindu disebutkan, dalam menata penggunaan tanah-misalnya untuk membangun rumah-ada disinggung tentang tata cara memilih jenis tanah, tata letak tanah, tata ruang halaman, prosedur mendirikan bangunan, serta proses ritual yang berhubungan dengan nyakap palemahan dan melaspas rumah.

Dalam sebuah lontar – Keputusan Sang Hyang Anala – mengungkapkan, untuk letak tanah disarankan memilih tanah menggik kauh (lebih tinggi di sebelah barat). Apa makna tekstualnya? Dari lintasan matahari, arah terbit-tenggelamnya jelas akan mempengaruhi tata letak yang ideal untuk sebuah rumah. Ke arah mana rumah menghadap, itulah sasarannya. Logikanya, dalam site (tapak) lahan tersebut akan cenderung berorientasi ke tanah yang lebih rendah dan berupaya menghindari terpaan sinar matahari yang sudah condong ke barat. Maka tanah yang menggik kauh akan sangat efektif dan menjadi pilihan. Untuk itu pula jika site itu kondisinya datar (asah), diharapkan tanah penyandingnya tidak lebih tinggi. Sehingga disarankan memilih tanah yang disebut asah madya, lebih memberi perasaan tentram-damai (dewa ngukuhi).

Sementara tanah yang berhadapan dengan jalan lurus dikatakan tidak baik. Tanah itu disebut sandang lawe. Hal ini cukup beralasan, lantaran akses sirkulasi ruang publik secara fisik-visual maupun dari sisi ketidakamanan dan ketidaknyamanan akan mengarah secara frontal ke rumah yang dibangun itu. Begitu pula jika ada tanah dikelilingi jalan raya (sula nyupi) atau yang diapit jalan raya (kuta kabanda) dikatakan tidak baik. Tentu semua paham kalau jalan raya boleh dikata merupakan kumpulan keriuhan atau kebisingan, juga polusi udara. Logis bila di kedudukan tanah seperti itu tak patut untuk dibangun rumah. Apalagi jika ada jalan melingkar di sekitar pekarangan rumah (karang teledu nginyah), sangat tak patut di dalamnya didirikan rumah.

Bagaimana bila ada tanah untuk rumah yang letaknya bersebelahan dengan Pura Dang Kahyangan, Sad Kahyangan dan Kahyangan Tiga? Dalam lontar disebutkan, tanah itu disebut karang grah, berakibat tidak baik bagi penghuni rumah yang bertempat tinggal di dalamnya. Logikanya, pura merupakan tempat suci, tempat persembahyangan umat Hindu. Dalam radius tertentu diupayakan untuk bebas dari lingkungan yang mencemari lingkungan pura, baik dari segi fisik, visual atau pandangan, suara, polusi udara dan pencemaran aroma/bau. Jika di sebelah tempat suci itu dibangun rumah, juga berpengaruh tidak baik bagi penghuni rumah maupun terhadap vibrasi kesucian pura. Misalnya, bagaimana bila ada kegiatan ritual atau upacara di pura yang bersebelahan dengan rumah.

Begitu pula sebaliknya, segala aktivitas yang berlangsung di dalam rumah, seperti memasak, membuang limbah, pekerjaan yang menimbulkan kebisingan, dll. tentu akan mempengaruhi suasana lingkungan pura. Ada pula letak tanah tidak baik, yang disebut dengan amada-mada Bhatara, yakni tanah rumah yang dimiliki berseberangan jalan dengan rumah saudara kandungnya.

Menerka Tanah
Keadaan tanah tidak sepenuhnya datar. Ada tanah miring, berbukit atau curam. Bagaimana dengan tanah pekarangan? Tanah pekarangan merupakan tanah untuk tempat berdirinya umah. Kata pekarangan berasal dari kata karang (batu karang). Tanah dan batu karang adalah sebagai benda mati yang keduanya memiliki ‘habitat’ yang sama dan tak dapat dipisahkan satu sama lain.Perpaduan antara butiran-butiran kecil (tanah) dengan bebatuan yang padat, di mana perpaduan keduanya tepat sebagai tempat pijakan semua makhluk hidup di bumi dan media penghidup di mana tanaman bisa tumbuh.

Tempo dulu garis batas sebelah menyebelah tanah umumnya tidak menggunakan pembatas fisik (masif) seperti tembok. Namun menggunakan beberapa jenis tumbuhan yang ditanam pada garis batas itu, sehingga antara rumah-rumah dan pekarangan yang satu dengan rumah-rumah yang lainnya hanya dibatasi pepohonan. Tanah pekarangan (di Bali) yang pada awalnya berasal tanah sawah maupun ladang diperlukan upacara (ritual) yang disebut nyapuh.

Di masa lalu ada dikenal suatu ilmu yang disebut tarka, yang diwariskan oleh generasi sebelumnya (para tetua). Isinya mengulas tentang bagaimana menerka posisi dan peruntukan tanah serta bangunan. Lontar Bhamakreti dan Astabumi ada menyebutkan cara menerka tanah dan peruntukannya. Para undagi (arsitek) umah Bali mesti tidak sembarangan dan sangat hati-hati menerka tanah dan peruntukannya, mengikuti lontar itu.

Menerka (narka) tanah cara Bali adalah dengan kepekaan hidung. Bau tanah itu dijadikan sebagai alasan menentukan peruntukan tanah. Caranya, tanah digali sekitar 30 cm (atumbegan tanah-sekali cangkul). Lantas diambil dan dihirup aromanya. Jika bau tanah miik (harum) misalnya, sangat bagus buat lokasi Pura Kahyangan. Baik pula sebagai tempat mendirikan puri. Para tetua bilang, jika ingin mendirikan umah, sedapat mungkin pilih tanah yang berbau lalah (pedas) seperti cabai. Ini disebut dengan “sihin kadang warga lan kanti”. Artinya, disayangi sahabat dan sanak keluarga. Sangat dihindari tanah yang berbau bengu (busuk), tak baik untuk tempat mendirikan umah. Konon mengandung petaka, bikin boros, kerap bertengkar dan dapat memicu kericuhan penghuninya.

Menurut Ida Bujangga Rsi Somia dalam sebuah majalah terbitan lokal, tanah di Bali tidak hanya dipandang sebagai sumber hayati semata, namun juga diyakini sebagai himpunan (pumpunan) segala filsafat (tatwa) dan ajaran kearifan hidup. Tanah memiliki arti penting bagi manusia Bali, karena dari tanahlah semua kebutuhan hidup manusia berasal, seperti sandang, pangan dan papan. Berasal dan dihidupi dari tanah, semua berasal dari tanah dan mengambil untuk kelangsungan hidup dari tanah.

Saat pertama kali seorang bayi menginjak tanah (tuwun ke tanah) saat bayi telah berusia tiga bulan, atau berusia enam bulan (satu oton) keadaan itu memiliki makna pada tanah dan manusianya, bahwa pada saat itulah seorang anak manusia memohon berkah energi hidup secara langsung kepada Sang Ibu Pertiwi (tanah).

Berstatus Pradana
Juga dalam sebuah majalah lokal (Hindu) Bali, Ida Pedanda Gde Made Gunung pernah mengungkapkan, bahwa manusia Bali punya pandangan hidup yang menganalogikan bumi (tanah) sebagai Ibu, berstatus sebagai pradana, feminim, juga berarti labil. Sementara langit berstatus purusa. Dari pertemuan langsung energi bumi (pradana) dan energi langit (purusa) berupa sinar matahari terjadilah penciptaan (prakerti). Tanah dengan demikian menjadi tempat persemaian pembenihan. Dari sinilah muncul tradisi upacara bhuta yadnya di Bali, yang mesti digelar di ruang terbuka-yang disebut dengan natah.

Boleh dikata natah bermakna sebagai medium, di mana sinar matahari sebagai kekuatan sempurna. Natah dalam pekarangan rumah, secara konseptual, menjadi sangat penting keberadaannya. Natah menjadi sentrum atau pusat pekarangan, sama dengan catus patha bagi wilayah desa pakraman, di mana sinar matahari bebas hambatan menembus langsung bumi.
Tanah memang investasi yang amat berharga. Dan natah, betapa penting keberadaannya. Natah ada baiknya tak dibetonisasi agar menjadi area resapan air. Wilayah resapan air tak mesti disediakan di zona natah semata, tetapi juga di kawasan yang lebih luas, terlebih di daerah hulu (pebukitan) yang pada dasarnya merupakan pemasok sumber air di kawasan setempat, termasuk danau dan sungai. Sehingga sangat perlu dihindari adanya penebangan pohon-pohon setempat.

Di sisi lain, kini di Bali, rupanya menunjukkan kian banyaknya tanah orang Bali dibeli oleh orang asing di Bali. Adakah ini lantaran pengawasan aparat lemah? Apakah mereka tengah memanfaatkan kelemahan hukum dengan mengatasnamakan Indonesia? Rupanya di negeri ini tidak ada aturan yang jelas dan rinci tentang penguasaan tanah oleh orang asing.

Mungkinkah kelemahan ini dengan sengaja dimanfaatkan guna memperalat orang lokal untuk menguasai tanah-tanah Bali? Bukankah ini semacam bentuk “penjajahan” secara halus orang asing terhadap orang lokal? Begitu pula ditengarai belakangan ini banyak tanah desa (karang ayah) desa yang dijadikan agunan Bank, selain tak sedikit pemohon HGB (Hak Guna Bangunan) di atas tanah diajukan ke pemerintah. Bagaimana nasib tanah Bali ke depan?

Jika demikian halnya, kepemilikan tanah Bali oleh orang-orang Bali akan makin berkurang. Alhasil, akan semakin sulit menemukan tanah yang baik untuk posisi tanah maupun peruntukannya. Berbagai jenis tanah yang baik sebagaimana disebutkan di muka tentu semakin langka diperoleh, karena alih fungsi lahannya, atau jika kian lama makin banyak di atas tanah dibangun untuk sesuatu yang kurang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Bali. Itukah yang terjadi kini?

Bali Post, Minggu, 27 Mei 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar