Sabtu, 11 Juli 2009

Menelaah Kembali Rancangan Pura (1) Dari Turus Lumbung Hingga Kahyangan Jagat

Menelaah Kembali Rancangan Pura (1)
Dari Turus Lumbung Hingga Kahyangan Jagat

PULAU Bali juga disebut sebagai ‘Pulau Seribu Pura’. Pura selain merupakan tempat suci Hindu, juga sebagai “sentra rohani”. Apa saja yang melatarbelakangi perkembangannya dan bagaimana sebaiknya konsep rancangan sebuah pura ke depan?

Sumber prasasti kerap menyebut gunung dan bukit sebagai sthana para dewa. zaman dulu, tempat – tempat tinggi di Bali, di hulu atau di tanah bervibrasi suci, orang-orang membuat suatu bangunan peribadatan, meski sederhana dan sifatnya sementara.
Ketika itu tiangnya dibuat dari turus pohon dapdap, dan sebuah ruangan dengan balai-balai dirakit dari bambu untuk tempat meletakkan sajian (sesajen). Bangunan suci jenis ini disebut Turus Lumbung, bermakna kias “melindungi dan menghidupi pemujanya”. Turus dapdap bermakna tameng atau perisai-alat pelindung diri. Sementara “lumbung” mengandung makna: ranah penghidupan. Bangunan yang sifatnya sementara itu lambat laun diganti menjadi bangunan yang lebih permanen.

Perkembangan teknologi, berimbas juga pada bangunan Turus Lumbung, yang semula berbahan sederhana, lalu dibuat dari kayu dan bambu serta memakai satu ruangan (me-rong tunggal), digunakan untuk tempat sesajen. Dari rong tunggal inilah muncul sebutan nama bangunan suci Kemulan yang dipuja suatu keluarga sekelompok kecil. Jika belakangan kepala keluarga kecil sudah berkembang menjadi beberapa keluarga, mereka kemudian mendirikan beberapa buah palinggih.

Seiring perkembangan kultur manusia yang kian maju, bangunan rong tunggal berkembang menjadi dua ruangan (me-rong kalih). Lantas berkembang lagi menjadi tiga ruangan (rong telu), untuk menghormati atau memuja para leluhur yang telah disucikan. Palinggih-palinggih baru disejajarkan tempatnya dengan bangunan Kemulan, sehingga keseluruhannya disebut Sanggah atau Pamerajan. Bangunan-bangunan di dalamnya sangat bervariasi, umumnya terdiri dari bangunan Menjangan Saluang, Gedong, Sanggar Agung, Saka Ulu, dan Taksu.

Perkembangan bangunan rong telu lalu disesuaikan dengan konsep Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa), bermanifestasi selaku pencipta, pemelihara dan pelebur. Kesatuan ketiga dewa inilah disebut dengan Sang Hyang Trimurti atau Tri Tunggal. Dari pengaruh konsep ini bangunan rong telu berfungsi ganda, selain untuk tempat memuja arwah leluhur yang telah suci, pun untuk memuja Sang Hyang Tri Murti.

Kahyangan Tiga
Untuk tempat pertemuan Ida Bhatara-Bhatari yang berlangsung pada setiap ada upacara di Sanggah Pamerajan dibuat lagi bangunan balai-balai yang disebut Balai Piyasan (balai untuk Bhatara-Bhatari berhias). Kendati sudah mendirikan Sanggah Kemulan, mereka juga memuja dewa-dewa yang ada di dalam tempat suci aslinya. Dengan demikian, tak bisa dipungkiri jika palinggih-palinggih di dalam Sanggah Pamerajan relatif jumlahnya dan bisa mencapai belasan buah, kadang bisa lebih. Kemudian muncul palinggih-palinggih baru untuk memuja para Dewa, seperti bangunan: Tumpang Salu, Sakapat, Tugu, Meru, Bebaturan, dan Gedong Sari.

Dalam suatu Desa yang terdiri dari beberapa klen atau warga yang berbeda-beda leluhurnya, masyarakat membangun tempat suci bersama, berupa tiga buah pura yang dikenal dengan Kahyangan Tiga. Di dalam pura-pura itulah mereka berkumpul menyama braya dan berbarengan memuja dewa-dewa yang bersemayam di dalam pura tersebut. Ketiga pura yang dimaksud adalah: Pura Puseh, Pura Desa/Bale Agung, dan Pura Dalem.

Kedatangan Mpu Kuturan, Rsi Markandya, dan Dang Hyang Nirartha ke Bali beberapa abad lalu membawa perubahan penting dalam tata keagamaan di Bali. Ketika itu Mpu Kuturan menganjurkan beberapa perubahan dalam tata keagamaan di Bali, seperti pembuatan Kahyangan Catur Lokapala, Sad Kahyangan Jagat, selain mengajarkan membuat kahyangan secara fisik dan spiritual, berupa ragam jenis upacara dan jenis-jenis pedagingan. Penyempurnaan kehidupan agama Hindu dilakukan pula oleh Dang Hyang Nirartha yang datang ke Bali pada abad ke-15, di era pemerintahan raja Dalem Waturenggong di Gelgel-Klungkung.

Karakteristik Pura
Beragam profesi tumbuh di masyarakat, berbagai tempat suci atau pura pun bermunculan. Para nelayan yang umumnya bermukim di pesisir, mencari penghidupan di laut. Laut dianggap bisa memberi kehidupan, lantas masyarakat nelayan mendirikan Pura Segara atau Pura Pabean.

Yang memiliki profesi sebagai petani pengolah tanah basah, mereka akan terikat kepada air yang dianggap sebagai sumber kehidupannya. Mereka bersatu pula untuk mendirikan pura-pura yang dekat dengan sumber air. Misalnya semacam Pura : Ulun Danu, Pura Siwi, Pura Bedugul, Pura Masceti, yang berfungsi sebagai pura kemakmuran. Profesi lain sebagai pedagang memerlukan pula tempat pemujaan dalam wujud pura, seperti Pura Melanting. Umumnya pura ini didirikan di dalam suatu pasar, dipuja para pedagang dalam lingkungan tersebut.

Sementara kalau berdasarkan karakteristiknya pura-pura di Bali dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok. Pertama, Pura Kahyangan Jagat, yakni pura umum tempat pemujaan Tuhan dengan segala prabhawa-Nya serta roh suci leluhur, termasuk di dalamnya Pura Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan. Yang disebut Pura Kahyangan Jagat ialah Pura-pura Kahyangan Agung terutama yang terdapat di delapan penjuru mata angin dan pusat pulau Bali.

Kedua, Pura Kahyangan Desa, Pura yang disungsung oleh Desa adat berupa Kahyangan Tiga, yakni: Pura Desa atau Bale Agung tempat memuja Tuhan dalam prabhawa-Nya sebagai Dewa Brahma selaku pencipta (utpeti), Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Wisnu sebagai pemelihara (sthiti), dan Pura Dalem, tempat memuja Siwa sebagai pelebur (pralina).

Ketiga, Pura Swagina, pura yang penyiwi-pemuja-nya terikat oleh swagina atau yang punya keterlibatan sama dalam sistem mata pencaharian hidupnya. Pura dimaksud adalah seperti Pura : Subak, Dugul, Melanting, Ulun Suwi.
Keempat, Pura Kawitan, Pura yang penyiwi-nya ditentukan oleh ikatan “asal muasal” atau leluhur berdasarkan garis keturunan geneologis, seperti: Sanggah / Pamerajan, Paibon, Panti, Dadia, Dalem Dadia, Penataran Dadia, Pedarman.

• I NyomanGde Suardana
Landasan Filosofis
Di Bali khususnya dalam mendirikan suatu pura terlebih pura Kahyangan Jagat senantiasa berlandaskan pada konsepsi filosofis yang relevan dengan ajaran Tatwa agama Hindu di Bali. Dari uraian-uraian yang telah dijabarkan sebelumnya, ada tiga landasan konsepsi filosofis.
Konsepsi Rwa Bhineda-kesatuan purusa dan pradana melandasi pendirian Kahyangan Gunung Agung (Besakih sebagai purusa) dan Kahyangan Batur selaku pradana. Sementara konsepsi Catur Loka Pala, pengejawantahan daripada “Cadu Sakti” - empat aspek kemahakuasaan Tuhan, melandasi pendirian Kahyangan Catur Loka Phala ( Pura: Lempuyang di timur, Andakasa di selatan,. Batu Karu di Barat dan Puncak Mangu di utara). Konsepsi berikutnya, Sad Winayaka, secara konsepsional terkait dengan Pura: Besakih, Lempuyang, Goa Lawah, Hulu Watu, Batu Karu dan Pusering Jagat.

Ketiga landasan filosofis itu menjadi dasar pendirian Kahyangan Jagat, sebagai “Padma Bhuwana”, sthana Tuhan dalam berbagai manifestasinya. Sembilan Kahyangan Jagat itu meliputi Pura: Lempuyang di timur, Andakasa di selatan, Batu Karu di barat, Batur di utara, Besakih di timur laut, Goa Lawah di tenggara, Hulu Watu di barat daya, Puncak Mangu di barat laut, dan Pusering Jagat di tengah.

Di era global yang penuh tantangan di tengah perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi dewasa ini, ada baiknya menerapkan konsepsi secara holistik terkait dengan aspek-aspek lainnya dalam merancang Pura. Perlu penyesuaian yang adaptatif dengan kondisi dan situasi lingkungan di mana pura tersebut akan dibangun atau didirikan.

Konsep Rancangan
Dalam melakukan pendekatan Konsep Rancangan juga perlu dilakukan beberapa dasar pertimbangan, antara lain: kegiatan civitas (manusianya), kebutuhan fasilitas, anggaran yang tersedia, kapasitas pamadek umat Hindu yang tangkil, alur atau pola sirkulasi umum, alur / pola sirkulasi khusus ke tempat suci. Kemudian dilakukan pendekatan terhadap bentuk rancangan, semisal peletakan kompas yang benar untuk ketepatan arah mata angin/orientasi, menerapkan tata nilai ruang arsitektur Bali, menempatkan patung-patung bermakna, menyediakan wadah aktivitas pejalan kaki dan penyediaan tempat parkir.

Begitu pula mesti memperhatikan bentuk pembangunan dan penataannya, semisal posisi penempatan jalan setapaknya. Di sisi lain untuk mengatasi terjadinya banjir (saat musim hujan) pada titik-titik tertentu perlu dibuat sumur-sumur resapan air, selain banyak ditanami pepohonan. Juga pada jalan dekat pura dilakukan penataan saluran air yang ada. Ada baiknya pula jika dibangun tempat untuk mebasuh (cuci) muka atau tangan di jaba sisi selain disediakan tempat mandi dan toilet di area terluar (jaba sisi pisan).

Lantas, bagaimana pendekatan sistem struktur dan utilitasnya? Ihwal tersebut tentu bisa dipengaruhi oleh faktor kondisi tanah, fleksibilitas ruang, perkembangan teknologi, fungsi bangunan serta kekuatan dan kestabilan. Sementara pendekatan sistem utilitasnya lebih melihat pada kondisi alam, persyaratan fisik dan psikologis pengguna ruang atau fasilitas dan kapasitasnya. Ada baiknya mengutamakan penggunaan bahan lokal/alami, baik untuk struktur maupun finishing. Selain itu agar dipakai bahan yang mampu bertahan lama, mudah dalam pemeliharaan, selaras dan harmonis dengan lingkungan, serta mendukung vibrasi kesucian pura.

Dalam menentukan Pengelompokan pengguna ruang dan besaran ruangnya perlu dipertimbangkan penataan unit jalan lingkungan menuju kawasan pura. Pun unit jalan menuju jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Sementara penentuan besaran ruang terkait dengan luas persil atau area, ukuran gerak aktivitas manusia, efektifitas kegiatan, efisiensi penggunaan ruang, efektivitas penataan, persyaratan fisik dan psikologis. Suasana alami-religius hendaknya menunjang masing-masing kegiatan dan sepatutnya tetap menerapkan sistem “gegulak”. Semua undag (anak tangga) pakai sikut tapak-berjumlah ganjil-dan ngandang ngurip.

Pura selain berarti sebagai tempat sujud atau tempat persembahyangan, juga sebagai tempat memohon ampun atas pikir, kata dan laku yang keliru dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, serta ucapan terima kasih kepada Hyang Pencipta atas anugerah perlindungan-Nya. Maka, pura sebagai tempat ‘mengusung sembah tulus’ patut dijaga kelestarian dan kesuciannya serta dihormati oleh umatnya. Peranan pura sangat penting sebagai “sentra rohani”, tempat memuja Tuhan dalam berbagai manifestasinya, selain sebagai tempat untuk melaksanakan “Dharma: Gita, Yatra, Wacana, Tula, Sedana, Shanti”.

• Nyoman Gde Suardana, Bali Post, Minggu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar